Rabu, 03 Oktober 2012

HMI Kedokteran dan Generasi Cherrybelle


HMI Kedokteran dan Generasi Cherrybelle
Darwin
DARUL Hira adalah tempat nan sakral sekaligus vital bagi kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) MPO Universitas Islam Indonesia (UII). Pondok pesantren yang terletak di Kabupaten Sleman (tidak jauh dari stadion Maguwoharjo) ini selalu setia menjadi tempat pelatihan, baik tingkat dasar, maupun lanjutan HMI. Tempat ini tak henti-hentinya melahirkan kader-kader HMI nan potensial, kader yang menjadi pelanjut gerak organisasi.

Di tempat inilah dari 21 hingga 24 September 2012 lalu dihelat Latihan Kader (LK) I oleh HMI Komisariat Fakultas Kedokteran (FK), UII, fakultas yang selalu identik dengan atribut mewahnya itu. Keterkejutan menghampiri penulis ketika diberitahu bahwa peserta LK kali ini mencapai sekitar 70-an orang. Ini adalah sebuah rekor di saat mahasiswa hari ini yang terlalu  disibukkan dengan kuliahnya itu. Ditambah lagi, mereka adalah generasi yang lahir dan menjadi mahasiswa di era Cherrybelle lagi tenar-tenarnya di panggung selebritas Tanah Air saat ini. Kita tahu, dunia yang dielu-elukan oleh Cherrybelle adalah dunia yang berciri tampilan daripada isi kepala. Tipuan make-up menambal wajah personel girlband ini, plus goyangan memikat yang membuat penggemar mereka terbuai walaupun suara mereka jauh dari standar.  Yang membuat penulis semakin terkejut adalah LK ini diselenggarakan oleh Komisariat Fakultas Kedokteran. Komisariat yang selama ini selalu keteteran perkaderannya itu. Pertanda apakah ini? Apakah ini sebuah kebangkitan? 

Dari Ki Hadjar Dewantara, Sutomo, hingga Sulastomo
Penulis optimis, membeludaknya peserta LK yang diadakan oleh FK ini menjadi pertanda akan kebangkitan mahasiswa kedokteran dari keterpasungan akademik yang mereka alami selama ini. Dalih praktek siang-malam menjadi penyebab para mahasiswa kedokteran terasing dari realitas sosial di sekitar mereka. Tiada hari tanpa praktek. Inilah rutinitas harian mereka selama mereka kuliah di fakultas paling mahal sejagat ini. Padahal, ada dunia lain yang seharusnya juga mereka alami. Dunia orang yang berbeda dengan mereka. Berbeda dari sisi akses akan kekayaan tentunya. Banyak orang miskin, atau mahasiswa miskin lainnya yang sepatutnya mereka dalami sebagai pijakan untuk merefleksikan hidup. Praktik hidup berorganisasi, khususnya di HMI, sangatlah mengedepankan hal ini. Kita di HMI dituntut untuk peduli dengan realitas sosial, juga yang tidak kalah penting di HMI diajarkan juga tentang kesederhanaan hidup. Di HMI saja banyak mahasiswa dari golongan menengah ke bawah, “mahasiswa burjo” kalau boleh penulis menyebutnya. Singkat kata, dari dalam HMI sendiri kita bisa belajar memaknai hidup. Kehidupan  yang bukan hanya terpaku pada laboratorium, ruang kuliah, atau rumah sakit saja.

Memang, kalau kita lihat  mahasiswa (khususnya mahasiswa kedokteran) yang lahir di era Cherrybelle sekarang ini, sulit menghindar dari konstruk global yang terlalu kuat untuk dilawan itu. Konstruk yang membuat mereka menjadi seperti mesin mengikuti kemauan kampus. Sebuah settingan yang menjauhkan mereka dari orang papa, kaum marjinal negeri ini. Padahal, pada zaman pra-kemerdekaan, mahasiswa kedokteran adalah mahasiswa yang berani keluar dari cangkangnya dan terjun ke tengah-tengah masyarakat untuk melakukan perubahan.

Ki Hadjar Dewantara, misalnya, tokoh radikal ini adalah mahasiswa STOVIA (Sekolah Dokter Jawa), sebuah sekolah yang telah menghasilkan para pejuang kebangkitan nasional yang terhimpun dalam Budi Utomo atau Indische Partij. Ki Hadjar Dewantara adalah mahasiswa STOVIA yang selalu kritis dengan pemerintahan kolonial Belanda. Meskipun ia tidak menamatkan studinya di STOVIA (Anshoriy Ch dan Tjakrawerdaya, 2008: 43), tetap saja kontribusi besarnya terhadap bangsa sampai kapan pun akan tetap dikenang. Ia adalah penggagas Taman Siswa dan satu dari tiga serangkai penggerak Indische Partij, partai dengan bumbu nasionalisme pertama dalam sejarah bangsa.

Tokoh progresif bangsa lainnya yang lahir dari STOVIA adalah Dr. Sutomo. Ia selalu diingat sebagai salah satu tokoh penggagas Budi Utomo. Ia adalah mahasiswa STOVIA “nakal” yang dipunyai oleh bangsa ini. Berkat “kenakalannya” itu, lahirlah organisasi yang menjadi tonggak kemerdekaan Bangsa Indonesia, Budi Utomo. Selain mereka, masih ada lagi tokoh pergerakan yang berlatarbelakang kedokteran, yakni Tirto Adhi Soerjo, Cipto Mangunkusumo, Abdul Muis, dan banyak lagi yang lainnya. 

Di HMI, mahasiswa yang juga  bergelut dengan jarum suntik adalah Sulastomo, Ketua Umum PB HMI tahun 1963-1966. Ia kuliah di Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia. Predikat “mewah”-nya sebagai mahasiswa kedokteran tidak membuatnya lupa daratan. Baginya, organisasi semacam HMI tetaplah hal terpenting dalam kehidupan. Ia membuktikannya hingga ia menjadi ketua umum pada masa-masa sulit di akhir kekuasaan rezim Sukarno. Masa sulit yang hampir saja menenggelamkan nama HMI, karena pertarungan berbagai kepentingan di waktu itu. Namun, seorang Sulastomo yang didukung para kolega lainnya di HMI ketika itu berhasil selamat dari himpitan berbagai kepentingan itu. Hari ini, HMI masih tetap eksis di usianya yang ke-65 tahun ini.

Mahasiswa kedokteran
            Saatnya bagi mahasiswa kedokteran untuk keluar dari cangkang kemewahannya. Ada tugas yang lebih besar daripada kesibukan suntik-menyuntik, berkutat dengan resep obat, dan mengatur tataletak inpus itu. Tugas itu adalah tugas kemanusiaan. Banyak penindasan, praktik dehumanisasi, hingga budaya korupsi yang menggejala di sekitar kita saat ini yang harus dienyahkan. Pembebasan dari ketertindasan dan semacamnya ini bisa dilakukan asal ada kemauan dari para mahasiswa (khususnya kedokteran) untuk berubah. Dari mahasiswa yang sibuk praktikum menjadi mahasiswa sibuk berorganisasi. Tentu saja HMI menjadi jawabannya. Dan, itu dimulai dari HMI Fakultas Kedokteran sendiri. Semoga! Wallahu a’lam bi al-shawab.
Kamar kos, 28 September 2012, 4.45 PM

  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar