Kasus Muhammad Nazaruddin, mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, yang telah menjadi incaran media kurang lebih dua minggu terakhir ini seolah membongkar ‘bingkai busuk’ catatan korupsi yang selama ini dibungkus partai berkuasa tersebut. Terungkapnya ke ruang publik upaya Nazaruddin untuk menyuap Sekertaris Jenderal Mahkamah Konstitusi (MK) membuat para petinggi Demokrat sibuk bersilat lidah untuk membersihkan diri. Untuk menjaga ‘kebersihan’ Demokrat, Nazaruddin diberhentikan dari jabatannya sebagai Bendahara Umum. Kini Nazaruddin berada di Singapura ketika kasusnya sedang berupaya diusut oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
SBY dan Lautan Fitnah
Demokrat sepertinya dihantui kecemasan luar biasa dari kasus mantan bendaharanya tersebut, sehingga Ketua Dewan Pembinanya, yang sekaligus Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudoyono (SBY), ikut turun tangan menanggapi santernya pemberitaan media. Dalam jumpa persnya di Halim Perdanakusuma, Senin 30 Mei, SBY meminta agar budaya memfitnah tidak diteruskan (Kompas, 31/05/11). SBY juga pernah mengatakan bahwa Indonesia tidak seharusnya dijadikan sebagai lautan fitnah.
Pernyataan presiden ini secara tersirat sebenarnya hendak mengatakan bahwa berita di berbagai media, dengan kasus korupsi yang melibatkan salah satu petinggi partainya, adalah tidak benar. SBY berupaya meng-counter persepsi publik yang terbangun lewat pemberitaan media, sekaligus berupaya menghegemoni persepsi publik. Berhasilkah ia? Menanggapi pernyataan dari SBY, penulis hanya bisa mengirim pesan kepadanya, publik saat ini sudah mulai kehilangan kepercayaan kepada pemimpinnya, termasuk kepada SBY. Semoga publik seantero Tanah Air belum melupakan santernya pemberitaan media pada bulan Januari lalu, di mana para tokoh agama membongkar 18 kebohongan SBY. Maka, jangan-jangan SBY kembali berbohong bahwa semua itu adalah fitnah. Dan SBY lah yang memfitnah para ‘penyebar kebenaran’ di republik ini.
Langkah SBY tidak cukup tentunya dengan mengadakan jumpa pers. SBY harus berani menyelesaikan kasus-kasus yang ada, termasuk kasus mantan bendahara partainya. Kalau perlu Nazaruddin harus dipulangkan secara paksa. Begitu banyak kasus korupsi di Indonesia, yang mengindikasikan keterlibatan SBY dan Demokrat, tenggelam begitu saja. Tidak ada penyelesaian dengan tuntus untuk membuktikan bahwa semua berita miring terhadap diri dan partainya itu tidak benar, alias itu semua fitnah.
SBY, dengan kekuasaannya, tidak seharusnya berupaya menghemoni persepsi publik dengan retorikanya yang dapat menghipnotis jutaan rakyat Indonesia. Ia harus bisa sebagai pemimpin yang menyampaikan kebenaran. Oleh karena itu, berita-berita terkait dengan Nazaruddin tidak tepat ia respon dengan mengadakan jumpa pers, kemudian mengatakan bahwa Indonesia adalah lautan fitnah. SBY, sebagai presiden yang memiliki kekuasaan besar, harus bisa mendorong penyelesaian kasus-kasus korupsi dengan tuntas. Publik belum kehilangan daya ingatnya bahwa kasus Bank Century belum dibongkar dengan tuntas untuk mengetahui kebenaran korupsi di dalamnya. Begitu pun juga dengan kasus mafia pajak Gayus Tambunan yang belum selesai hingga sekarang.
Jika kasus korupsi Nazaruddin, dan kasu-kasus yang lainnya, tidak ia selesaikan secara tuntas, maka publik akan melawan dengan ‘jumpa pers’ bahwa Indonesia adalah negara lautan kebohongan. Untuk mengetahui siapa yang memfitnah, dan siapa yang berbohong, maka kasusnya harus dibongkar dengan tuntas tentunya. Jangan lagi diselesaikan dengan cara win-win solution, karena ini adalah proses ‘penyelesaian’ masalah yang akan melahirkan masalah baru. Sehingga pada akhirnya bangsa ini terjerumus ke dalam lingkaran masalah (korupsi).
Wahai bapak presiden, untuk menjadi pemimpin yang baik janganlah banyak melakukan jumpa pers. Tetapi banyaklah bekerja untuk menyelesaikan kasus-kasus yang ada. itulah yang dinanti rakyat saat ini!
Ahmad Sahide
Mahasiswa Agama dan Lintas Budaya
Kajian Timur Tengah, Sekolah Pascasarjana
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
Yogyakarta, 1 Juni 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar