Bagi saya pribadi, tulisan ini memiliki arti penting dalam hidup. Ia saya katakan penting karena kehadirannya sebagai dokumentasi perjalanan ‘spiritual’ saya ke Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), bersama dengan sahabat seperjuangan saya, Darwin namanya, mahasiswa jurusan Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). Kami berdua menghirup udara pulau tersebut selama kurang lebih dua minggu, sejak tanggal 24 April sampai 7 Mei 2012. Dan ini adalah yang pertama kalinya kami berdua menginjak pulau tersebut. Setelah beberapa hari di sana, barulah kami tahu bahwa Lombok, selain tempat wisata Senggiginya yang terkenal itu, juga dikenal sebagai pulau seribu Masjid.
Akan banyak masjid yang kita temukan secara berdekatan. Sayangnya, menurut cerita teman-teman mahasiswa di sana, banyak masjid yang tidak difungsikan sebagaimana mestinya. Bahkan ada cerita dari teman-teman yang saya dampingi bahwa ada di suatu tempat di mana masjid dijadikan sebagai tempat sholat Jum’at secara bergantian. Misalnya minggu ini di masjid A, minggu depannya lagi di masjid B, kemudian minggu berikutnya sholat Jum’at secara berjama’ah di masjid lainnya lagi. Ini karena kekuaragan jama’ah, sementara masjid ‘ribuan’.
Kunjungan kami berdua ke Mataram sebagai pemandu dan pemateri dari Latihan Kader II (LK II) dan Senior Course ke-4 (SC ke-4) yang diselenggarakan oleh teman-teman HMI-MPO Cabang Mataram. Agenda yang terjadwal dari tanggal 24 April-3 Mei 2012. Pada awalnya, setahu kami berdua hanya akan memandu acara LK II, artinya bahwa kami hanya akan berada di Mataram kurang lebih satu minggu, ternyata pelatihan SC termasuk dari rangkaian agenda setelah LK II selesai. Kami pun harus menerima itu dengan lapang dada, Lembo Ade, dalam bahasa Bima-nya yang sering diucapkan oleh teman-teman peserta yang mayoritas dari Bima (Kuliah di Mataram). Lembo Ade, kata mereka, mempunyai arti dan makna yang cukup luas, ia bisa diartikan sabar, lapang dada, tulus dan ikhlas, dan lain-lain.
Selama kurang lebih dua minggu lamanya di pulau seribu masjid tersebut, banyak cerita dan kenangan yang menarik untuk saya jadikan sebagai bahan dari tulisan ini. Cerita yang beragam tentunya, ada yang lucu, unik, ceria, dan ada yang serius. Dan saya lalu memulainya dengan bercerita mengenai pelatihan kader dua HMI Cabang Mataram.
Cerita dari LK II
Selasa pagi, 24 April 2012, ketika sedang menunggu jadwal penerbangan dari Surabaya-Lombok, di bandara Juanda Suarabaya, saya ditelpon oleh senior saya, Ahmad Nuralam, Bang Alam (panggilan kesehariannya), yang tercatat sebagai pendiri dari HMI Cabang Mataram enam tahun yang lalu, sejak kembali dari Jogja. Bang Alam megatakan bahwa saya harus ‘memprovokasi’ teman-teman peserta pelatihan untuk giat membaca dan menulis. Dan memang kami berdua memiliki ‘proyek’ dalam dunia tulis-menulis. Beberapa buku HMI telah terbit dan dibaca secara luas sebagai hasil dari garapan kami bersama. Maka, kehadiran kami di Mataram, sebagai pemandu dan pemateri, dalam pelatihan teman-teman HMI Cabang Mataram membawa beberapa misi. Pertama, dalam rangka menjaga dan melanjutkan kaderisasi HMI. Kedua, membangun tradisi intelektual yang kuat di kalangan teman-teman Mataram; membaca dan berdiskusi. Dan yang ketiga adalah menularkan virus menulis kepada teman-teman peserta.
Ahmad Nuralam, senior saya tadi, berungkali mengatakan bahwa memandu teman-teman HMI Cabang Mataram akan sangat berbeda dengan memandu teman-teman di Yogyakarta. Ia mengatakan bahwa apa yang kami lakukan di Mataram ibaratnya mengukir di atas batu. Ia penuh dengan tantangan dan membutuhkan perjuangan ekstra, tetapi apa yang kami berdua ‘torehkan’ akan sangat terasa dan tidak mudah untuk hilang. Dan kami menyadari hal tersebut selama berada di sana mendampingi teman-teman.
Hari pertama memasuki materi, Rabu 25 April, di mana Darwin sebagai pemandu dan saya sebagai pemateri, karena pemateri awal tidak datang, dengan materi ‘Filsafat Sebagai Basis Gerakan,’ merasakan beratnya tantangan menulis di atas batu. Teman-teman peserta, yang jumlahnya lebih dari 20 orang, terlihat memiliki bacaan yang sangat terbatas. Apa yang kami katakan seolah wacana yang melangit bagi mereka. Mereka sepertinya sangat sulit mengikuti arus berpikir saya dalam membawakan materi tersebut. saya pun harus berpikir ekstra keras untuk memahamkan mereka terkait dengan materi serta arti pentingnya filsafat dalam dunia pergerakan. Berlahan-lahan mereka bisa mengikuti.
Menyadari mereka memiliki bacaan yang terbatas, kami berdua pun punya tugas lain; memprovokasi peserta untuk giat membaca plus menulis, menyadarkan mereka pentingnya membaca. Hari kedua, Kamis, 26 April, pola pikir teman-teman sudah mulai terbuka. Forum sedikit lebih ramai. Beberapa di antara mereka mulai berpartisipasi dan berani angkat bicara. Juga beberapa di antara mereka mulai membaca buku-buku, walaupun terbatas, yang disiapkan di Mushollah. Mereka menunggu waktu sholat sambil membaca buku. Kami berdua sebagai pemandu mereka sangat senang, sinyal-sinyal keberhasilan kunjungan kami berdua mulai terlihat. Dan kami pun terus memprovokasi mereka untuk banyak membaca, tidak lupa dengan menulis. Makanya hari pertama dan kedua mereka kami tugaskan untuk mereview salah satu materi dari tiga materi dalam satu hari. Teman-teman peserta nampak mengeluh kecapean, tetapi provokasi kami berdua menjadi energi tersendiri buat mereka, hanya ada tiga-empat orang yang tidak mengumpulkan tugas.
Pada hari ketiga, peserta kami bebaskan nulis apa saja yang mereka inginkan. Saya lalu memberinya rumus sederhana untuk menulis, menulis apa yang mereka rasakan, dengarkan, dan lihat selama berlangsungnya pelatihabn tersebut. Kreativitas dari mereka, sebagaimana tema yang diangkat dari pelatihan, mulai kami uji. Dari tugas yang ketiga ini kami melihat adanya bakat-bakat yang tersembunyi dari teman-teman, satu dari mereka, Desi Ratnasari, menulis cerpen yang bagi saya secara pribadi menarik, kekuranannya hanya pada redaksional saja. Dan beberapa dari mereka menulis puisi, salah satunya adalah Fadiyatur Rahmah, peserta dari IAIN Mataram, kemudian disusul oleh Wawan Risman dari HMI Cabang Bima.
Menurut kami puisinya, yang dibacakan di depan kelas, cukup bagus. Memiliki bahasa puitik yang punya kelas. Bahkan Fadiyah, pada hari berikutnya, menulis puisi untuk sang ketua kelas Bahri, atau yang sering disapa dengan nama Cimen, peserta pelatihan dari HMI Cabang Bima. Bahri kemudian membalas dengan menulis puisi pada hari berikutnya, tetapi ia malu membacakannya di depan kelas. Ini menunjukkan bahwa teman-teman dalam pelatihan ini memiliki bakat, hanya saja iklim keilmuan Mataram dan Bima tidak menunjang hal tersebut. Akses buku-buku terbatas, juga harga buku sangat tidak terjangkau, mahal.
Inilah yang membuat bakat dan potensi teman-teman itu tidak bisa tumbuh dengan baik. Saya yakin bahwa seandainya iklim keilmuan Mataram mendukung, mereka tidak kalah dari banyak penulis atau pun penyair-penyair di Tanah Air. Sayangnya, mereka tidak memiliki akses tersebut, dari mereka kami tahu bahwa di Mataram hanya ada satu toko buku, dan itu pun dengan harga yang sangat mahal. Inilah ketidakadilan negara, menurut Darwin. Distribusi buku tidak dilakukan dengan adil dan merata di seluruh Indonesia, hanya terpusat di pulau Jawa, itu pun tidak semua, sehingga hanya Jawa yang punya potensi melahirkan orang-orang besar dan hebat. Bagi Darwin, di sinilah negara seharusnya mengambil peran untuk mencerdaskan warganya. Struktur seharusnya bermain dalam pendistribusian keilmuan secara merata demi peningkatan kualitas anak didik.Sayangnya, negara tidak hadir dalam ranah ini.
Minat Membaca
Di atas telah saya singgung sekilas bahwa teman-teman peserta pelatihan ini memiliki bacaan yang terbatas. Wacananya sangat terbatas. Bahkan banyak dari mereka mengaku bahwa buku yang mereka baca hanyalah buku yang punya keterkaitan dengan mata kuliah. Sebenarnya tanpa mereka mengakui hal tersebut, saya sudah bisa memahaminya. Dari komentar-komentar dan pertanyaan-pertanyaan mereka pada hari pertama dan kedua yang ‘kurang berkelas’. Oleh karena itu, saya dan Darwin, mencoba mengajak mereka untuk berpikir, sambil merangsang membaca buku. Pada hari ketiga dan keempat mulai terasa, ketika bertanya dan berkomentar sudah mulai ‘naik kelas’. Di sana sudah ada perenungan dan nalar. Semakin banyak pun dari mereka yang membaca buku di Mushollah menjelang shalat. Sayangnya, kami hanya menyediakan buku yang sangat terbatas untuk mereka baca.
Buku pun mulai menjadi bahan obrolan mereka dari hari ke hari. Banyak dari mereka yang menanyakan buku-buku yang menarik untuk dibaca. Ada yang bermaksud memesan buku dari Jogja, sehabis kami bedua pulang dari Mataram ke Jogja. Sebagai pemandu dan pemateri dari pelatihan ini, kami berdua merasa senang dan sering membicarakan perkembangan drastis teman-teman dalam beberapa hari pelatihan. Mereka pun semakin sering berdiskusi non-formal di luar kelas, misalnya pagi, sehabis sholat shubuh dan tadarus secara berjamaah, dan sore hari, setelah materi selesai. Beberapa dari mereka sering terlmbat mandi karena keasyikan diskusi.
Banyak hal yang mereka diskusikan, kadang materi yang baru saja mereka ikuti, dan lain-lain. Beberapa dari mereka pun menyatakan dengan antusias untuk membentuk forum diskusi setelah pelatihan selesai. Mulai ada kesadaran bahwa mereka selama ini jarang berdiskusi dan membaca buku. Seolah menjadi aktivis (kader HMI MPO) bagi mereka hanyalah berdemonstrasi. Cara berpikir teman-teman peserta pun mulai terbuka. Misi sepertinya akan tercapai.
Rezim Bahri (Cimen)
Dari sekian banyak peserta pelatihan LK II, ada salah seorang di antara mereka yang paling familiar, menarik perhatian, dan sering disebut-sebut namanya dalam kelas. Kepopulerannya bukan karena ia paling hebat di kelas, bukan. Dari segi wacana beberapa lebih dari dia. Dia adalah Bahri, atau nama kesehariannya Cimen, peserta LK II dari HMI MPO Cabang Bima yang dinobatkan sebagai ketua kelas oleh teman-temannya. Cimen orangnya besar dan tinggi, berkulit hitam, berambut panjang dan Gondrong. Rambutnya selalu ia ikat ke belakang, rapi. Gaya bicaranya di forum menunjukkan ia adalah orator ulung. Suaranya menggelegar.
Kehadiran Bahri sangat mewarnai kelas. Orangnya lucu secara alamiah. Tingkahnya di kelas, apakah itu bertanya atau berkomentar, selalu menghadirkan tawa dan keriuhan di kelas, tanpa ia bermaksud untuk melucu. Teman-teman peserta yang lain pun kadang kehilangan rasa lelah dan ngantuknya jika sang ketua kelas mulai beraksi.Baik di dalam kelas maupun di luar, ia tetap saja lucu. Ketika memasuki Mushollah misalnya, untuk sholat, ia selalu mengucapkan salam dengan suara sekeras-kerasnya, sekalipun teman-teman yang lain sedang sholat. Atau ada saja tingkahnya di lokasi pelatihan yang lucu dan menghibur teman-temannya. Bahri, dari segi pisik, orangnya kelihatan sangat sangar, tetapi setelah bergaul dan berinteraksi dengannya lebih jauh, ia rupanya berhati lembut. Itu kesan saya terhadap dirinya selama pelatihan, di mana saya sebagai pemandu. Ia sangat menghargai teman-temannya, terutama pemandunya, saya dan Darwin. Semoga di lain kesempatan masih bisa ketemu Adinda Bahri yach!
Agenda Jalan-jalan
Setelah agenda pelatihan selesai, yang ditutup pada Kamis malam, 3 Mei, dan meninggalkan lokasi pada Jum’at pagi, 4 Mei, kami berdua mendapatkan bonus, juga bisa dikatakan sebagai ‘kado’ dari kehadiran kami berdua di Mataram. Jum’at sore, sebagian besar teman-teman peserta berkumpul di Asrama teman-teman Bima, dari sana kami semua berangkat ke pantai Malimbo, yang secara geografis masuk wilayah Lombok Barat, di mana dari versi teman-teman di sana lebih bagus dari pada Senggigi, sekali pun Senggigi lebih dikenal luas. Kami berangkat ke pantai tersebut dengan mengendarai motor, ramai-ramai. Di Malimbo, yang memang memiliki pemandangan alam yang indah, anugerah tersendiri dari Tuhan, kami semua menikmati dengan bergembira ria, foto bareng, dengan berbagai macam gaya berekspresi untuk melepas beban pikiran yang cukup melelahkan selama pelatihan.
Setelah puas menikmati keindahan alam Malimbo, kami semua pulang dan singgah di pantai Senggigi, walaupun kata teman-teman di sana Malimbo lebih bagus dari pada Senggigi, tetapi saya tetap meminta untuk berhenti dan mengunjungi pantai tersohor tersebut. Karena sebagai tamu, sekaligus senior mereka, permintaan itu pun mereka kabulkan. Kami berhenti dan kembali menikmati jalan-jalan di pantai Senggigi. Pantai yang indah yang berada di lereng-lereng gunung, kaligrafi Indah Tuhan bagi hambanya untuk dapat melihat dan merasakan indahnya kehidupan. Kuasa Tuhan telah tergambarkan bagi yang mampu menangkapnya.
Sayangnya, baru beberapa menit di Senggigi, belum banyak mengambil foto bareng, hujan pun mengguyur pantai tersebut. Keindahan alam Senggigi, dengan pasirnya yang putih, tidak kami nikmati dengan puas. Kami pada berlarian mencari tempat berteduh, namun tetap saja kami semua basah kuyup. Bagi kami berdua, saya dan Darwin, ini akan menjadi kenangan yang kurang manis di Senggigi. Namun ada kepuasan tersendiri, kami berdua bisa mengunjungi pantai tersebut. Yang sebelum mengunjunginya sering dibuat penasaran oleh teman-teman, bagi yang pernah mengunjungi, lalu menceritakan keindahan alam Senggigi.
Kini saya pun bisa menceritakan pantai tersebut bukan sebagai ‘penyambung’ lidah orang lain, tetapi versi saya sendiri setelah mengunjunginya. Kesimpulannya, walaupun Malimbo jauh lebih indah, menurut
teman-teman yang mengantarkan kami ke ke sana, Senggigi, bagi saya secara pribadi, tetaplah sebagai pantai yang memiliki pemandangan alam yang indah. Ia adalah kaligrafi Tuhan yang indah dengan gunung-gunung yang ia jadikan sebagai latarnya. Di sanalah letak keindahan Senggigi.
Pengabdian Alumni
Dari Senggigi, setelah sholat Magrib, rombongan pun ramai-ramai ke rumah alumni, Zulkifli, yang berada di daerah Lombok Tengah (Loteng). Beberapa dari rombongan tidak ikut karena terpisah-pisah (berpencar) dan tidak tahu tempat. Zulkifli adalah alumni HMI-MPO dari Cabang Jakarta Selatan, ia kembali ke Mataram pada tahun 2007, katanya. Ia memulai hidup dari nol, tanpa pekerjaan yang pasti dan juga belum punya pasangan hidup. Darinya saya banyak belajar bahwa kematangan dan potensi yang dia bangun dalam berorganisasilah, di HMI, yang membuatnya bisa bertahan hidup setelah kembali ke Lombok. Kini hidupnya sudah bisa dikatakan mapan, tanpa harus menjelaskannya panjang lebar. Hahahahahaaaa......!!!
Setelah tiba di rumahnya, kami dijamu dengan pengajian a la HMI, membaca ayat suci al-Qur’an secara bergantian, satu orang satu ayat. Tetapi bang Zul, demikian teman-teman menyapanya, mengembangkan metodenya, ada terjemahan dan tafsirnya. Tapi saya yakin bahwa metode ini adalah metode pendidikan HMI, dalam pelatihan, yang ia kembangkan. Metode yang didapatkannya ketika masih aktif sebagai kader HMI dulu. Metode inilah yang ia bawa untuk masyarakat. Di sinilah salah satu manfaat HMI, bukan?
Setelah pengajian, Bang Zul menjelaskan bahwa ia kini punya dan mendampingi kelompok pengajian di masyarakatnya, selain itu ia juga punya pondok. Setelah pengajian, kami mendapatkan jamuan lanjutan dengan makan malam. Saya duduk tepat di samping kirinya, menghadap ke luar. Kami makan sambil ngobrol, sebagai tuan rumah, Bang Zul tentu lebih banyak bercerita, kami semua sebagai pendengar. Tapi ada hal menarik dari cerita panjang lebarnya. Katanya ia membentuk kelompok tani di daerahnya. Kelompok tani ini ia namakan dengan kelompok tani “Hijau-Hitam,” ada kelompok tani ‘Hijau-Hitam Satu” dan kelompok tani “Hijau-Hitam Dua.” Di HMI, hijau dilambangkan kemakmuran dan hitam melambangkan kedalaman ilmu. Tetapi di masyarakat yang bergabung dalam kelompok, Bang Zul, menjelaskannya lain. Katanya, ketika disodori pertanyaan oleh salah seorang petani, hijau itu daun dan hitam itu adalah tanah. Dan ia berhasil ‘mengelabui’ warganya. Walaupun itu mengelabui dengan maksud positif, bukan?
Dalam kelompok taninya tersebut, Bang Zul melakukan pendampingan masyarakat untuk meningkatkan taraf hidupnya. Ia memberikan pinjaman berupa pupuk pada masa menanam dan anggota kelompoknya membayarkan setelah panen. Ini ia lakukan agar supaya masyarakatnya bisa lebih produktif dalam usaha taninya, dengan mendapatkan support modal. Lagi-lagi di sini ada sentuhan ‘hijau-hitamnya’.
Apa yang ingin saya katakan dari kisah ini adalah bahwa dari sosok Bang Zul kita bisa melihat manfaat secara langsung HMI kepada masyarakat dan kepada bangsa dan negara. Apa yang dilakukan oleh Bang Zul adalah bagian dari gerakan yang diidealkan oleh HMI, pengabdian langsung kepada masyarakat untuk menciptakan tatanan masyarakat yang diridhoi oleh Allah SWT. Proses-proses yang ia ikuti semasa aktif di HMI menjadi modal sangat berharga dan tidak ternilai untuk melakukan sesuatu di masyarakat setelah kembali dari Jakarta.
Apa yang ia lakukan adalah sentuhan HMI, dan ia adalah produk yang berhasil di HMI. Untuk menjadi produk atau pun kader yang berhasil di HMI ukurannya bukanlah pada karir yang melejit, popularitas, dan rumah serta mobil mewah, tetapi ukurannya pada sejauh mana kader HMI bermanfaat kepada masyarakat luas nantinya. Keberhasilan seorang kader HMI bukanlah ‘jakartasentris’ ukurannya. Bagi saya, Bang Zul, dan mungkin masih banyak kader HMI lainnya yang tidak berhasil dideteksi, oleh ‘radar hijau-hitam’, yang melakukan hal yang sama, jauh lebih sukses dan mulia dari pada alumni kita yang ada di Jakarta sana, yang setiap hari muncul di layar televisi, tetapi banyak berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Semoga catatan ini bisa menjadi bahan refleksi dan renungan bersama bagi kader-kader HMI untuk kembali menata dan mensetting gerakannya, gerakan yang berparadigma keumatan. Sekian!
Ahmad Sahide
Yogyakarta, 9-22 Mei
Ditulis setelah kembali dari Mataram
Tidak ada komentar:
Posting Komentar