HMI Kedokteran dan Generasi
Cherrybelle
Darwin
DARUL Hira adalah
tempat nan sakral sekaligus vital bagi kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) MPO
Universitas Islam Indonesia (UII). Pondok pesantren yang terletak di Kabupaten
Sleman (tidak jauh dari stadion Maguwoharjo) ini selalu setia menjadi tempat pelatihan,
baik tingkat dasar, maupun lanjutan HMI. Tempat ini tak henti-hentinya
melahirkan kader-kader HMI nan potensial, kader yang menjadi pelanjut gerak
organisasi.
Di
tempat inilah dari 21 hingga 24 September 2012 lalu dihelat Latihan Kader (LK)
I oleh HMI Komisariat Fakultas Kedokteran (FK), UII, fakultas yang selalu
identik dengan atribut mewahnya itu. Keterkejutan menghampiri penulis ketika diberitahu
bahwa peserta LK kali ini mencapai sekitar 70-an orang. Ini adalah sebuah rekor
di saat mahasiswa hari ini yang terlalu
disibukkan dengan kuliahnya itu. Ditambah lagi, mereka adalah generasi
yang lahir dan menjadi mahasiswa di era Cherrybelle lagi tenar-tenarnya di
panggung selebritas Tanah Air saat ini. Kita tahu, dunia yang dielu-elukan oleh
Cherrybelle adalah dunia yang berciri tampilan daripada isi kepala. Tipuan make-up menambal wajah personel girlband
ini, plus goyangan memikat yang membuat penggemar mereka terbuai walaupun suara
mereka jauh dari standar. Yang membuat
penulis semakin terkejut adalah LK ini diselenggarakan oleh Komisariat Fakultas
Kedokteran. Komisariat yang selama ini selalu keteteran perkaderannya itu.
Pertanda apakah ini? Apakah ini sebuah kebangkitan?
Dari
Ki Hadjar Dewantara, Sutomo, hingga Sulastomo
Penulis
optimis, membeludaknya peserta LK yang diadakan oleh FK ini menjadi pertanda
akan kebangkitan mahasiswa kedokteran dari keterpasungan akademik yang mereka
alami selama ini. Dalih praktek siang-malam menjadi penyebab para mahasiswa
kedokteran terasing dari realitas sosial di sekitar mereka. Tiada hari tanpa
praktek. Inilah rutinitas harian mereka selama mereka kuliah di fakultas paling
mahal sejagat ini. Padahal, ada dunia lain yang seharusnya juga mereka alami.
Dunia orang yang berbeda dengan mereka. Berbeda dari sisi akses akan kekayaan
tentunya. Banyak orang miskin, atau mahasiswa miskin lainnya yang sepatutnya
mereka dalami sebagai pijakan untuk merefleksikan hidup. Praktik hidup berorganisasi,
khususnya di HMI, sangatlah mengedepankan hal ini. Kita di HMI dituntut untuk
peduli dengan realitas sosial, juga yang tidak kalah penting di HMI diajarkan
juga tentang kesederhanaan hidup. Di HMI saja banyak mahasiswa dari golongan
menengah ke bawah, “mahasiswa burjo” kalau boleh penulis menyebutnya. Singkat
kata, dari dalam HMI sendiri kita bisa belajar memaknai hidup. Kehidupan yang bukan hanya terpaku pada laboratorium,
ruang kuliah, atau rumah sakit saja.
Memang,
kalau kita lihat mahasiswa (khususnya
mahasiswa kedokteran) yang lahir di era Cherrybelle sekarang ini, sulit menghindar
dari konstruk global yang terlalu kuat untuk dilawan itu. Konstruk yang membuat
mereka menjadi seperti mesin mengikuti kemauan kampus. Sebuah settingan yang menjauhkan mereka dari orang
papa, kaum marjinal negeri ini. Padahal, pada zaman pra-kemerdekaan, mahasiswa
kedokteran adalah mahasiswa yang berani keluar dari cangkangnya dan terjun ke
tengah-tengah masyarakat untuk melakukan perubahan.
Ki
Hadjar Dewantara, misalnya, tokoh radikal ini adalah mahasiswa STOVIA (Sekolah
Dokter Jawa), sebuah sekolah yang telah menghasilkan para pejuang kebangkitan
nasional yang terhimpun dalam Budi Utomo atau Indische Partij. Ki Hadjar
Dewantara adalah mahasiswa STOVIA yang selalu kritis dengan pemerintahan
kolonial Belanda. Meskipun ia tidak menamatkan studinya di STOVIA (Anshoriy Ch
dan Tjakrawerdaya, 2008: 43), tetap saja kontribusi besarnya terhadap bangsa
sampai kapan pun akan tetap dikenang. Ia adalah penggagas Taman Siswa dan satu
dari tiga serangkai penggerak Indische Partij, partai dengan bumbu nasionalisme
pertama dalam sejarah bangsa.
Tokoh
progresif bangsa lainnya yang lahir dari STOVIA adalah Dr. Sutomo. Ia selalu
diingat sebagai salah satu tokoh penggagas Budi Utomo. Ia adalah mahasiswa
STOVIA “nakal” yang dipunyai oleh bangsa ini. Berkat “kenakalannya” itu,
lahirlah organisasi yang menjadi tonggak kemerdekaan Bangsa Indonesia, Budi
Utomo. Selain mereka, masih ada lagi tokoh pergerakan yang berlatarbelakang
kedokteran, yakni Tirto Adhi Soerjo, Cipto Mangunkusumo, Abdul Muis, dan banyak
lagi yang lainnya.
Di
HMI, mahasiswa yang juga bergelut dengan
jarum suntik adalah Sulastomo, Ketua Umum PB HMI tahun 1963-1966. Ia kuliah di
Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia. Predikat “mewah”-nya sebagai
mahasiswa kedokteran tidak membuatnya lupa daratan. Baginya, organisasi semacam
HMI tetaplah hal terpenting dalam kehidupan. Ia membuktikannya hingga ia
menjadi ketua umum pada masa-masa sulit di akhir kekuasaan rezim Sukarno. Masa
sulit yang hampir saja menenggelamkan nama HMI, karena pertarungan berbagai
kepentingan di waktu itu. Namun, seorang Sulastomo yang didukung para kolega
lainnya di HMI ketika itu berhasil selamat dari himpitan berbagai kepentingan
itu. Hari ini, HMI masih tetap eksis di usianya yang ke-65 tahun ini.
Mahasiswa
kedokteran
Saatnya bagi
mahasiswa kedokteran untuk keluar dari cangkang kemewahannya. Ada tugas yang
lebih besar daripada kesibukan suntik-menyuntik, berkutat dengan resep obat,
dan mengatur tataletak inpus itu. Tugas itu adalah tugas kemanusiaan. Banyak
penindasan, praktik dehumanisasi, hingga budaya korupsi yang menggejala di
sekitar kita saat ini yang harus dienyahkan. Pembebasan dari ketertindasan dan
semacamnya ini bisa dilakukan asal ada kemauan dari para mahasiswa (khususnya
kedokteran) untuk berubah. Dari mahasiswa yang sibuk praktikum menjadi
mahasiswa sibuk berorganisasi. Tentu saja HMI menjadi jawabannya. Dan, itu
dimulai dari HMI Fakultas Kedokteran sendiri. Semoga! Wallahu a’lam bi al-shawab.
Kamar kos, 28 September 2012, 4.45 PM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar