Sabtu, 24 November 2012

Identitas yang Lain dan Kita yang Sedang Ditatap (Eropa)



Identitas yang Lain dan Kita yang Sedang Ditatap (Eropa)*
Darwin
            Dalam esainya “Di Toko Mirota Batik: Tawar-Menawar Esensialisme Jawa” yang termaktub dalam buku Ambivalensi: Post-kolonialisme Membedah Musik sampai Agama di Indonesia (Budiawan<ed.>, 2010:122), Sutrisno mengatakan, dirinya “dikenalkan“ dengan identitas Jawa oleh temannya yang orang Ceko, Helena Hoskova ketika berkunjung ke Mirota Batik, Malioboro, Yogyakarta. Helena langsung menyebut Sutrisno sebagai seorang Jawa yang aneh ketika ia ditanya apakah ia menyukai batik, dijawab oleh Sutrisno “tidak suka”. Di sini, pereduksian besar-besaran dilakukan oleh Helena. Identitas Jawa didefinisikan oleh Helena secara parsial. Jawa hanya diidentikkannya dengan batik. Lebih lanjut dalam esainya, Sutrisno mengatakan, jika seseorang tidak memakai atau menyukai batik dalam pandangan Helena, maka seseorang akan dianggap bukan Jawa, atau kalaupun Jawa, ia adalah Jawa yang aneh.
            Inilah sejumput contoh terkait fenomena yang “seksi”  dalam wacana Poskolonial, yakni identitas. Identitas adalah bentukan. Ia dibentuk oleh pihak berkuasa atau dalam teori Poskolonial ia (di)ada(kan) oleh pengetahuan Eropa. Misalnya, batik dijadikan penanda identitas untuk membedakan orang Jawa dan non-Jawa (orang Barat/Amerika dan Eropa). Dan, yang membuat klasifikasi ini tentu saja Barat, seperti dalam kasus Helena di atas. Dalam hal ini, Helena adalah “agen” atau representasi Barat karena ia berasal dari sebuah negara yang secara geografis terletak di benua Eropa, yakni Republik Ceko.
            Tentu saja identitas di sini mencakup semua hal, tidak hanya suku, ras, negara bangsa, dan kategori Barat dan Timur, tetapi lebih dari itu. Yang jelas, identitas lahir dari adanya perbedaan-perbedaan. Kata Goenawan Mohammad (2011), perbedaan muncul lebih dahulu sebelum adanya identitas. Persoalannya, identitas tidak hanya sekadar hasil konstruksi pengetahuan dominan, tetapi ada berbagai perspektif lain di balik identitas tersebut.
Identitas yang kejam
            Identitas itu kejam kata  Reski (peserta diskusi). Ia mencontohkan tokoh yang diperankan oleh Leony dalam film Identitas yang disutradarai Arya Kusumadewa. Seseorang tidak akan dianggap kalau seseorang itu tidak mempunyai identitas. Institusi rumah sakit akan mempersulit seorang pasien, jika pasien tersebut tidak mempunyai identitas (KTP, SIM, Paspor dll.). Inilah realitas keseharian kita yang tidak bisa kita hindari. Semua kita didisiplinkan oleh penguasa (Negara) melaui identitas. Setiap warga negara dikontrol sedemikian rupa melalui identitas ini, yang terkadang tentu saja sangat reduktif dan “kejam”. Warga negara hanya dianggap, kalau ia mempunyai identitas. Tidak hanya sekadar itu, identitas yang diciptakan tersebut mempunyai metode yang “mendehumanisasi”. Kita didefinisikan oleh Negara berdasarkan angka-angka, misalnya tanggal lahir, penghasilan per bulan, dan lain sebagainya. Jadi, sisi kemanusiaan tidak berlaku di sini. Seberapa jenius seseorang, skill yang dipunyai, dan dimensi kemanusiaan lainnya pastilah tidak akan disentuh oleh Negara.
            Identitas itu suci, jika ia berada dalam ranah ide, tentu saja sebelum dicampuri “’sang’ pengetahuan Eropa” melalui kekerasan epistemologinya. Desakralisasi identitas terjadi karena tafsiran manusia itu sendiri, yakni “manusia Barat” yang mendefinisikan, mengkonstruk, atau membentuknya. Kita selalu ter(di)jebak oleh definisi Barat yang mengagungkan modernisasi hasil kreasinya tersebut. Arjuna (peserta diskusi lainnya), menyalahkan modernisasi sebagai biang keladi di balik penciptaaan identitas-identitas tersebut. Tampaknya, ia ingin beranjak sedikit dari teoritikus Poskolonial dalam melihat identitas, meskipun tetap saja ada pengaruh teori ini dalam pandangan-pandangannya.
            Paham Pragmatisme yang dipopulerkan Charles Sanders Peirce, Jhon Dewey, dan William James pada awal abad ke-20, adalah sebuah paham yang mengedepankan aspek hasil atau tujuan. Bicara identitas, tentu saja ia mempunyai tujuan atau fungsi. Fungsi identitas tentu saja bukan seperti patriotisme ala Hitler yang membunuh demi terciptanya kemurnian dan keunggulan sebuah identitas (ras Arya), tetapi terbentuknya “patriotisme” putih yang mengedepankan, mengakomodir, dan menghargai sebuah perbedaan. Tentu saja perbedaan –meminjam istilah Goenawan Mohamad—yang tidak dijajah oleh supremasi identitas. Perbedaan adalah rahmat Tuhan yang patut disyukuri. Dengan perbedaan, kita bisa saling mengenal. Apalagi “penjajahan” identitas sangat kentara di bumi Indonesia saat ini. Kerusuhan dengan “mencederai” identitas yang lain kerap melanda Tanah Air kita. Identitas kaku ini tentu saja bisa membuat identitas kebangsaan kita yang mewujud dalam konsep Negara Bangsa pudar, atau bisa saja di masa mendatang menghilang. Tidak saja karena identitas sempit—suku, ras, agama, kita yang paling benar—tetapi faktor globalisasi yang memodernkan yang tidak tradisional, memberadabkan yang tidak beradab, juga bisa membuat imaji negara bangsa tidak terbayangkan lagi (bahasa penulis membolak-balik pemikiran Benedict Anderson yang mengatakan konsep negara bangsa lahir dari bayangan setiap warga negaranya tentang kebersamaan dan persaudaraan, walaupun mereka tidak saling mengenal). Wallahu a’lam bi al-shawab. ~Yogyakarta, 27 Januari 2012, 17.08~
*Dari diskusi buku Indonesia/Proses karya Goenawan Mohamad, 24 Januari 2012, di markas KBM, jalan Golo, Yogyakarta.

Pantun
Apalah tanda masyarakat Pelalawan
Masyarakat Pelalawan terkenal karena budi
Mari terus menulis kawan
Karena tulisan itu abadi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar