Kamis, 02 Juni 2011

Kebobrokan Hukum Di Rezim SBY

Mendasarkan pada realita dan faktanya maka di negara Indonesia sudah tidak pantaslagi dikatakan menganut azas equaliti befour the law (setiap warga Negara sama kedudukannya dihadapan hukum) yang sebagai mana jelas jelas tercantum dalam UUD 1945 kususnya pasal 28 D, poin 1, 3 dan 4, Akan tetapi terjadi pembedaan terhadap kedudukannya dihadapan hukum menurut saya (penulis) yang mana terjadi pemisahan yaitu :
Golongan Elit disini adalah orang-orang yang hidupnya serba berlebihan dibidang perekonomiannya.
Misal : pengusaha, perwira menengah atau perwira tinggi, legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
Golongan menengah kebawah adalah Orang-orang yang hidupnya berkecukupan bahkan serba kekurangan di bidang perekonomiannya.

Misal : petani, pedagang, buruh, bahkan fakir miskin.
Jika memang kenyataannya seperti itu maka bagai mana dan apakah negara Indonesia sudah menjalankan ketentuan-ketentuan yang mana sudah di atur dalam UUD 1945. Khususnya pada pasal 34 ayat 1, 2, dan 3. Yang jelas-jelas mengatur tentang :
Akan tetapi sampai sekarang apa yang terjadi dan berkembang di Indonesia? Jika menurut pengamatan dari hasil analisanya semuanya tidak ada atau masih akan ada tentang perwujuddannya. Yang kemudian saya kaitkan dengan berbagai kasus dibawah ini.

Kemudian sebeum masuk jauh kedalam, penulis ingin mengajak pembaca untuk mengingat kembali akan kemeriahan dan kehebohan yang muncul di negara kita salah satunya Kasus Bank Century misalnya. Ketika sedang hangat-hangatnya berbagai elemen bangsa ikut ambil peran disitu baik ikut-ikutan mengkritisi, hingga menuntut agar Kasus Bank Century segara dituntaskan. Seiring dengan berjalannya waktu para anggota Dewanpun ikut-ikutan dengan gagahnya mengambil alih kasus tersebut dengan kata kerennya menggunakan Hak Angket. Hingga sampai diketemukannya indikasi adanya dana yang menyimpag (terindikasi adanya dugaan kasus korupsi). Setelah itu barulah kasus di limpahkan pada KPK, akan tapi apa yang terjadi setelah itu, kasus Bank Century tersebut belum juga terselesaikan. Kemudian muncullah kasus baru lagi yang tidak kalah heboh dan menariknya sehingga mampu mengalihkan sudut pandang dari berbagai elemen bangsa. Seperti kasus Bibit S.R. dan Candra M.H. dan setelah itu yang paling menyita pandangan dari berbagai elemen bangsa adalah. Seorang PNS (Pegawai Negeri Sipil) golongan 3b yang bisa dikatakan sebagai pegawai baru di kantor Perpajakan dengan tokoh utamanya sebutsaja Gayus.

Jika dilihat secara kasat mata maka sangat mustahil menurut penulis, jika seorang PNS yang bisa dikatakan barusaja berkecimpung sudah dapat melakukan korupsi yang begitu besar dan banaknya, kemudian bagaimana dengan yang sudah lama menjadi pegawai di kantor Perpajakan? Dari berbagai hal diatas dapat dikatakan betapa lemahnya pengawasan keuangan pada kantor Perpajakan tersebut. Akan tetapi itu hanya persoalan waktu dan kesempatan. Jika seperti itu kejadiannya maka perlu diadakannya reformasi birokrasi dan sistem manajement dalam tubuh institusi Perpajakan itu sendiri. Mengapa PT-PT yang mengalami penunggakan pembayaran pajaknya misal perusahaan-perusahaan milik Abu Rizal Bakrie mesti harus melalui Gayus, apakah memang itu tugas dari seorang Gayus sebagai pegawai baru, apakah tidak ada rekan kerja bahkan mungkin orang yang sama kedudukannya dengan dia. 

Mengapa mesti Gayus dan harus Gayus yang mengambil peranan penting ini (menjadi tokoh utama), sebenarnya ada apa dibalik semua kejadian-kejadian di negara kita mengenai berbagai kasus yang muncul kepermukaan kemudian di tenggelamkan lagi dengan cara di munculkannya kasus baru yang tidak kalah menariknya sehingga dapat menyita perhatian dari berbagai elemen bangsa....? 

Jika diamati secara jeli mengenai bergejolaknya, pasang surutnya bahkan muncul kepermukaan lalu hilang begitusaja kasus-kasus di negara Indonesia. Kemudian dari hal-hal tersebut menjadikan atau menimbulkan ketertarikan sendiri kepada penulis. Sehinga melahirkan gagasan untuk mengamati dan mengikutinya. Yang kemudian dituangkan kedalam tulisan-tulisan. Seolah-olah jika penulis mengamatinya maka seperti permainan bola saja yang manakala ketika pemain sudah dianggap tidak memungkinkanlagi maka digantikan dengan pemain berikutnya. Akan tetapi jika di pandang lewat sudut pandang politik maka yang muncul kemudian adalah pertanyaan ada apa dibalik semua kejadian di negara ini dan siapa yang memegang sekenario ini semua? Jika diliat dari sudut pandang hukum maka muncullah pertanyaan apa, bagaimana dan sampai mana kinerja yang dilakukan oleh pejabat penegak hukum itu sendri? Jika dilihat dari sisi lembaga perfilman maka siapa yang membikin sekenarionya, siapa produsernya, siapa penanggungjawabnya?

Mengapa yang di soroti dalam hal ini adalah Gayus, bukan Artalita atau kasus Bibit Candra? Karena menurut penulis hanya Gayus lah yang memiliki dan mengetahui siapa pemegang sekenario dan siapa yang ada dibalik itu senua dari berbagai macam kasus di Negara Indonesia yang muncul dan menghilingnya berbagai kasus besar di negara Indonesia. Yang sebagai mana mustinya mengapa hanya Gayus yang selalu menjadi sorotan publik tentang berbagai hal baik tentang bebas keluar masuk dalam Rutan yang di jaga dengan sebegitu ketatnya bahkan dia mengakui bahwa dirinya telah melakukan penyuapan kepada sebagian penjaga Rutan. Dan yang membinggungkan lagi darimana seorang Gayus bisa mempunyai uang sampai sebanyak itu. Padahal sudah di terangkan dalam media baik masa dan elektronik bahwa semua rekening yang dimilikinya sudah di blokir. Akan tapi darimana dan siapa sumber uang yang mengaliri Gayus secara terus-menerus, dan penulis menyayangkan kenapa penegak hukum tidak menyelidiki sampai kesitu? 

Menurut Gayus dalam KOMPAS, Selasa, 04 Januari 2011. Gayus Serang Penyidik
Dari situlah penulis menggambarkan dan mengatakan bahwa politik yang di praktekan di negara Indonesia adalah politik saling mengunci, politik saling menyikut (politik saling menyingkirkan). Sehingga hukum di negara Indonesia hanya dianggap sebagai pembatas bagi mereka. Sehingga bagaimana mereka saling adu kepintaran, saling menyiasati bagaimana caranya untuk menghindar dan selamat atau menyelamatkan diri dari jeratan hukum. Maka dari itu tumbalnya adalah rakyat dan kemdian muncul pemikiran tentang bagaimana cara memandulkan dan melumpuhkan kinerja para penegak  hukum di Indonesia dengan dalih membentuk berbagai lembaga baru di Indonesia. Sehingga pada akhirnya itu hanya akan membuang-buang dana APBN saja sebenarnya karena sebagaimana yang kita ketahui bersama mengenai berbagai persoalan hukum. Yang mana kemudian muncul pandangan dari sebagian pandangan rakyat tentang hukum di Indonesia yaitu hukum hanya akan tajam kepada masarakat lemah atau masarakat kalangan bawah “masyarakat kecil saja”. 

Maka penulis berpendapat bahwa negara Indonesia sebenarnya belumlah merdeka dikarenakan bila kita liat pada tujuan dari kemerdekaan itusendiri sudah jelas-jelas tercantum pada pembukaan UUD 1945. Yang mana pada Alenia 1 (satu) mengatakan bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa. Alenia 2 (dua) Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil danmakmur. Alenia 3 (tiga) berkehidupan kebangsaan yang bebas. Alenia 4 (empat) membentuk pemerintahan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia, seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa serta mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia. Akan tapi semuanya tidak semuanya bahkan ada yang tidak merasakan dari itu semua. Kembali lagi memang begitulah yang terjadi dengan Negara Indonesia yang katanya Negara huku, Negara kesejah teraan. Akan tapi dimulai dari penerapan hukumnya? aparat penegak hukumnya? para pejabatnya? bleng semua, mereka hanya mementingkan perut, perut dan perut mereka masing-masing tanpa memikirkan bagaimana rakyatnya.

oleh: Supangat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar