Selasa, 28 Juni 2011

Membahasakan Realitas ke Dalam Indahnya Kata-Kata

Membahasakan realitas ke dalam indahnya kata-kata, inilah yang dilakukan oleh para penyair. Namun, bahasa manusia sungguh sangat terbatas dalam mengolah “adonan” yang bernama realitas tersebut ke dalam “kue” yang bernama puisi, atau ada juga yang menyebutnya dengan sajak, bahkan syair ini. Alam sekitar jauh lebih kaya perbendaharaan katanya daripada bahasa manusia, namun hal tersebut tidak diketahui (belum tersingkap) oleh manusia karena misteri dari alam tersebut, yang sebagaimana kita ketahui “tangan” Tuhan berada di baliknya. Inilah salah satu bagian dari kata-kata yang terlontar dari salah seorang penyair yang ada di Kota Yogyakarta, Bang Bustan Basir Maras (selanjutnya Bang Bustan), pada diskusi “Komunitas Belajar Menulis” (KBM), Ahad malam (5/6) lalu, di markas KBM, jalan Golo, Tamsis. Diskusi yang dihadiri oleh 12 orang ini -terdiri dari peserta tetap KBM dan undangan- semakin asyik karena banyolan-banyolan yang diberikan oleh Bang Bustan di sela-sela diskusi.

Dengan memakai kaos berwarna putih dipadu dengan jaket hitam, celana jins, dan jam tangan yang melingkar di tangan kanannya, Bang Bustan memulai diskusinya dengan menyitir kata-kata filosof tenar Perancis, Nietzsche: bahwa puisi adalah menerjemahkan kenyataan ke dalam mimpi, dan sebaliknya mimpi ke dalam kenyataan. Selanjutnya, Bang Bustan bercerita banyak tentang seluk beluk dunia perpuisian, mulai dari hal-hal sederhana dari puisi hingga yang paling filosofis sekalipun. Lebih lanjut lelaki asal Mandar ini menjelaskan, bahwa hampir semua ilmuwan atau ulama besar Islam dahulu adalah penyair. Hal ini menunjukkan keunggulan puisi daripada kategori-kategori sastra lainnya, seperti novel dan cerpen, misalnya. Bahkan, Bang Bustan mengatakan, puisi lebih unggul daripada filsafat sekalipun, karena ia bersifat pra-pikir. Dengan kata lain, ia sebenarnya sudah ada dalam kepala penyair sebelum ia dibahasakan dalam bentuk puisi. Berbeda dengan filsafat, ia ada setelah pemikiran mencuat dan diperdebatkan. 


Ditemani dua aqua gelas di hadapannya, Bang Bustan semakin bersemangat menelurkan ilmu kepenyairannya kepada peserta diskusi, apalagi setelah sebagian peserta juga tidak mau kalah dengan pembicara yang ada di depan, dengan mengeluarkan sedikit pemikirannya terkait dengan dunia puisi. Menjawab pertanyaan dari saudara Rezki, misalnya, lelaki yang telah menghasilkan beberapa buku puisi ini, mengatakan, semakin rasional seseorang, maka semakin hilang unsur puitiknya. Artinya, bahasa puisi adalah bahasa imajinasi, di luar dari bahasa sehari-hari manusia. Ia memuat ketidaklaziman, bahkan hal-hal yang tidak masuk akal sekalipun. Jadi, untuk menjadi penyair, dibutuhkan daya imajinasi yang tinggi ditambah interaksi dengan lingkungan sekitar. Tidak hanya itu, seorang penyair haruslah mengamati apa yang ditemui dalam kehidupannya secara detail, walaupun hal tersebut remeh sekalipun, apa pun itu. 

Di akhir-akhir diskusi, lelaki yang mempunyai suara keras ini, membandingkan isi puisi dahulu dan sekarang. Dahulu bahasa puisi terlihat lebih puitis. Menurutnya wajar, karena kita mengkonsumsinya pada zaman yang jauh lebih berbeda dengan zaman mereka. Bisa jadi para penyair dahulu tidak menganggap puisi mereka puitik, karena sudah menjadi “makanan” sehari-hari mereka. Kita yang lahir di zaman modern sekarang menganggap puisi zaman dahulu puitik karena bahasanya yang tidak jamak di telinga kita untuk saat ini. Begitu juga, tambah Bang Bustan lebih lanjut, puisi-puisi kita saat ini di masa yang akan datang akan dianggap puitik oleh generasi selanjutnya karena mereka tidak mengalami era sekarang. 

Karena malam sudah hampir larut, diskusi tentang perpuisian, ini pun ditutup oleh saudara Nanang sebagai moderator, dilanjutkan beberapa menit obrolan ringan yang tidak formal antara peserta diskusi dengan Bang Bustan sebelum ia pulang ke rumahnya.

Darwin
Yogyakarta, 10 Juni 2011:10.20.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar