Sabtu, 29 Oktober 2011

Kemelut KPK

Kemelut KPK dan Masa Depan Pemberantasan Korupsi
Ahmad Sahide
            Wacana pembubaran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kini kembali menjadi wacana menarik dari dinamika politik Indonesia. Dalam rapat konsultasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan KPK dan pimpinan Polri yang berlangsung pada hari Senin lalu, 3/10/2011, Fachri Hamzah, anggota DPR dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS), mengakui bahwa dirinyalah yang mengusulkan agar KPK dibubarkan. Sebenarnya, ide pembubaran KPK ini bukanlah yang pertama kalinya, pada tanggal 29 Juli 2011 lalu, ketua DPR Marzuki Alie melontarkan gagasan pembubaran KPK. Alasannya sangat sederhana, jika tidak ada lagi orang yang layak menjadi pimpinan KPK (Kompas, 5/10/11).  Bukannya menghakimi, tetapi logika yang dibangun oleh ketua DPR kita ini tentu sangat dangkal dan dibangun dengan cara berpikir yang tidak jernih. Setidaknya itu menurut hemat pribadi penulis.


            Penulis, yang sempat melihat berita di televisi proses berlangsungnnya rapat konsultasi di atas antara DPR, KPK, dan Polri, melihat bahwa forum ini sebenarnya bukan ajang untuk konsultasi dan menemukan titik temu dan jalan terbaik dalam pemberantasan korupsi. Forum ini dijadikan oleh anggota DPR kita yang angkuh itu untuk menghakimi KPK. Salah satu pernyataan keangkuhan dari Fachri Hamzah adalah ketika ia mengatakan bahwa KPK adalah anak kandung dari DPR, maka ketika seorang anak itu ‘kurang beretika’, tugas orang tualah yang berperan untuk menasehati atau menegur. Fachri juga menuduh bahwa KPK seolah-olah merasa sebagai lembaga superbody dalam memberantas korupsi. Boleh jadi rapat konsultasi pada hari Senin lalu itu dijadikan oleh DPR sebagai forum untuk memberikan nasehat atau teguran pada ‘anak’.

Logika Feodal

            Bila dicermati dengan jernih, logika Fachri Hamzah di atas adalah logika yang terbangun dari cara berpikir orang-orang feodal (mohon maaf). Logika yang selalu memposisikan orang tua sebagai pihak yang selalu benar, selalu menang, dan seorang anak harus selalu mengalah.  Apabila seorang anak menegur atau menyalahkan orang tua, maka itu dianggap sebagai perbuatan yang kurang beretika. Itulah logika yang penulis tangkap dari hasil rapat konsultasi hari Senin lalu. DPR melihat KPK sebagai ‘anak kandung’ yang mulai kurang beretika pada orang tua, makanya ia harus dibubarkan. 

            Para penghuni di Senayan sana sepertinya tidak berpikir modernis, bahwa boleh jadi seorang anak itu benar dan orang tua berada pada posisi yang salah. Oleh karena itu, ketika KPK memanggil para pimpinan Badan Anggaran (Banggar) di DPR, DPR merespon balik dengan wacana pembubaran KPK di atas. KPK harus dibubarkan karena ia berani ‘macam-macam’ pada orang tuanya sendiri. Tercatat bahwa sudah banyak anggota DPR yang dipenjarakan oleh KPK. KPK memang sudah sangat ‘kurang ajar’ pada orang tuanya sendiri, walaupun terbukti orang tua sudah banyak menyelewengkan uang rakyat, yang berusaha diselamatkan oleh anak. 

Di sini tidak berlaku logika siapa yang salah dan siapa yang benar. Seandainya logika benar-salah itu berlaku, boleh jadi anggota DPR yang terhormat itu mengoreksi diri ketika anak mulai membangkang, terbuka dan merespon dengan positif ketika pimpinan Banggar ramai-ramai dipnggil KPK. Bukannya membangun opini untuk membubarkan. Sayangnya, mereka tidak menggunakan logika dalam melihat kehadiran dan kinerja KPK, mereka menggunakan ‘etika’, layak-tidaknya suatu perbuatan di depan adat.

Rakyat menjadi  tumpuan kekuatan

            KPK lahir dari rahim reformasi karena kemandulan lembaga-lembaga terkait dalam memberantas korupsi. Tapi dalam perjalanannya, KPK menghadapi banyak tantangan yang begitu besar setelah ia muncul sebagai lembaga yang menakutkan bagi banyak koruptor di tanah air. Semoga publik masih ingat bagaimana proses kriminalisasi KPK yang skenarionya dimulai pada pertengahan tahun 2009 lalu, mulai dari kasus Antasari Azhar, terkait dugaan keterlibatannya dalam pembunuhan Direktur PT Putra Rajawali Banjaran, Nasruddin Zulkarnaen, sampai pada kriminalisasi dua pimpinan KPK lainnya, Bibid Samad Riyanto dan Chandra M. Chamzah. Chandar dan Bibit terkesan dipaksakan bersalah dalam upaya penyogokan pada waktu itu oleh kepolisian sehingga harus non-aktif dari pimpinan KPK. 

“Cicak versus Buaya” lalu menjadi kosa kata baru dalam kamus politik Indonesia. KPK diibaratkan sebagai Cicak yang tidak mampu melawan agresifitas Buaya (kepolisian). Chandra dan Bibit lalu ditahan oleh pihak kepolisian. Kriminalisasi pimpinan KPK ini mendapat perhatian publik yang bergerak lewat dunia maya, “Facebook”, memberikan dukungan kepada Chandra dan Bibit. Kekuatan dan dukungan rakyat lewat dunia maya tersebut tidak mampu dibendung oleh kepolisian dan memaksa Presiden turun tangan dan memerintahkan kasus Chandra dan Bibit diberhentikan penuntutannya. 

Upaya untuk melemahkan KPK rupanya tidak berhenti di situ. Buaya-buaya ganas lainnya mencoba manuver lain. Dalam kasus Chandra dan Bibit pada tahun 2009 lalu menjadi catatan tersendiri bahwa kekuatan moril yang terlihat dari dukungan rakyat tidak mampu dibendung oleh buaya-buaya ganas tersebut. Rakyat yang bergerak lewat dunia maya rupanya dapat dijadikan sebagai tumpuan akhir dalam upaya pemberantasan korupsi. Gerakan yang lahir dari panggilan nurani publik. Sayangnya, nurani publik pun kembali ‘direkayasa. M. Nazaruddin adalah sosok yang tepat dan bisa ditunggangi untuk merusak kekuatan moril dari KPK, kekuatan nurani publik. Nazaruddin, mantan Bendahara Umum Partai Demokrat yang kini menjadi tahanan KPK, berkali-kali bernyanyi bahwa dirinya pernah bertemu dengan beberapa pimpinan KPK, salah satunya Chandra M. Chamzah. Wacana pelanggaran kode etik pun muncul bagi beberapa pimpinan KPK. 

Penulis melihat bahwa ‘nyanyian’ Nazaruddin adalah bagian dari proses panjang untuk melemahkan KPK. Kita tahu, ketika kriminalisasi KPK pada tahun 2009, rakyat menjadi tumpuan kekuatan yang mampu meleburkan keegoan dan argresivitas buaya. Buaya-buaya ganas sadar tentunya, bahwa ia tidak mampu melawan kekuatan rakyat yang berdiri di balik KPK pada saat itu. 

Kini, kekuatan itu berupaya dipindahkan yang berdiri di belakang KPK. Wacana pelanggaran kode etik pun dilemparkan ke publik supaya dukungan dan kekuatan moril untuk KPK itu tidak lagi dimiliki KPK. Kini KPK dalam wacana pembubaran setelah pelanggaran kode etik itu dilemparkan ke publik. Sepertinya manuver itu berhasil, buktinya publik tidak lagi kuat berdiri dan bergerak bersama-sama membela KPK. Masa depan pemberantasan korupsi pun akan terlihat suram!
Ahmad Sahide
Direktur Komunitas Belajar Menulis (KBM)Yogyakarta
Yogyakarta, 7 Oktober 2011 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar