Selasa, 28 Juni 2011

ANGKA KERAMAT NEGERIKU

21 Mei 1998 merupakan angka keramat bagi Bangsa Indonesia, khususnya yang rindu akan perubahan sosial. Mulai dari rakyat jelata, tokoh agama atau masyarakat, dan mahasiswa bersatu-padu menumbangkan kediktatoran dan merebut gayung reformasi. Gayung reformasi tersebut harus dibayar dengan ceceran dan genangan darah di mana-mana. Ketika para pejuang sedang berdialog dan memetakan strategi yang harus diambil, ada beberapa oknum yang memanfaatkan situasi carut-marut itu dengan melakukan penjarahan di beberapa toko kelontong, toko alat bangunan, mal, dan rumah. Perusakan dan pembakaran toko dan rumah dilakukan juga, terutama milik orang Indonesia keturunan.  Pada saat itu, Bangsaku dalam kondisi yang sangat mencekam, penangkapan para aktivis terjadi, bahkan sampai sekarang di antara mereka belum kembali. Apakah mereka sudah meninggal atau dibuang, semua hanya menerka-nerka dan berharap bahwa mereka masih hidup. Keluarga korban, dan teman korban pun, melapor ke KOMNAS HAM, namun hasilnya nihil. Pemerintah pun, seakan-akan lepas tangan, bahkan, terkesan menutupi masalah tersebut dengan hanya memberi janji semu.

Banyak yang berharap, dengan jatuhnya kepemimpinan Soeharto yang memerintah selama 35 tahun akan membawa perubahan sosial yang nyata. Namun, di luar dugaan, 13 tahun Reformasi berlalu, hanya sedikit kemajuan yang dapat kita nikmati. Gedung yang menjulang tinggi dijadikan simbol keberhasilan dalam pembangunan dan pengentasan kemiskinan. Agenda pemberantasan korupsi juga belumlah maksimal, malah, korupsi makin lama makin merajalela. Dibutuhkan perjuangan ekstra keras untuk mengungkap dan menghilangkan budaya korupsi di Indonesia. Memang ada setitik cahaya, yakni kebebasan berpendapat bisa kita nikmati, julukan sebagai salah satu negara yang demokratis berhasil kita sandang, tapi semuanya hanyalah tipuan belaka. Realitas sesungguhnya tidaklah kita temui di lapangan yang bernama Indonesia.


Kebijakan pemerintahan SBY-Boediono sebagian dianggap tak berpihak pada ekonomi kerakyatan. Produk-produk dari China menjamur di Indonesia, yang berakibat matiknya pasar dalam negeri. Penjaminan dan perlindungan untuk pedagang tradisional terkesan diabaikan dan dianaktirikan. Pemerintah pusat dan daerah menuntut agar pedagang tradisional atau UKM harus mampu bersaing dan meningkatkan kualitas produknya, namun di pihak lain mereka sendiri yang mematikan pintu rezeki rakyatnya.

Angka keramat kedua

Sebelumnya, kita juga memiliki satu angka keramat lagi, sebagai salah satu matarantai  dalam penentuan kedaulatan Indonesia dari Belanda dan Jepang. Hal itu terjadi, pada 20 Mei 1908. Pada tanggal tersebut, bangsa Indonesia menyebutnya dengan peristiwa Kebangkitan Nasional, di mana Boedi Utomo adalah organisasi tempat para pencetus kebangkitan beraktualisasi diri. Kita mengetahui perjuangan mereka ini melalui cerita nenek-moyang, buku sejarah dan saksi sejarah yang masih hidup. Mereka gagah berani menghunus bambu runcing melawan para penjajah. Dalam dada mereka hanya terbersit kehormatan dan kedaulatan bangsa. Tidak menafikan juga, ada orang-orang yang menjual harga dirinya dan bersekutu dengan penjajah karena tidak tahan penderitaan dan silau dengan kehormatan fana.

    Dari kedua angka keramat yang kita miliki, apa yang kemudian akan kita berikan pada kusuma bangsa? Kita sering terjebak pada romantisme sesaat, ketika berganti tanggal dan bulan kita pun menjadi amnesia sejarah dan meneruskan para foundingfather Bangsa. Kita lebih asyik, memperkaya diri dan mengekploitasi segala sumber daya alam. Problematika sosial yang ada di depan mata tak menggoyahkan para penjilat untuk mengulurkan tangannya berbagi bersama dengan mereka, yang berhak menerimanya. 

Amoral, korupsi secara berjamaah atau sendiri-sendiri, tawuran antarpelajar, antardesa, TNI versus Polisi, dan perebutan kursi panas di tubuh PSSI merupakan pemandangan biasa sekaligus sangat memuakkan. Seabreg peraturan hukum, mulai dari UUD 45, Kepres, dan PERPU bukannya menertibkan dan mendisiplinkan semuanya. Justru, makin menggilas ketidakadilan bagi rakyat kecil yang tak punya posisi tawar dan tak ada uang. Hukum hanya berlaku bagi mereka yang mampu membayar pejabat yang kerdil, dan hanya uang dalam hidupnya.

Maka, semakin tersungkurlah kusuma bangsaku, kita sekarang ini menjadi anak yatim-piatu (Cak Nun). Dibiarkan berjalan sendiri tanpa petunjuk dan perlindungan, sehingga terjebak pada kesesatan, serta diadu sesama anak bangsa. Entah di mana dan apa yang sedang dipikirkan para pemimpin kita. Pencitraan yang sering kita nikmati hampir dari seluruh pemimpin kita, terutama mereka yang sedang menyiapkan kursi untuk 2014. Sekarang ini,  kita dipimpin oleh Partai Politik, bukan oleh Presiden yang melayani rakyatnya. Segala kebijakan dan kewenangan hajat hidup orang banyak, diselesaikan dalam satu meja atau beberapa meja oleh beberapa kepala yang haus akan kekuasaan, dan menafikan keberadaan Tuhan. “O, zaman edan! O, malam kelam pikiran insan! Koyak-moyak sudah keteduhan tergeletak di selokan, kepastian hidup terhuyung-huyung dalam comberan (sajak bulan Mei 1998 di Indonesia: W.S. Rendra).

Kasus Nazaruddin yang menyuap Sekjen MK dan suap wisma atlit seagames XXVII, serta rekayasa beberapa kasus hukum pidana lainnya, membuat tingkat kepercayaan kita makin menurun, bahkan cenderung apatis. Perbincangan di angkringan atau warung makan pinggir jalan yang pernah saya dengar, “mending kita gak usah punya presiden atau kembali ke orde baru, dulu kita bisa makan, harga sembako murah, petani diperhatikan dengan adanya kelompok petani”. Mungkin itu terkesan ucapan seorang yang putus asa, tapi yang perlu diperhatikan adalah pelayanan yang tepat dan benar pada rakyat. Penggusuran istana-istana orang pinggiran terus berjalan, biaya pendidikan yang mencekik si miskin terus berjalan, bahkan semakin sulit dihentikan. Tanggal keramat yang ada di negeri kita dan agama kita, lebih sering sebagai romantisme semata. Kita merayakannya dengan beberapa kegiatan, kemudian melupakannya, tidak ada kelanjutannya untuk melakukan perubahan sosial. Apa kita perlu mengganti hukum positif dengan hukum beberapa kerajaan yang pernah membangun peradaban kita, membesarkan nama Nusantara (Indonesia)? Kita punya kerajaan Majapahit, Mataram Hindu dan Islam, Sriwijaya, Samudera Pasai, Demak, Kediri, Kutai, dan lain-lain. Meski secara pemerintah sudah sirna, namun secara fisik masih ada sisa berupa prasasti, stupa, sastra, yang perlu kita gali lagi. Sepertinya perlu kita perhatikan kembali strategi perang, seni sastra-arsitektur, diplomasi dengan beberapa kafilah (China, Arab), juga dengan beberapa Raja Nusantara sebagai bekal introspeksi diri. Penulis yakin, kalau semua ini kita gali dan terapkan di zaman ini, akan ada perubahan sosial. Kita bisa mengkolaborasikan mana nilai-nilai zaman kerajaan dan republic sekaligus.

Semoga negeriku yang terluka dapat terobati oleh para pecinta keadilan, kemanusiaan, dan para pemberani yang menyuarakan suara-suara Tuhan di tengah angkara murka!!1

                                        Andeske (KBM)
                                    Yogyakarta, 22 Mei 2011
   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar