Selasa, 03 Januari 2012

Menuju Rezim “Rendah Hati”

Darwin
Kebijakan sesungguhnya biasanya
tampak melalui kerendahan hati dan tidak banyak cakap
(Napoleon Hill)

Rendah hati adalah sifat yang menjadi antitesis dari kesombongan. Ada juga yang mengatakan bahwa rendah hati terletak di antara dua sifat: sombong dan rendah diri. Terserah kita mau mengutak-atik kata ini, dan diletakkan dalam posisi mana! Yang jelas rendah hati adalah suatu sifat yang tidak mau menonjolkan diri. Biasanya, yang ditonjolkan dari manusia tidak jauh-jauh dari kekayaan, jabatan/gelar, dan kepintaran (ilmu). Kata lain yang mempunyai kesamaan makna dengan rendah hati adalah sederhana, atau dalam bahasa agama disebut zuhud. Tanda-tanda zuhud pada seseorang menurut Imam Ghazali diwujudkan dengan: tidak gembira dengan apa yang ada dan tidak sedih dengan hal yang hilang. “Apa yang ada” di sini sebenarnya tercakup dalam kekayaan, pangkat, dan ilmu yang dimiliki seperti jabaran di atas. “Hal yang hilang”, bisa kekayaan yang berkurang, kehilangan jabatan, anggota keluarga, teman, bahkan yang remeh temeh sekalipun seperti dalam sinetron-sinetron kita di kala malam tiba, seperti kehilangan sandal, misalnya (teman penulis pernah bercerita, ketika ia mengikuti casting sinetron di Jakarta, ia disuruh acting menangis histeris seperti laiknya kematian anggota keluarga hanya gara-gara kehilangan sepasang sandal, akhirnya teman penulis tidak lulus casting, menurut teman penulis alangkah sulitnya menyamakan sepasang sandal dengan anggota keluarga).
Kehidupan bernegara

Bagaimana dengan kehidupan bernegara kita hari ini? Kehidupan individu-individu dalam lingkup negara hari ini jauh dari perilaku zuhud (rendah hati) di atas. Individu biasa ataupun para pesohor saling menunjukkan eksistensi dirinya secara simbolik. Bisa dengan memamerkan gaya hidup termutakhir, ataupun para elite politik kita yang jago debat di gedung wakil rakyat. Seolah-olah dengan menunjukkan kepintaran berwacana, mereka dianggap punya kepedulian dengan sebuah isu, padahal yang diperdebatkan terkadang jauh dari substansi masalah. Materi adalah “idola baru” yang dipuja oleh para elite politik kita. Rezim yang berkuasa pun memberikan ruang ekspresi kepada para penyelenggara rezim untuk mengagungkan materi di atas nilai. Hal ini diwujudkan oleh rezim yang berkuasa dengan membangun gedung super-mewah, ditambah lagi fasilitas-fasilitas yang memanjakan lainnya, alih-alih membangun altar nilai, seperti pusat perbukuan atau pusat seni, misalnya.

Perilaku mewah para elite politik kita yang dipertontonkan ke hadapan masyarakat kecil (papa) memang sudah ada prototipe-nya pada para selebritas kita. Hidup glamor memang sudah mendarah daging di kalangan pesohor hiburan Tanah Air ini. Merek-merek tenar seakan sulit dipisahkan dari tubuh mereka. Balutan fesyen yang mereka pakai, mulai dari lipstik hingga celana dalam sekalipun tidak bisa lepas dari kungkungan citra produk mahal tersebut. Merek-merek terkenal ini juga menghampiri seorang Nunun Nurbaeti, tersangka kasus suap cek pelawat dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia tahun 2004. Hal ini terlihat ketika ia tiba di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi hari Sabtu (10/12) lalu. Ia datang dengan kerudung Louis Vitton, merek populer asal Perancis. Bahkan surat kabar Kompas pada hari Minggu (11/12) lalu menaruh foto Nunun tanpa wajah di headline surat kabar itu. Di foto itu yang nampak cuma kerudung dengan merek Louis Vitton-nya saja karena Nunun membelakangi lensa. Kita tidak tahu motif redaksi di balik foto ini. Yang jelas, dari sini tergambar sulitnya para elite kita mempraktikkan gaya hidup sederhana.

Saat ini kita merindukan para penyelenggara negara seperti Mohamad Hatta, Agus Salim, ataupun Mohamad Natsir yang hidup sederhana bahkan memprihatinkan. Kesederhanaan Agus Salim, misalnya, ditulis oleh Asvi Warman Adam dalam bukunya Membongkar Manipulasi Sejarah: Kontroversi Pelaku dan Peristiwa, ia mengutip Prof. Schermerhorn: “orang tua yang sangat pandai ini seorang jenius dalam bidang bahasa, mampu berbicara dan menulis dengan sempurna dalam paling sedikit sembilan bahasa, mempunyai hanya satu kelemahan, yaitu selama hidupnya melarat” (Adam, 2009: 7). Demikian juga Mohamad Natsir, lebih lanjut Asvi Warman Adam mengatakan dalam bukunya: “Natsir menolak ketika seorang pengusaha memberi hadiah sebuah mobil Chevrolet Impala, padahal di rumahnya hanya ada sebuah mobil tua, De Soto”. Itu dulu, bagaimana dengan sekarang? Saat ini yang kita jumpai hanyalah para anggota DPR yang berlomba-lomba memenuhi parkir gedung DPR dengan mobil mewah. Sungguh memprihatinkan!

Rezim rendah hati
Menciptakan rezim “rendah hati” memang tidak mudah, tetapi itu bisa dimulai dari Sang Presiden sebagai pemimpin di tengah-tengah gemerlapnya hidup pembantu-pembantunya. Bapak Presiden bisa menggalakkan gaya hidup bersahaja seperti pemimpin-pemimpin di Amerika Latin sana, atau tidak usah jauh-jauh, di negeri kita sendiri ada Joko Widodo yang memimpin Solo yang menolak mengganti mobil dinasnya meskipun sudah dipakai oleh walikota sebelumnya. Joko Widodo juga menolak menerima gajinya sebagai walikota, ia merelakan gajinya dibagi-bagikan untuk kalangan yang tidak mampu. Jadi, hanya dengan kesederhanaanlah korupsi yang menggerogoti tubuh bangsa selama ini bisa dituntaskan. Hanya dengan hidup sederhana, kemiskinan dan pengangguran bisa lenyap dari negeri ini. Hanya dengan kesederhanaan pula, rakyat yang selama ini merasakan pahitnya hidup, bisa tertawa mereguk manisnya “madu” kehidupan. Semoga rezim yang “rendah hati” bisa lahir di tengah rezim “congkak” yang melingkupi negeri kita saat ini!!
Yogyakarta, 17 Desember 2011, 18.43

Tidak ada komentar:

Posting Komentar