Dunia Barat, terutama Amerika
Serikat (AS), sepertinya semakin dibuat pusing oleh sikap politik Presiden
Suriah, Bashar al-Assad. Sudah lebih dari setahun gelombang demonstrasi yang
menentang pemerintahan Assad berlangsung, sudah ribuan nyawa manusia berjatuhan
(lebih dari 8.000), bangunan-bangunan yang luluh lantah sudah tidak terhitung
jumlahnya, dan Barat sudah melakukan berbagai macam cara untuk mengakhiri,
menjatuhkan Bashar al-Assad, krisis politik dalam negeri negara tersebut, namun ketidakpastian masa depan politik
Suriah masih menjadi kamus politik populer di hati rakyat Suriah. Kecemasan dan
ketakutan terus menghantui aktivitas rakyat dari detik ke detik.
Pada akhir Desember tahun 2011 lalu,
Liga Arab membentuk Tim Pemantau yang akan memonitor perlakuan rezim terhadap
rakyat dan oposisi. Sebagaimana yang dikhawatirkan oleh kelompok oposisi, tim
ini menuai kegagalan dan memperpanjang nafas rezim Assad. Terakhir Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) mengirim politisi kharismatik dan diplomat senior, Kofi
Annan, dalam rangka mencari titik oase perdamaian dalam negeri tersebut.
Kehadiran Annan sedikit memberi angin segar, setidaknya mengakhiri korban yang
berjatuhan dari hari ke hari, yaitu dengan adanya kesepakatan yang dicapai oleh
kedua belah pihak (pemerintah dan oposisi) akan pelaksanaan gencatan senjata
yang berlaku sejak 12 April kemarin. Sayangnya, pemerintah tidak menaati
kesepakatan tersebut, gencatan senjata terus dilanggarnya. Korban politik masih
terus berjatuhan (Kompas, 17 April 2012).
Pemerhati yang mengikuti
perkembangan politik Timur Tengah, terutama Suriah, tentu akan mempersepsikan
Bashar al-Assad sebagai pemimpin yang memiliki ‘warna’ yang sama dengan
kolega-kolega dekatnya, seperti Moammar Khadafi. Pemimpin yang totaliter yang
kejam dan rela menghabisi ribuan nyawa rakyatnya demi mempertahankan kekuasaan.
Pertanyaan yang muncul di benak kita adalah mengapa Bashar al-Assad begitu
berat meletakkan tahtanya?
Dinasti Assad
Bashar al-Assad adalah generasi
kedua dari keluarganya yang memimpin negeri Salahuddin al-Ayyubi tersebut.
Kepemiminan yang dimulai dari Hafiz al-Assad, ayah Bashar al-Assad, pada tahun
1970, Menteri Pertahanan dan Panglima Angkatan Udara ketika itu yang berhasil
memenangi pertaruhan di internal Partai Baath (Sihbudi, 1995: 193). Sejak saat
itu, negeri Syam tersebut selalu di bawah kendali keluarga Assad, yang sekarang
dipimpin oleh Bashar al-Assad. Artinya bahwa Suriah telah dipimpin oleh
keluarga Assad selama empat puluh tahun lebih.
Rentang waktu empat dekade tersebut membuat keluarga Assad berpikiran
bahwa Suriah adalah ‘negaranya’. Sepertinya itulah yang dikhawatirkan oleh
Bahsar al-Assad sehingga bersikukuh mempertahankan kursi kekuasaannya.
Meletakkan jabatannya serta menyerahkannya kepada ‘orang lain’, sebagaiman
desakan banyak pihak, terutama dunia internasional, sebagai presiden sama
halnya dengan mengakhiri kekuasaan dinasti Assad selama empat dekade. Oleh
karena itu, Assad melakukan berbagai macam cara, mengaplikasikan teori politik
Machiavelli; membasmi para pemberontak, tidak menghiraukan seruan dunia,
melanggar kesepakatan-kesepakatan yang telah dibuatnya. Semua itu demi kejayaan
dinasti yang kini sedang berada di ujung tanduk. Dinasti yang akan dicatat
dalam sejarah politik Suriah yang berakhir dengan tragis.
Inilah, asumsi penulis, yang membayangi dan mengahantui pikiran Bashar
al-Assaad. Bukankah dalam sejarah peradaban Islam tercatat banyak dinasti yang
kejayaannya berakhir dengan tragis? Di mana pemimpin dari dinasti-dinasti
tersebut dibantai dan dihabisi akar-akar dari garis keturunannya. Yang
mempelajari sejarah Islam akan mengetahui bagaimana pergantian dinasti ke
dinasti, dari Umayah ke Abbasiyah. Boleh jadi Bashar al-Assad kini telah
‘melihat’ diri dan darah biru garis keturunannya semuanya dibunuh atau
meninggalkan Suriah. Sebagaimana Abu al-Abbas (Khalifah Abbasiyah) mengeluarkan
dekrit kepada para gubernurnya supaya tokoh-tokoh Umayah yang memiliki darah
biru dihabisi, tanpa pengecualian. Hal itu dilakukan oleh Khalifah Abas ketika
Marwan II, Khalifah terakhir Umayah berhasil dibunuh oleh pasukan Abbasiyah
pada tahun 750 M/132 H (Karim, 2009: 144). Maka, pilihan ‘terbaik’ bagi Assad
adalah mempertahankan kekuasaannya dengan berbagai macam cara!
Ahmad Sahide
Pemerhati Timur Tengah
Tinggal di Yogyakarta
Yogyakarta, 17 April 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar