Hapus Saja Negara?
Darwin
Penulis membayangkan konsep hidup
tanpa negara di tengah kembali “antusiasnya” masyarakat terhadap politik (baca:
Pemilihan Umum Kepala Daerah=Pemilukada) seiring munculnya figur politik
fenomenal sekaligus nyentrik: Joko Widodo. Mungkinkah ide tanpa negara ini bisa
terlaksana? Apakah yang menyebabkan ide ini muncul? Padahal, para elite politik,
akademisi, sejarawan, para veteran perang, dan tokoh agama, semuanya sepakat bahwa
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah harga mati.
Penulis agak berbeda dengan para
nasionalis yang selama ini selalu mengobarkan semangat bernegara yang
berapi-api, para pencinta Pancasila yang mensangkralkan lima kalimat saktinya,
atau para pemuja merah-putih yang berkibar-kibar
di tempat-tempat formal itu. Bukannya penulis tidak nasionalis, tetapi hemat
penulis, konsep negara yang kita agung-agungkan selama ini hanyalah mitos
belaka. Mitos betapa negara-bangsa adalah suatu komunitas besar yang melindungi
warganya, mitos nasionalisme atau NKRI yang menyatukan perbedaan beragam manusia
Indonesia dari Sabang sampai Merauke, dan mitos-mitos semu lainnya yang
diciptakan negara sebagai pengalihperhatian itu.
Negara menciptakan mitos-mitos di
atas sebagai dalih para elite negara itu sendiri atas ketidakmampuan mereka
menyejahterakan masyarakat, kegagalan mereka melindungi minoritas, dan segala dosa-dosa
politik lainnya, terutama jika dikaitkan dengan janji kampanye yang mereka
lontarkan dari mulut manis mereka. Konon, katanya pada masa lalu, Hitler, sang
penguasa Jerman yang ambisius itu, juga menciptakan mitos ras unggul untuk
mengelabui rakyatnya. Mitos ras unggul melenakan masyarakat Jerman dari
penderitaan yang mereka alami, baik itu karena faktor ekonomi, maupun faktor
perang yang lagi berkecamuk di Eropa
ketika itu. Begitu pun di banyak negara dunia lainnya. Termasuk negara yang
menghentak dunia belakangan karena ekonominya, Cina.
Para
pemimpin Cina tak henti-hentinya mereproduksi ide komunisme yang
mengagung-agungkan masyarakat egaliter dari segala sisi itu. Namun, faktanya di
lapangan tetap saja ideologi Kapitalisme yang nampak. Satu sisi, orang-orang
kaya Cina bermunculan dalam deretan orang terkaya di dunia, di sisi lain
masyarakat miskin Cina dan segala refresifitas negara dalam bentuk pengekangan
bersuara juga semakin menjadi-jadi di sana. Di manakah ide kesetaraan yang
dijanjikan Komunisme? Mungkin hanya ada dalam mimipi rakyat Cina saja!
Hapus saja negara?
Menghapus
negara bukanlah pekerjaan mudah, tetapi apakah hari ini negara menjalankan perannya
di tengah masyarakat Indonesia yang kelaparan, kekeringan, dan penindasan
bertubi-tubi terhadap minoritas belakangan ini? Ada dan tidak adanya negara
dalam kamus penulis sama saja. Campur tangan negara di daerah perbatasan dengan
negara tetangga bisa dikatakan nihil, akibatnya banyak di antara masyarakat
perbatasan ini yang pindah warga negara. Jangankan daerah perbatasan,
masyarakat yang dekat dengan pusat kekuasaan saja bernasib tragis.
Dalam kasus Pemilukada DKI Jakarta, 20
September kemarin, terlihat betapa pemilih tidak peduli lagi dengan ideologi,
identitas primordial, ataupun janji-janji politik. Yang mereka butuhkan tiada
lain adalah urusan periuk dan terjaminnya kebebasan berekspresi. Isu SARA (suku,
agama, ras, dan antar-golongan) yang dihembuskan salah satu pasangan tidak menyurutkan
minat penduduk Jakarta untuk memilih pasangan “gado-gado” Jokowi-Ahok, yang
berdasarkan hitungan cepat Lembaga Survei Indonesia unggul atas pasangan Fauzi
Bowo-Nachrowi Ramli. Jokowi-Ahok meraih suara 53,81 persen, sementara Fauzi-Nara
46,19 persen. Hal ini membuktikan, pemilih rasional semakin bermunculan di
Indonesia. Pemilih yang selama ini diabaikan oleh negara itu. Mudah-mudahan
gejala positif Pemilukada DKI Jakarta ini juga menyebar ke daerah-daerah, sehingga
muncul perhatian besar dari mereka terhadap negara—dalam bentuk partisipasi
politik—. Kuncinya satu, negara yang dalam hal ini diwakili oleh Pemerintah
Daerah, juga mempunyai “minat” terhadap mereka.
Anarkisme
Ide tentang tiadanya negara disebut
dengan “anarkisme”. Dalam filsafat, aliran yang dipopulerkan oleh Gerrard
Winstanley dan kawan-kawan (Ali Mudhofir, 1996) ini, menghendaki hapusnya negara.
Dengan kata lain, masyakat yang hidup tanpa adanya suatu pemerintahan yang
mengatur perikehidupan mereka. Masyarakat, menurut aliran ini, bisa mengatur
diri mereka sendiri tanpa adanya campur tangan negara. Mereka bisa menata
kehidupan mereka sendiri dalam segala aspek. Sebuah kemandirian berkehidupan
yang hari ini menampakkan wujudnya di lapangan keindonesiaan. Jadi, walaupun
aliran ini dicetuskan pada abad 17-an, ternyata sangat relevan di negara kita
di abad modern ini.
Apakah masyarakat Indonesia bisa
hidup tanpa negara? Di tingkatan akar rumput, banyak bermunculan komunitas yang
menggerakkan masyarakat di berbagai bidang kehidupan, mulai dari ekonomi,
sosial, budaya, pendidikan, hingga lingkungan. Mereka tanpa pamrih menggerakkan
ekonomi kreatif, menciptakan lingkungan sehat, berkesenian, menggratiskan
sekolah, dan segala kebutuhan masyarakat kecil lainnya. Contoh konkret,
misalnya, apa yang dilakukan Anis Baswedan dengan “Indonesia Mengajar”-nya. Mereka
semua bergerak tanpa adanya sokongan negara. Sebagian masyarakat lainnya juga
bertahan hidup agar tetap survive
mengarungi kehidupan, juga tak “mempedulikan” negara. Negara tidak hadir di
tengah-tengah mereka. Dalam arti, kebutuhan dasar masyarakat kecil ini sama
sakali tidak dipenuhi oleh negara. Kalau sudah seperti ini, apakah negara masih
dibutuhkan? Silakan dijawab sendiri! Wallahu
a’lam bi al-shawab.
Yogyakarta, 21 Sept 2012, 4.10 PM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar