Rabu, 03 Oktober 2012

Hapus Saja Negara?


Hapus Saja Negara?
Darwin
            Penulis membayangkan konsep hidup tanpa negara di tengah kembali “antusiasnya” masyarakat terhadap politik (baca: Pemilihan Umum Kepala Daerah=Pemilukada) seiring munculnya figur politik fenomenal sekaligus nyentrik: Joko Widodo. Mungkinkah ide tanpa negara ini bisa terlaksana? Apakah yang menyebabkan ide ini muncul? Padahal, para elite politik, akademisi, sejarawan, para veteran perang, dan tokoh agama, semuanya sepakat bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah harga mati.

            Penulis agak berbeda dengan para nasionalis yang selama ini selalu mengobarkan semangat bernegara yang berapi-api, para pencinta Pancasila yang mensangkralkan lima kalimat saktinya, atau para pemuja merah-putih yang  berkibar-kibar di tempat-tempat formal itu. Bukannya penulis tidak nasionalis, tetapi hemat penulis, konsep negara yang kita agung-agungkan selama ini hanyalah mitos belaka. Mitos betapa negara-bangsa adalah suatu komunitas besar yang melindungi warganya, mitos nasionalisme atau NKRI yang menyatukan perbedaan beragam manusia Indonesia dari Sabang sampai Merauke, dan mitos-mitos semu lainnya yang diciptakan negara sebagai pengalihperhatian itu.

            Negara menciptakan mitos-mitos di atas sebagai dalih para elite negara itu sendiri atas ketidakmampuan mereka menyejahterakan masyarakat, kegagalan mereka melindungi minoritas, dan segala dosa-dosa politik lainnya, terutama jika dikaitkan dengan janji kampanye yang mereka lontarkan dari mulut manis mereka. Konon, katanya pada masa lalu, Hitler, sang penguasa Jerman yang ambisius itu, juga menciptakan mitos ras unggul untuk mengelabui rakyatnya. Mitos ras unggul melenakan masyarakat Jerman dari penderitaan yang mereka alami, baik itu karena faktor ekonomi, maupun faktor perang yang lagi  berkecamuk di Eropa ketika itu. Begitu pun di banyak negara dunia lainnya. Termasuk negara yang menghentak dunia belakangan karena ekonominya, Cina. 

Para pemimpin Cina tak henti-hentinya mereproduksi ide komunisme yang mengagung-agungkan masyarakat egaliter dari segala sisi itu. Namun, faktanya di lapangan tetap saja ideologi Kapitalisme yang nampak. Satu sisi, orang-orang kaya Cina bermunculan dalam deretan orang terkaya di dunia, di sisi lain masyarakat miskin Cina dan segala refresifitas negara dalam bentuk pengekangan bersuara juga semakin menjadi-jadi di sana. Di manakah ide kesetaraan yang dijanjikan Komunisme? Mungkin hanya ada dalam mimipi rakyat Cina saja!

Hapus saja negara?  
Menghapus negara bukanlah pekerjaan mudah, tetapi apakah hari ini negara menjalankan perannya di tengah masyarakat Indonesia yang kelaparan, kekeringan, dan penindasan bertubi-tubi terhadap minoritas belakangan ini? Ada dan tidak adanya negara dalam kamus penulis sama saja. Campur tangan negara di daerah perbatasan dengan negara tetangga bisa dikatakan nihil, akibatnya banyak di antara masyarakat perbatasan ini yang pindah warga negara. Jangankan daerah perbatasan, masyarakat yang dekat dengan pusat kekuasaan saja bernasib tragis. 

            Dalam kasus Pemilukada DKI Jakarta, 20 September kemarin, terlihat betapa pemilih tidak peduli lagi dengan ideologi, identitas primordial, ataupun janji-janji politik. Yang mereka butuhkan tiada lain adalah urusan periuk dan terjaminnya kebebasan berekspresi. Isu SARA (suku, agama, ras, dan antar-golongan) yang dihembuskan salah satu pasangan tidak menyurutkan minat penduduk Jakarta untuk memilih pasangan “gado-gado” Jokowi-Ahok, yang berdasarkan hitungan cepat Lembaga Survei Indonesia unggul atas pasangan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli. Jokowi-Ahok meraih suara 53,81 persen, sementara Fauzi-Nara 46,19 persen. Hal ini membuktikan, pemilih rasional semakin bermunculan di Indonesia. Pemilih yang selama ini diabaikan oleh negara itu. Mudah-mudahan gejala positif Pemilukada DKI Jakarta ini juga menyebar ke daerah-daerah, sehingga muncul perhatian besar dari mereka terhadap negara—dalam bentuk partisipasi politik—. Kuncinya satu, negara yang dalam hal ini diwakili oleh Pemerintah Daerah, juga mempunyai “minat” terhadap mereka.

Anarkisme
            Ide tentang tiadanya negara disebut dengan “anarkisme”. Dalam filsafat, aliran yang dipopulerkan oleh Gerrard Winstanley dan kawan-kawan (Ali Mudhofir, 1996) ini, menghendaki hapusnya negara. Dengan kata lain, masyakat yang hidup tanpa adanya suatu pemerintahan yang mengatur perikehidupan mereka. Masyarakat, menurut aliran ini, bisa mengatur diri mereka sendiri tanpa adanya campur tangan negara. Mereka bisa menata kehidupan mereka sendiri dalam segala aspek. Sebuah kemandirian berkehidupan yang hari ini menampakkan wujudnya di lapangan keindonesiaan. Jadi, walaupun aliran ini dicetuskan pada abad 17-an, ternyata sangat relevan di negara kita di abad modern ini.

            Apakah masyarakat Indonesia bisa hidup tanpa negara? Di tingkatan akar rumput, banyak bermunculan komunitas yang menggerakkan masyarakat di berbagai bidang kehidupan, mulai dari ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, hingga lingkungan. Mereka tanpa pamrih menggerakkan ekonomi kreatif, menciptakan lingkungan sehat, berkesenian, menggratiskan sekolah, dan segala kebutuhan masyarakat kecil lainnya. Contoh konkret, misalnya, apa yang dilakukan Anis Baswedan dengan “Indonesia Mengajar”-nya. Mereka semua bergerak tanpa adanya sokongan negara. Sebagian masyarakat lainnya juga bertahan hidup agar tetap survive mengarungi kehidupan, juga tak “mempedulikan” negara. Negara tidak hadir di tengah-tengah mereka. Dalam arti, kebutuhan dasar masyarakat kecil ini sama sakali tidak dipenuhi oleh negara. Kalau sudah seperti ini, apakah negara masih dibutuhkan? Silakan dijawab sendiri! Wallahu a’lam bi al-shawab.
Yogyakarta, 21 Sept 2012, 4.10 PM
           

           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar