Sabtu, 24 Desember 2011

Sondang dan Pesan Politiknya

Entah mengapa, terasa penting bagi saya untuk mengabadikan kepergian seorang mahasiswa pejuang Hak Asasi Manusia (HAM) dan penyuara aspirasi rakyat banyak, Sondang Hutagalung (22), yang juga tercatat sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bung Karno (UBK) Jakarta. Sondang tentu akan menjadi makna dan bagian penting dari catatan politik Indonesia di era reformasi ini. Bahwa ada seorang anak bangsa yang rela membakar dirinya, di depan istana, demi menyuarakan aspirasi masyarakat; menyuarakan keadilan dan penegakan HAM. 
<-more--!>

            Sondang yang meninggal Sabtu lalu, 10 Desember 2011, setelah empat hari dirawat di rumah sakit setelah aksinya membakar diri di depan istana, mengingatkan kita pada seorang pedagang kaki lima (PKL) yang juga membakar diri dan meninggal di Tunisia tahun lalu, juga pada bulan Desember. Dialah Muhammad Bouazizi (26). Bouazizi membakar diri karena ia tidak melihat adanya harapan untuk hidup, tidak ada lagi tempatnya berlindung dan mengadu nasib. Pemerintah tempatnya mengadu tidak mau mendengarkannya. Rezim telah kehilangan nurani.

Pesan Sondang
Sondang dan Bouazizi memang mempunyai latar belakang yang berbeda. Sondang adalah seorang mahasiswa dan aktivis pejuang HAM, sementara Bouazizi adalah seorang pedagang kaki lima. Tetapi jika sekilas kita melihat dari keduanya, ada kesamaan pesan yang disampaikan kepada dunia. Bouazizi melihat tidak adanya harapan untuk memperbaiki nasib. Adapun Sondang melihat tidak adanya harapan penegakan HAM dan keadilan di Indonesia. Pemerintah sebagai tempat mengadu dan menyampaikan aspirasi hanya sibuk beretorika. Suara-suara yang disampaikan oleh banyak pihak selama ini, dengan berbagai macam cara, tidak pernah ‘didengarkannya’. Jika ada anak bangsa yang rela membakar dirinya, seperti Sondang Hutagalung, maka itu seharusnya menjadi tanda dan pesan penting bagi rezim yang sedang berkuasa bahwa pemerintahannya sedang ‘tidak memberi harapan’ untuk rakyatnya untuk hidup lebih baik. 

Rezim harus melihat adanya ‘nurani publik’ yang bersemayam pada jenazah Sondang yang berteriak lantang ingin didengarkan dan diberi keadilan.  Janganlah melihat bahwa aksi Sondang adalah aksi seorang anak muda yang gila, melainkan ini adalah aksi yang sungguh berangkat dari nurani publik. Di Indonesia, kita pernah mendengar bagaimana perjuangan Romo Mangunwijaya yang mogok makan selama beberapa hari demi memperjuangkan nasib rakyat kecil di Kalicode, Yogyakarta. Dan tahun 2011 ini, nama Anna Hazare, dari India juga sempat menjadi pembicaraan harum di seantero dunia dengan aksi mogok makannya dalam demonstrasi mendesak pemerintah mengesahkan undang-undang antikorupsi di Mumbai, India. 

Bouazizi di Tunisia, Hazare di India, Mangunwijaya, dan Sondang adalah sosok di mana kesadaran dan nurani publik itu bersemayam di tengah kondisi sosial politik yang mematikan nurani. Boazizi membakar diri karena melihat pemerintah sudah kehilangan nuraninya, ia beberapa kali mengadu kepada pemerintah setempat, tetapi tidak dihiraukannya. Akhirnya, jalan terbaik yang ia tempuh adalah dengan membakar diri. Hazare melihat bahwa korupsi sudah melampui batas kewajaran. Begitu pun juga dengan Sondang yang melihat bahwa matinya nurani publik menyburkan pelanggaran HAM di Indonesia. Belum lama ini, perhatian berjuta pasang mata di Indonesia tertuju pada masyarakat Papua yang melakukan aksi protes dan menutup jalan ke arah perusahaan tambang Freeport. Di Papua nampak adanya nurani publik yang mati. 

Kini Sondanglah yang menghidupkannya kembali dengan mengorbankan nyawanya. Semoga kepergian Sondang mengetuk pintu nurani para elite sehingga mereka dapat menjadi pemimpin yang berpihak kepada rakyat banyak, terutama rakyat kecil. Menjadi pemimpin yang melindungi hak asasi manusia dan menegakkan keadilan. Saya kira itulah pesan dan nurani publik yang disampaikan oleh Sondang dengan lonceng kepergiannya hari Sabtu lalu. Harapannya pemerintah menangkap pesan ini!
Ahmad Sahide
Yogyakarta, 15 Desember 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar