Ahmad Sahide
Bagi Irak, pergantian tahun dari 2011 ke 2012 haruslah dimaknai sebagai tahun di mana negara itu harus bisa menentukan masa depannya sendiri. Hal ini ditandai pada acara penutupan misi militer Amerika Serikat (AS), yang sudah berlangsung selama 8 tahun 8 bulan dan 26 hari, di Baghdad pada tanggal 15 Desember lalu (Kompas, 16/12/2011). Perang Amerika di Irak pun akan berakhir yang menewaskan 113.493 warga sipil dan 4.801 pasukan koalisi. Perang yang dimulai sejak tahun 2003 lalu, di mana pada saat itu Amerika dipimpin oleh George Walker Bush, yang membawa misi menggulingkan rezim Saddam Hussein serta memusnahkan senjata pemusnah massalnya.
Delapan tahun menduduki negara tersebut, AS dinilai gagal membangun demokrasi substansial di Irak karena demokrasi yang diterapkan di Irak selama ini adalah demokrasi yang bersifat semu (Kompas, 17/12/2011). AS juga tidak berhasil menciptakan kestabilan politik dalam negeri negara tersebut. Meskipun Presiden Amerika Serikat Barack Obama mengklaim bahwa pasukan AS meninggalkan Irak dengan kepala di atas karena membangun Irak yang stabil dan kuat. Fakta di lapangan berbicara lain. Konflik etnis dan politik semakin memanas dan ledakan bom masih terus menghantui warga Irak dari hari ke hari. Itulah wajah Irak yang ditinggalkan AS.
Konflik segi-tiga
Ada tiga kelompok besar yang berpotensi memecah konflik politik Irak, yang mayoritas penduduknya adalah bangsa Arab, pasca ditinggalkan oleh Amerika. Ketiga kelompok besar itu adalah Syi’ah yang mayoritas, lebih dari 60%, Sunni, dan Kurdi, yang di masa lalu memang sudah saling bertikai. Pada era Saddah Hussein, kelompok Syi’ah, meskipun mayoritas, tersingkir dari peta politik Irak, adapun kelompok suku kurdi dilihat sebagai gerakan separatis yang merongrong kedaulatan Irak. Tercatat bahwa pada tahun 1988, Saddam Hussein dua kali melakukan pembantaian terhadap suku Kurdi karena selama perang Iran-Irak, warga Kurdi Irak justru berpihak pada Ayatullah Khomeini (Sihbudi, 1991: 135) yang berhasrat menyebarkan paham Syi’ah di kawasan Timur Tengah.
Dendam sejarah ini tidaklah mudah untuk dihapuskan, justru sentiment tersebut semakin kuat terbangun pada masa pendudukan AS. Sebagai buktinya, beberapa hari setelah acara peresmian berakhirnya misi AS di Irak, konflik politik yang melibatkan sentimen madzhab terjadi. Perdana Menteri Irak Nouri al-Maliki, yang Syi’ah, menginstruksikan penangkapan Wakil Presiden Irak Tareq al-Hashemi, juga memecat Deputi PM Irak Saleh Mutlak yang Sunni (Kompas, 22/12/2011). Krisis politik pun kembali panas. Ini menunjukkan bahwa sentiment madzhab dan suku masih menjadi bom waktu yang bisa meledak kapan saja ketika tidak mampu dikelolah dengan baik. Pekerjaan rumah ke depan bagi Irak adalah mengelolah perbedaan madzhab dan suku tersebut agar supaya ia tidak menjadi penghambat untuk membangun Irak setelah luluk lantah oleh pasukan koalisi 2003 lalu.
Perebutan pengaruh Iran vs AS
Selain bom waktu dari ketiga kelompok di atas, ancaman dari pihak luar bagi Irak adalah AS dan iran. Dikatakan bahwa AS tidak murni mengakhiri keberadaannya di Irak secara total. AS masih mempertahankan empat pangkalan militernya di Irak secara permanen. AS dan Irak mencapai kesepakatan bahwa pasukan AS di kawasan Teluk bisa setiap saat melakukan intervensi jika ada peristiwa membahayakan di Irak. Ini menunjukkan bahwa AS mencoba mengikat Irak dengan perjanjian tersebut agar supaya tetap berada dalam pengaruh dan kubunya.
Hal ini dilakukan oleh AS untuk menangkal pengaruh Iran di Irak. Kita ketahui bahwa dalam hasil pemilu Irak Maret tahun lalu (2010), Iran sudah mulai menjalankan skenarionya untuk menancapkan pengaruhnya. Skenario Iran pada saat itu adalah Presiden Irak Jalal Talabani dan kubu Iyad Alawi disingkirkan dari jabatan politik. Iran, pada saat itu, merancang kekuatan politik utama Irak yang pro-Teheran untuk mendominasi kekuasaan pasca kepergiaan AS akhir 2011 kemarin (Kompas, 29/03/2010). Iran melakukan ini karena Irak adalah tetangganya dan juga negara itu mayoritas penduduknya menganut Islam bermadzhab Syi’ah. Oleh karena itu, Irak memiliki potensi menjadi negara yang berada pada kubu Iran untuk melawan kubu AS di kawasan Timur Tengah. Saat ini, hubungan AS dan Iran semakin menegang, mulai dari kasus nuklir Iran sampai wacana Iran memblokade selat Hormuz. AS tentu melakukan berbagai cara untuk mengisolasi Iran serta melemahkan pengaruh Iran di negara-negara kawasan tersebut. Begitu pun juga dengan Iran yang berupaya terus membangun kekuatan politiknya dalam upayanya melawan hegemoni AS di kawasan kaya minyak tersebut. Dan Irak adalah salah satu negara yang akan menjadi lahan perebutan kedua kubu yang sedang bertikai tersebut.
Itulah tantangan Irak ke depan setelah misi militer Amerika berakhir di penghujung tahun 2011 lalu. Sebelum berangkat pada wacana pembangunan negara tersebut, konsolidasi politik sepertinya menjadi pekerjaan utama dari para pemimpin negara tersebut agar dapat terhindar dari hambatan internal dan eksternal.
Ahmad Sahide
Pemerhati Politik Timur Tengah, dan
Direktur Komunitas Belajar Menulis (KBM) Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar