Minggu, 13 Mei 2012

Masa Depan Dinasti Assad

            Dunia Barat, terutama Amerika Serikat (AS), sepertinya semakin dibuat pusing oleh sikap politik Presiden Suriah, Bashar al-Assad. Sudah lebih dari setahun gelombang demonstrasi yang menentang pemerintahan Assad berlangsung, sudah ribuan nyawa manusia berjatuhan (lebih dari 8.000), bangunan-bangunan yang luluh lantah sudah tidak terhitung jumlahnya, dan Barat sudah melakukan berbagai macam cara untuk mengakhiri, menjatuhkan Bashar al-Assad, krisis politik dalam negeri negara tersebut,  namun ketidakpastian masa depan politik Suriah masih menjadi kamus politik populer di hati rakyat Suriah. Kecemasan dan ketakutan terus menghantui aktivitas rakyat dari detik ke detik. 

            Pada akhir Desember tahun 2011 lalu, Liga Arab membentuk Tim Pemantau yang akan memonitor perlakuan rezim terhadap rakyat dan oposisi. Sebagaimana yang dikhawatirkan oleh kelompok oposisi, tim ini menuai kegagalan dan memperpanjang nafas rezim Assad. Terakhir Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengirim politisi kharismatik dan diplomat senior, Kofi Annan, dalam rangka mencari titik oase perdamaian dalam negeri tersebut. Kehadiran Annan sedikit memberi angin segar, setidaknya mengakhiri korban yang berjatuhan dari hari ke hari, yaitu dengan adanya kesepakatan yang dicapai oleh kedua belah pihak (pemerintah dan oposisi) akan pelaksanaan gencatan senjata yang berlaku sejak 12 April kemarin. Sayangnya, pemerintah tidak menaati kesepakatan tersebut, gencatan senjata terus dilanggarnya. Korban politik masih terus berjatuhan (Kompas, 17 April 2012).  

            Pemerhati yang mengikuti perkembangan politik Timur Tengah, terutama Suriah, tentu akan mempersepsikan Bashar al-Assad sebagai pemimpin yang memiliki ‘warna’ yang sama dengan kolega-kolega dekatnya, seperti Moammar Khadafi. Pemimpin yang totaliter yang kejam dan rela menghabisi ribuan nyawa rakyatnya demi mempertahankan kekuasaan. Pertanyaan yang muncul di benak kita adalah mengapa Bashar al-Assad begitu berat meletakkan tahtanya?

Dinasti Assad
            Bashar al-Assad adalah generasi kedua dari keluarganya yang memimpin negeri Salahuddin al-Ayyubi tersebut. Kepemiminan yang dimulai dari Hafiz al-Assad, ayah Bashar al-Assad, pada tahun 1970, Menteri Pertahanan dan Panglima Angkatan Udara ketika itu yang berhasil memenangi pertaruhan di internal Partai Baath (Sihbudi, 1995: 193). Sejak saat itu, negeri Syam tersebut selalu di bawah kendali keluarga Assad, yang sekarang dipimpin oleh Bashar al-Assad. Artinya bahwa Suriah telah dipimpin oleh keluarga Assad selama empat puluh tahun lebih. 

Rentang waktu empat dekade tersebut membuat keluarga Assad berpikiran bahwa Suriah adalah ‘negaranya’. Sepertinya itulah yang dikhawatirkan oleh Bahsar al-Assad sehingga bersikukuh mempertahankan kursi kekuasaannya. Meletakkan jabatannya serta menyerahkannya kepada ‘orang lain’, sebagaiman desakan banyak pihak, terutama dunia internasional, sebagai presiden sama halnya dengan mengakhiri kekuasaan dinasti Assad selama empat dekade. Oleh karena itu, Assad melakukan berbagai macam cara, mengaplikasikan teori politik Machiavelli; membasmi para pemberontak, tidak menghiraukan seruan dunia, melanggar kesepakatan-kesepakatan yang telah dibuatnya. Semua itu demi kejayaan dinasti yang kini sedang berada di ujung tanduk. Dinasti yang akan dicatat dalam sejarah politik Suriah yang berakhir dengan tragis. 

Inilah, asumsi penulis, yang membayangi dan mengahantui pikiran Bashar al-Assaad. Bukankah dalam sejarah peradaban Islam tercatat banyak dinasti yang kejayaannya berakhir dengan tragis? Di mana pemimpin dari dinasti-dinasti tersebut dibantai dan dihabisi akar-akar dari garis keturunannya. Yang mempelajari sejarah Islam akan mengetahui bagaimana pergantian dinasti ke dinasti, dari Umayah ke Abbasiyah. Boleh jadi Bashar al-Assad kini telah ‘melihat’ diri dan darah biru garis keturunannya semuanya dibunuh atau meninggalkan Suriah. Sebagaimana Abu al-Abbas (Khalifah Abbasiyah) mengeluarkan dekrit kepada para gubernurnya supaya tokoh-tokoh Umayah yang memiliki darah biru dihabisi, tanpa pengecualian. Hal itu dilakukan oleh Khalifah Abas ketika Marwan II, Khalifah terakhir Umayah berhasil dibunuh oleh pasukan Abbasiyah pada tahun 750 M/132 H (Karim, 2009: 144). Maka, pilihan ‘terbaik’ bagi Assad adalah mempertahankan kekuasaannya dengan berbagai macam cara!


Ahmad Sahide
Pemerhati Timur Tengah
Tinggal di Yogyakarta
Yogyakarta, 17 April 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar