Senin, 15 Oktober 2012

Menghindari Hidup yang Serba Materi


Menghindari Hidup yang Serba Materi
Darwin*
“Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah
permainan dan sendagurauan, perhiasan, dan saling berbangga
di antara kamu serta berlomba dalam kekayaan, dan anak keturunan…” (QS. Al-Hadid: 20)

AGAKNYA kenapa bangsa ini tidak bisa lepas dari lilitan derita berkepanjangan, bisa jadi karena kita (manusia Indonesia) telah kehilangan arah dalam kehidupan. Mulai dari kita melek di pagi hari hingga kita menyentuh kasur lagi di malam harinya. Kita terlalu disibukkan  ritual harian yang sepenuhnya berdasarkan kepentingan jadwal hidup materialistik kita. Baik yang dibuat pihak kantor, sekolah, kampus, dan semua jadwal yang kita buat sendiri. Semuanya berjalan terlalu seperti mesin. Waktu telanjur kita anggap sebagai uang. Kehilangan sedikit waktu berarti malapetaka. Maka, kejar-kejaran berburu duit, jabatan, prestise, sering kita anggap lumrah. Akibatnya kita tak bisa lagi mencecap nikmatnya hidup. 

Politisi sibuk dengan make-up untuk menambal wajah keculasan.  Tipu muslihat pun ditunaikan demi kedudukan terhormat di Istana atau Parlemen dan tempat-tempat super-nyaman lainnya. Mereka membedaki muka mereka setebal mungkin sebagai pengalih perhatian rakyat. Seolah-olah mereka adalah penyelesai ampuh terkait derita hidup yang mendera orang-orang tak berpunya itu, padahal itu hanyalah dalih demi mulusnya jalan menumpuk kekayaan.

Lain lagi dengan para ustad yang saat ini juga mirip-mirip dengan politisi. Saat ini bermunculan ustad selebritis. Ustad yang mengedepankan tampilan daripada ucapan. Aksesori mewah melingkar-lingkar di tubuh mereka. Riasan menor juga menempel di wajah para ustadzah yang berkhotbah tanpa jeda yang “menyerbu” ruang tamu rumah kita setiap pagi itu. Inilah gaya hidup yang tercipta seiring lahirnya teknologi televisi. Bersolek lebih penting daripada nilai-nilai kehidupan. Kalau sudah seperti ini bisa dipastikan orientasi hidup para ustad/ustadzah jenis ini tidak jauh-jauh dari materi. Bayangkan, baju, sepatu, jilbab, dan aksesori lain yang mereka pakai itu tentu saja bukanlah barang murahan!

Kepungan materi     
Masyarakat biasa pun juga tidak bisa lepas dari kepungan materi-materi ini. Setiap jengkal kehidupan kita telah disesaki materi-materi penopang gaya hidup modern. Rumah kita didominasi furnitur mahal, perkakas dapur elite, makanan keluarga berkelas. Kendaraan kita adalah keluaran terbaru. HP kita adalah  HP yang selalu nongol dalam iklan televisi.  Tempat belajar kita adalah institusi komersial yang mengedepankan duit daripada ilmu pengetahuan. Dan berbagai tindak-tanduk serba materi yang melingkupi kita lainnya.

Bahkan, agama kita pun menjadi agama yang jauh dari sentuhan nilai-nilai keilahian. Agaknya definisi agama di abad modern pun sudah berubah. Agama saat ini dimaterikan sedemikian rupa hingga tidak ada bedanya lagi dengan politik atau barang dagangan sekalipun. Manipulasi yang banyak ditemui di seputaran dunia politik, saat ini tersua juga di ranah agama. Manipulator-manipulator berwajah agama bermunculan di tengah masyarakat. Bisa kita lihat, misalnya, dari banyaknya adegan pukul-memukul terhadap sesama yang dilakukan organisasi keagamaan belakangan ini. Begitupun ayat-ayat Tuhan dijadikan sms tauziah yang menggelembungkan pundi-pundi pemodal dan ustad yang menjadi endorser-nya. Pun, ibadah yang seharusnya adalah sarana mendekatkan diri kepada Tuhan, berganti dengan adu pamer aksesori atau fesyen saat pengajian atau salat tarawih ketika Ramadhan tiba.

Ada yang perlu ditelisik dari cara hidup kita yang seperti ini untuk kemudian dijadikan bahan reflektif bagi diri pribadi. Disorientasi hidup yang kita alami ini tentu saja ada penyebabnya. Bisa tuntutan zaman yang memang menghendaki gaya hidup seperti ini, atau bisa juga tabiat hidup kita yang abai dengan agama yang mengajarkan kearifan dan keluhuran hidup itu. Sebenarnya, dalam agama kita diajarkan konsep hidup zuhud. Imam Ghazali menerjemahkan kata zuhud ini dengan sebuah definisi yang sangat apik, yakni: tidak gembira dengan apa yang ada (didapat), dan tidak sedih dengan sesuatu  yang hilang. Inilah kiranya salah satu trik untuk berkelit dari gempuran gaya hidup materialistik ini, kesederhanaan dalam berkehidupan. Mari mencoba!! Wallahu a’lam bi al-shawab. 13 7 2012
*Darwin, Mahasiswa Ilmu Komunikasi, Univ. Muhammadiyah Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar