Ideologi di Balik
Sebuah Film
Darwin
Jerman
ingin memimpin dunia pada dekade tahun 30-an di bawah pimpinan sang diktator yang
jago beretorika, Adolf Hitler. Jerman ketika itu bisalah disamakan dengan
negara super angkuh Amerika Serikat hari ini yang selalu menginginkan negara
lain berada satu tingkat di bawah mereka. Jerman ingin menjadi negara nomor
satu ketika itu tidak bisa lepas dari Hitler dengan NAZI-nya. Dan, yang
menarik, media yang digunakan oleh Hitler untuk mewujudkan keinginannya
tersebut salah satunya adalah media massa: film. Melalui film, Hitler bisa menyampaikan pesan-pesan propaganda
kepada rakyatnya bahwa, Jermanlah yang paling unggul saat itu.
Memang,
media film selalu digunakan oleh para penguasa sebuah negara untuk
melanggengkan kekuasaannya. Di Indonesia, presiden Soeharto yang bercokol di
kursi nomor satu selama 32 tahun juga menggunakan film sebagai alat doktrinasi
ideologi pemerintahannya. Kita tahu, dulu setiap tanggal 30 September kita
selalu disuguhi tayangan film 30 September/PKI. Film ini menjadi alat
legitimasi bagi pemerintahan Soeharto untuk menumpas siapa pun yang dianggap
terlibat organisasi ini. Selain itu, di film ini digambarkan jasa besar
Soeharto dalam penumpasan Gerakan 30 September/PKI.
Dari
sini bisa kita tarik kesimpulan, bahwa film tidak hanya sekadar media hiburan.
Di balik sebuah film ada ideologi yang bermain. Baik itu ideologi kekuasaan
yang memanfaatkan sebuah film sebagai alat legitimasi kekuasaannya dalam rangka
meninabobokan rakyatnya, maupun ideologi sebuah negara yang “dipaksakan” kepada
para pembuat film untuk membuat negara lain selalu berada pada posisi nomor dua
dalam tatanan pergaulan internasional.
Ideologi
yang dipaksakan kepada negara luar terjadi dalam film-film Hollywood. Ideologi
tersebut tidak lain adalah ideologi negara adikuasa Amerika Serikat di mana
Hollywood berada. Kepentingan AS hampir selalu terakomodir dari film-film
produksi Hollywood. Dan, ironisnya, kepentingan itu biasanya selalu menganggap
orang lain pada posisi nomor dua. Bahkan, tidak hanya sekadar penomorduaan,
tapi ada stereotip yang dibangun.
Yang
paling sering kita lihat dari film-film Hollywood biasanya adalah penonjolan
apa yang disebut WASP (White Anglo-Saxon
Protestan). Di mana yang berkulit putih, ras Anglo-saxon, dan agama Protestan selalu dianggap terbaik dibanding
yang lain sebagai oposisi binernya, seperti kulit hitam, bangsa non-Amerika dan
agama Islam, misalnya. Hampir di setiap film Hollywood yang menjadi pahlawan
biasanya adalah yang berkulit putih, bangsa Amerika dan beragama Protestan. Di
sini juga ada stereotip yang dibangun, yang bukan WASP, dianggap nomor dua,
terbelakang, bikin masalah, dan stereotip-stereotip lainnya.
Representasi
orang berkulit hitam dan beragama Islam juga selalu digambarkan secara parsial.
Dalam film-film Hollywood ras kulit hitam selalu diidentikkan dengan
kemiskinan, bikin onar dan lain sebaginya. Begitu juga dengan orang Islam yang
selalu dianggap suka kekerasan, dianggap teroris dan berbagi stereotip lainnya.
Negara-negara dunia ketiga juga mendapat stereotip jelek, di mana dianggap
sebagai negara terbelakang, miskin, dan tidak beradab.
Ideologi
memang tidak bisa dipisahkan dari sebuah film. Di setiap film pasti ada
kepentingan yang bermain. Baik itu kepentingan kekuasaan, negara, korporasi,
dan yang lainnya. Kita sebaai penikmat film harus kritis dalam hal ini. Memang
tidak banyak yang kita bisa perbuat dalam hal ini, karena kita adalah konsumen
yang secara tidak sadar dicekoki ideologi unggul seperti WASP, yang membuat
kita menerima begitu saja tanpa ada keselektifan. Tapi, ada usaha-usaha minimal
yang kita lakukan. Apa itu?
Pertama,
ketika kita menonton sebuah film (Hollywood), kita bisa melihat dengan kritis
jika ada stereotip terhadap Islam, kulit
hitam, dan negara terbelakang.
Kedua,
kita (pembuat film di Indonesia) bisa memproduksi film yang mengangkat
keunggulan agama Islam, misal agama Islam adalah agama damai bukan agama
kekerasan yang selama ini tampil dalam film-film Hollywood.
Ketiga,
kita bisa memutarbalikkan fakta bahwa bangsa non-Amerika adalah bangsa yang
selalu nomor dua dengan menjadikan para Bulek sebagai pameran pembantu, misalnya,
dalam film-film kita.
Inilah
yang perlu kita perhatikan ke depannya, baik kita sebagai konsumen film-film
Hollywood, maupun para produser, sutradara kita dan pihak terkait lainnya dalam
proses produksi film-film kita. Dan, mulai saat ini silahkan memperhatikan
ideologi yang bermain dalam sebuah film!!
Yogyakarta, 04 Maret 2011, pukul 22.34
Tidak ada komentar:
Posting Komentar