Selasa, 28 Juni 2011

Komunikasi Politik SBY

Pencitraan, itulah yang menjadi ciri khas dari komunikasi politik Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) di mata publik. SBY sepertinya akan dikenang sebagai sosok politisi yang sangat pandai mempermainkan hati rakyatnya dengan citra. Harus diakui, politik pencitraan membawa ‘berkah’ dalam karir politik SBY, walaupun terkadang juga terpenjara dengan politik pencitraan yang dimainkannya sendiri. 

Daur ulang demokratisasi kita masih tiga tahun lagi, tetapi perhatian para elite-elite nasional sudah mengarah pada tahun 2014 nanti, tahun di mana daur ulang demokratisasi Indonesia akan jatuh tempo. Presiden SBY kembali bermanuver dengan politik pencitraannya, dalam pidatonya Presiden SBY mengatakan bahwa istri dan anak-anaknya tidak maju pada Pemilihan Umum Presiden tahun 2014 nanti. “ Istri dan anak-anak saya tidak akan mencalonkan. Saat ini saya juga tidak mempersiapkan siapa pun untuk menjadi capres 2014. Biarlah rakyat dan demokrasi yang berbicara.” Pernyataan SBY pada tanggal 9 Juni 2011 (Kompas, 11/06/2011). Pernyataan SBY ini tentu saja ditanggapi oleh para pemerhati politik, dan umumnya melihat bahwa ini hanyalah bagian dari politik pencitraan SBY. Benarkah ini hanyalah politik pencitraan, ataukah SBY akan memegang komitmen dari pernyataannya?

Bahasa lama

Penulis tidak heran apabila dalam pemilihan presiden tahun 2014 nanti Ibu Ani Yudoyono, atau kerabatnya, maju sebagai salah satu capres peride 2014-1019. Bahasa politik SBY sebenarnya adalah bahasa lama. Dalam pemilihan umum tahun 2009 lalu, Sultan Hamengku Buwono X juga pernah mengeluarkan pernyataan kepada salah satu pers bahwa dirinya tidak memiliki nafsu kekuasaan, tetapi setelah puluhan ribu rakyat di Alun-Alun Utara berkumpul dan meminta Sultan maju sebagai capres, maka Sultan lalu mengiyakan kehendak rakyat dan bersedia untuk dicalonkan sebagai presiden. Alasan Sultan, sederhananya, adalah dirinya tidak bisa menolak keinginan rakyatnya, rakyat Yogyakarta. Logika yang dimainkan Sultan dalam komunikasi politiknya adalah bahwa dirinya tidak memiliki nafsu kekuasaan (menjadi presiden), tetapi kesediaannya untuk dicalonkan sebagai capres adalah bagian dari menampung aspirasi rakyat. Di sinlah rakyat dan demokrasi yang berbicara, dalam bahasa politik SBY. 

Oleh karena itu, belajar dari pengalamn Sultan, pidato SBY di atas tidak menutup kemungkinan majunya istri atau anaknya sebagai capres 2014 nanti. Majunya Ibu Ani sebagai capres 2014 nanti, agar tidak menyia-nyiakan popularitas SBY, sudah diprediksi oleh banyak pengamat jauh sebelumnya, baik dari luar maupun dari dalam. Kalimat SBY perlu dicermati baik-baik, “saat ini saya juga tidak mempersiapkan siapa pun untuk menjadi capres 2014. Biarlah rakyat dan demokrasi yang berbicara.” Kalimat-kalimat SBY ini sebenarnya sangat diplomatis. Boleh jadi SBY tidak mempersiapkan siapa-siapa untuk menjadi penggantinya (semoga saja tidak bohong), tetapi bagaimana kalau ada kerabat atau orang terdekatnya yang memiliki potensi dan dukungan rakyat yang besar tanpa ia persiapkan atau rekayasa? Ini belum terjawab. Dan kalimat terakhirnya, “biarlah rakyat dan demokrasi yang berbicara,” membuka kembali pintu bagi keluarganya untuk berkompetisi pada 2014 nanti. 

Betul pada kalimat pertama SBY sangat tegas menutup ruang bagi keluarganya, tetapi pada kalimat kedua, sedikit diplomatis, dan pada kalimat terakhir sebetulnya sudah membuka pintu itu kembali, dan mungkin kita tidak menyadari kalimat-kalimat SBY di atas. SBY sedang menghipnotis rakyat dengan permainan bahasanya, dengan gaya komunikasi politiknya. Atau mungkin SBY sengaja ‘mengecoh’ para pengamat dengan rangkaian kalimat-kalimat yang dibuatnya, sehingga pada tahun 2014 nanti, apabila istri atau anaknya maju sebagai capres, kemudian para pengamat memperingatkan SBY dengan pernyataannya di atas. Maka, SBY mengingatkan kembali para pengamat, “sebetulnya Anda salah menangkap makna dari pidato saya tiga tahun lalu. Bukan itu maksud saya”. Bukankah dalam dunia politik itu terkadang menempuh dan menghalalkan berbagai macam cara untuk merebut, dan mempertahankan kekuasaan? 


Oleh karena itu, apabila pada tahun 2014 nanti, popularitas Ibu Ani Yudoyono memiliki potensi untuk menang, dan maju sebagai capres, maka SBY cukup dengan mengatakan bahwa ia memang tidak mempersiapkan istrinya untuk menggantikan dirinya, tetapi rakyat dan demokrasi telah berbicara lain. Bukankah dalam demokrasi ‘suara rakyat adalah suara Tuhan,” sehingga seorang SBY tidak memiliki kekuatan untuk melawan ‘kehendak’ Tuhan. Itu pun kalau rakyat Indonesia masih mengingat bahwa pada tahun 2011 (tiga tahun lalu pada tahun 2014 nanti) SBY pernah mengeluarkan statemen demikian. Kalau rakyat lupa, SBY akan lebih selamat lagi. Sadarkah kita bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa pelupa?

Ahmad Sahide
Komunitas Belajar Menulis (KBM)
Yogyakarta, 15 Juni 2011


Tidak ada komentar:

Posting Komentar