Senin, 27 Juni 2011

Memusiumkan Secarik Pengalaman Dengan Tulisan

Membaca tulisan adik-adik dari As-Adiyah, yang tidak lama lagi akan melepaskan seragam almamaternya pada tingkat Madrasah Aliyah (MA), seakan membawa saya ke dunia sebelas tahun yang lalu, masa-masa ketika saya juga tercatat sebagai santri dari pondok ini. Dari tulisan-tulisan yang menceritakan perjalanan hidupnya sebagai santri pondok pesantren As-Adiyah, saya mendapat gambaran dan tentu dapat memahami dunia anak SMA. Dunia yang penuh dengan dinamika persahabatan, permusuhan, dan percintaan anak SMA. Itulah yang diceritakan oleh adik-adik ‘binaan’ dari buku kecil ini yang mereka tuangkan dengan tulus, tidak menutupi sesuatu yang mungkin bagi orang lain tabu untuk dijadikan konsumsi publik. Ada kejujuran bagi mereka dalam menulis. Hemat saya, mereka mencoba menulis apa yang dialami dan dirasakannya. Mereka mencoba memusiumkan secarik pengalamannya dalam hidup. Di hari tua nanti, ini akan sangat bermakna.

Saya tidak akan mengomentari isi dan redaksi dari penulisan buku kecil ini, tapi sebagai alumni As-Adiyah dan orang yang bergelut dalam dunia tulis-menulis, saya sangat mengapresiasi adanya kemauan, kepercayaan, serta kemampuan dari adik-adik untuk menceritakan secara singkat perjalanan hdupnya di As-Adiyah selama tiga atau enam tahun. Terkadang kita bisa mengingat-ingat peristiwa yang terjadi dalam hidup selama bertahun-tahun, tetapi, bagi banyak orang, sangat sulit untuk menuangkannya atau membahasakannya dalam bentuk teks.
Pada sisi ini, adik-adik binaan ini telah melangkah lebih jauh dari yang lain. Saat ini kita memang banyak menemukan anak-anak SMP atau SMA/MA yang menjadi penulis, sayangnya mereka hanya bisa menuliskan status di Facebook (FB) atau menjadi penulis short message centre (SMS). Bagi saya, tulisan yang akan dijadikan buku sederhana ini jauh lebih ‘mulia’ dari pada menjadi penulis status di FB atau ‘penulis SMS’ yang terkadang hanya membuang-buang waktu. Oleh karena itu, kepada adik-adik (Hadriani, Basma, Risnawati, Nur Hakiki, Mantawati, Islamiyah, Irma Erpiana, Wahyuni, Damra, Yanti) teruslah menulis, dan tulislah apa saja yang anda lakukan atau alami dalam sehari semalam. Bagi saya, yang terpenting dalam menulis adalah melakukannya terus-menerus. Biasakanlah menulis apa saja dalam satu hari. Bila selama ini Anda sering curhat pada teman atau kepada orangtua, maka mulai sekarang Anda harus jadikan kertas, komputer, laptop anda sebagai ‘teman’ curhat.
‘Hantu’ dan ‘Malaikat’ Dalam Menulis
Dalam menulis, ada ‘hantu-hantu’ yang terkadang menghalangi kita untuk terus menulis. Hantu itu adalah bahwa kita lagi tidak memiliki ide, gagasan atau sesuatu yang akan ditulis, kita lagi malas, kita lagi sibuk, lagi ada teman, dan seterusnya. Maka hantu ini harus kita jinakkan untuk dapat terus berkarya dengan tulisan, dan menghadirkan ‘malaikat’ bahwa kita harus menulis apapun itu dan apapun yang terjadi. Juga tulisan kita harus dibaca oleh orang lain.
Sebagai penutup dan sebagai pembakar semangat, saya katakan bahwa kita mengenal banyak penulis besar yang lahir dari desa terpencil. Ada Andrea Hirata, penulis novel tetralogi ‘Laskar Pelangi’. Andrea berasal dari Bangka Belitung, daerah yang terbelakang dan dulunya tidak dikenal luas. Namun  Andrea bisa keluar sebagai novelis dunia internasional. Selain Andrea, ada Muhidin M. Dahlan yang pernah menghebohkan pembaca sastra Indonesia dengan novel kontroversialnya yang berjudul ‘Tuhan, Ijinkan Aku Menjadi Pelacur’. Muhidin juga, dari pengakuannya, adalah penulis yang berasal dari daerah yang terpencil, Manado. Oleh karena, itu saya, Anda, dan kita semua punya kesempatan untuk menjadi penulis besar, sekalipun kita adalah orang desa. Semuanya ada di tangan kita. Apakah kita mau terus menulis dan mengembangkan bakat ini atau tidak. Kunci sebagi penulis adalah ketekunan, kesabaran, dan disiplin. Sekian!
Ahmad Sahide
Direktur Komunitas Belajar Menulis (KBM) Yogyakarta, dan
Alumni Pondok Pesantren As-Adiyah Ereng-Ereng, Bantaeng

Tidak ada komentar:

Posting Komentar