Identitas yang Lain dan Kita yang Sedang
Ditatap (Eropa)*
Darwin
Dalam esainya “Di Toko Mirota Batik: Tawar-Menawar Esensialisme Jawa” yang
termaktub dalam buku Ambivalensi:
Post-kolonialisme Membedah Musik sampai Agama di Indonesia (Budiawan<ed.>,
2010:122), Sutrisno mengatakan,
dirinya “dikenalkan“ dengan identitas Jawa oleh temannya yang orang Ceko,
Helena Hoskova ketika berkunjung ke Mirota Batik, Malioboro, Yogyakarta. Helena
langsung menyebut Sutrisno sebagai seorang Jawa yang aneh ketika ia ditanya
apakah ia menyukai batik, dijawab oleh Sutrisno “tidak suka”. Di sini,
pereduksian besar-besaran dilakukan oleh Helena. Identitas Jawa didefinisikan
oleh Helena secara parsial. Jawa hanya diidentikkannya dengan batik. Lebih
lanjut dalam esainya, Sutrisno mengatakan, jika seseorang tidak memakai atau
menyukai batik dalam pandangan Helena, maka seseorang akan dianggap bukan Jawa,
atau kalaupun Jawa, ia adalah Jawa yang aneh.
Inilah sejumput contoh terkait
fenomena yang “seksi” dalam wacana Poskolonial,
yakni identitas. Identitas adalah bentukan. Ia dibentuk oleh pihak berkuasa
atau dalam teori Poskolonial ia (di)ada(kan) oleh pengetahuan Eropa. Misalnya,
batik dijadikan penanda identitas untuk membedakan orang Jawa dan non-Jawa
(orang Barat/Amerika dan Eropa). Dan, yang membuat klasifikasi ini tentu saja
Barat, seperti dalam kasus Helena di atas. Dalam hal ini, Helena adalah “agen”
atau representasi Barat karena ia berasal dari sebuah negara yang secara
geografis terletak di benua Eropa, yakni Republik Ceko.
Tentu saja identitas di sini
mencakup semua hal, tidak hanya suku, ras, negara bangsa, dan kategori Barat
dan Timur, tetapi lebih dari itu. Yang jelas, identitas lahir dari adanya
perbedaan-perbedaan. Kata Goenawan Mohammad (2011), perbedaan muncul lebih
dahulu sebelum adanya identitas. Persoalannya, identitas tidak hanya sekadar
hasil konstruksi pengetahuan dominan, tetapi ada berbagai perspektif lain di
balik identitas tersebut.
Identitas yang kejam
Identitas itu kejam kata Reski (peserta diskusi). Ia mencontohkan
tokoh yang diperankan oleh Leony dalam film Identitas
yang disutradarai Arya Kusumadewa. Seseorang tidak akan dianggap kalau seseorang
itu tidak mempunyai identitas. Institusi rumah sakit akan mempersulit seorang
pasien, jika pasien tersebut tidak mempunyai identitas (KTP, SIM, Paspor dll.).
Inilah realitas keseharian kita yang tidak bisa kita hindari. Semua kita didisiplinkan
oleh penguasa (Negara) melaui identitas. Setiap warga negara dikontrol
sedemikian rupa melalui identitas ini, yang terkadang tentu saja sangat
reduktif dan “kejam”. Warga negara hanya dianggap, kalau ia mempunyai
identitas. Tidak hanya sekadar itu, identitas yang diciptakan tersebut
mempunyai metode yang “mendehumanisasi”. Kita didefinisikan oleh Negara
berdasarkan angka-angka, misalnya tanggal lahir, penghasilan per bulan, dan
lain sebagainya. Jadi, sisi kemanusiaan tidak berlaku di sini. Seberapa jenius
seseorang, skill yang dipunyai, dan
dimensi kemanusiaan lainnya pastilah tidak akan disentuh oleh Negara.
Identitas itu suci, jika ia berada
dalam ranah ide, tentu saja sebelum dicampuri “’sang’ pengetahuan Eropa”
melalui kekerasan epistemologinya. Desakralisasi identitas terjadi karena tafsiran
manusia itu sendiri, yakni “manusia Barat” yang mendefinisikan, mengkonstruk,
atau membentuknya. Kita selalu ter(di)jebak oleh definisi Barat yang
mengagungkan modernisasi hasil kreasinya tersebut. Arjuna (peserta diskusi
lainnya), menyalahkan modernisasi sebagai biang keladi di balik penciptaaan
identitas-identitas tersebut. Tampaknya, ia ingin beranjak sedikit dari
teoritikus Poskolonial dalam melihat identitas, meskipun tetap saja ada
pengaruh teori ini dalam pandangan-pandangannya.
Paham Pragmatisme yang dipopulerkan
Charles Sanders Peirce, Jhon Dewey, dan William James pada awal abad ke-20,
adalah sebuah paham yang mengedepankan aspek hasil atau tujuan. Bicara
identitas, tentu saja ia mempunyai tujuan atau fungsi. Fungsi identitas tentu
saja bukan seperti patriotisme ala Hitler yang membunuh demi terciptanya kemurnian
dan keunggulan sebuah identitas (ras Arya), tetapi terbentuknya “patriotisme”
putih yang mengedepankan, mengakomodir, dan menghargai sebuah perbedaan. Tentu
saja perbedaan –meminjam istilah Goenawan Mohamad—yang tidak dijajah oleh supremasi
identitas. Perbedaan adalah rahmat Tuhan yang patut disyukuri. Dengan perbedaan,
kita bisa saling mengenal. Apalagi “penjajahan” identitas sangat kentara di
bumi Indonesia saat ini. Kerusuhan dengan “mencederai” identitas yang lain
kerap melanda Tanah Air kita. Identitas kaku ini tentu saja bisa membuat
identitas kebangsaan kita yang mewujud dalam konsep Negara Bangsa pudar, atau bisa saja di masa mendatang menghilang.
Tidak saja karena identitas sempit—suku, ras, agama, kita yang paling benar—tetapi
faktor globalisasi yang memodernkan yang tidak tradisional, memberadabkan yang
tidak beradab, juga bisa membuat imaji negara bangsa tidak terbayangkan lagi
(bahasa penulis membolak-balik pemikiran Benedict Anderson yang mengatakan
konsep negara bangsa lahir dari bayangan setiap warga negaranya tentang
kebersamaan dan persaudaraan, walaupun mereka tidak saling mengenal). Wallahu
a’lam bi al-shawab. ~Yogyakarta, 27 Januari 2012, 17.08~
*Dari
diskusi buku Indonesia/Proses karya Goenawan Mohamad, 24
Januari 2012, di markas KBM, jalan Golo, Yogyakarta.
Pantun
Apalah
tanda masyarakat Pelalawan
Masyarakat
Pelalawan terkenal karena budi
Mari
terus menulis kawan
Karena
tulisan itu abadi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar