Selasa, 28 Juni 2011

Ketidakjujuran Negara

Sudah banyak cerita klasik tentang kejujuran dilontarkan di ruang-ruang kelas, forum khotbah Jum’at, misa di gereja, dongeng sebelum tidur oleh orangtua kepada anaknya, hingga yang sifatnya perbuatan dalam bentuk “kantin kejujuran”. Namun, kejujuran tidak kunjung hadir dalam proses bernegara kita hari ini. Praktik korupsi dan suap meruwak di kalangan elit negara, contek-mencontek terjadi di sekolah yang notabene adalah tempat mencetak pribadi jujur, hingga manipulasi timbangan di pasar-pasar ketika transakasi jual-beli terjadi. Ada apa dengan negeri ini? Negeri yang katanya mempunyai filosofi sangat sempurna yang terejawantah dalam lima sila Pancasila, negeri yang terkenal dengan moral ketimurannya, dan berbagai macam julukan halus memikat lainnya.

Menurut hemat penulis, ketidakjujuran ini bermula dari negara. Hal ini tecermin dari apa yang dilakukan oleh para elit kita di berbagai lembaga negara yang ada. Mulai dari pembuatan regulasi hingga eksekusi sebuah kebijakan, semuanya penuh dengan manipulasi. Makanya hari ini negara kita tidak bisa lepas dari jerat korupsi, juga kemiskinan, karena anggaran negara masuk ke kantong para manipulator negara (anggota DPR yang membuat undang-undang, pengusaha yang berkepentingan, dan orang-orang yang duduk di lembaga eksekutif sebagai eksekutor kebijakan).


Anehnya, hari ini negara malah menyalahkan masyarakat bawah sebagai “tertuduh” dalam hal ketidakjujuran ini. Kasus Ibu Siami yang membongkar contek massal di sebuah SD (Sekolah Dasar) ketika Ujian Nasional (UN) sedang berlangsung di Tandes, Surabaya, Mei silam, membuktikan hal ini. Para guru yang dianggap terlibat dalam kasus tersebut diberi sanksi penurunan pangkat dan dilarang mengajar selama beberapa tahun. Hal ini membuktikan bahwa negara selama ini selalu “mengkambinghitamkan” masyarakat dalam hal apa pun, termasuk dalam hal ketidakjujuran ini. Padahal, kasus ini bermula dari negara itu sendiri, dalam hal ini Kementerian Pendidikan Nasional yang memaksakan UN sebagai penentu kelulusan. Dengan kata lain, ketidakjujuran dipraktikkan secara gamblang oleh kementerian ini. Masyarakat dibohongi karena UN-lah satu-satunya penentu kelulusan, padahal masih banyak alternatif lainnya, seperti kecerdasan emosional, misalnya, yang perlu dipertimbangkan. 

Sikap tidak tahu-menahu negara ini akan menjadi kebiasaan. Lama kelamaan hal ini akan terakumulasi, dan pada akhirnya ketidakjujuran akan tetap abadi di negeri ini. Sapuan “kuas” ketidakjujuran di “tembok” yang bernama Indonesia tidak akan berhenti sebelum ada introspeksi massal oleh para elit kita. Ketidakjujuran akan terus menetes ke bawah ketengah-tengah masyarakat kita karena perilaku elit kita tersebut telah “merasuki” pikiran masyarakat. Tidak ada lagi tauladan yang bisa diikuti oleh masyarakat kita, karena praktik tipu-menipu dan pembohongan publik sudah lumrah dilakukan para pejabat negara, tokoh masyarakat, hingga ulama sekalipun.

Apa yang harus dilakukan? Negara harus replektif sekaligus progresif memandang berbagai ketidakjujuran yang melanda bangsa ini. Dimulai dari para elit negara kita yang notabene adalah penggerak bangsa ini menuju masa depan yang penuh dengan nilai-nilai kejujuran. Nilai-nilai kejujuran harus menjiwai para elit kita yang duduk di berbagai lembaga negara. Mereka patut menjadi garda depan dalam hal pengimplementasian nilai-nilai kejujuran ini dalam perilaku keseharian mereka. Jadi, negara tidak seenaknya saja memaksakan kejujuran di kalangan masyarakat bawah kita sebelum mereka sendiri berbuat. Sepertinya para elit kita perlu mencontoh Ibu Siami!

Darwin
Yogyakarta, 17 Juni 2011, 11:22

Tidak ada komentar:

Posting Komentar