Selasa, 28 Juni 2011

INDONESIA NEGARA HUKUM PANCASILA

Berbicara tentang negara hukum yang pada umumnya dianut oleh negara-negara di dunia, tentunya akan mengerucut pada beberapa sistem negara hukum, dan yang dominan dipakai, yaitu negara hukum Rechtstaat dan negara hukum rule of law. Pada umumnya sistem negara hukum Rechtstaat dipakai oleh negara-negara di daratan Eropa, seperti Belanda, Perancis, Jerman, dan negara-negara di sekitarnya. Sistem negara hukum rule of law sendiri dimotori oleh Inggris dan Amerika yang akhirnya berlaku pula pada negara-negara bekas jajahannya. Di samping dari kedua sistem hukum yang disebut diatas, masih ada sistem negara hukum lain yang berlaku di belahan dunia ini, yaitu sistem negara hukum Islam, yang dianut oleh negara-negara Islam Timur Tengah dan sistem negara hukum otoriter yang biasa digunakan oleh negara-negara sosialis. 

Dalam konteks negara hukum Indonesia, ternyata Indonesia bukan merupakan negara hukum yang termasuk dalam katagori negara hukum rechtstaat, rule of law, Islam, maupun negara hukum otoriter. Indonesia merupakan negara hukum yang mempunyai ciri sistem hukum tersendiri, dan istilah negara hukum di Indonesia disebut dengan Pancasila. Meskipun Indonesia adalah sebuah negara bekas jajahan Belanda dan banyak prodak-prodak hukum yang berlaku di Indonesia masih mengadopsi hukum dari Belanda, tetapi Indonesia tidaklah dapat digolongkan sebagai negara hukum rechstaat, sama halnya seperti belanda.


Pada Undang-undang Dasar tahun 1945 (UUD 1945) sebelum amandemen, disebutkan dalam pasal 1 ayat (3) “Indonesia adalah negara hukum (rechtstaat)”. Tetapi pada amandemen ke IV UUD Tahun 1945, kata rechstaat pada pasal 1 ayat (3) UUD Tahun 1945 telah dihapuskan dan hanya menjadi “Indonesia adalah negara hukum”. Dasar penghapusan kata rechtstaat di belakang kalimat Indonesia adalah negara hukum, dikarenakan Indonesia sebagai negara hukum tidak sepenuhnya menggunakan prinsip-prinsip hukum seperti halnya negara hukum rechtstaat . Indonesia dalam praktik pelaksanaan negara hukumnya juga menggunakan prinsip hukum yang terkandung dalam negara hukum rule of law dan sistem negara hukum Islam. 

Menurut Mahfud MD, Indonesia menganut sistem negara hukum prismatik, yaitu negara hukum yang hanya mengambil sisi tertentu dari negara hukum lain dan mengkomparasikannya dalam satu sistem hukum. Prinsip negara hukum prismatik inilah yang menjadi dasar negara hukum Pancasila. Pilihan politik Indonesia memilih negara hukum pancasila untuk menjadi suatu sistem hukum tentunya mempunyai suatu pertimbangan yang mendalam, antara lain; (1). Kondisi sosiologis Negara Indonesia yang tentunya berbeda dengan negara-negara hukum lain, baik dengan negara-negara yang menganut sistem hukum, rechtstaat, rule of law, Islam, maupun negara hukum otoriter. (2) Pluralisme penduduk Indonesia yang terdiri dari bermacam-macam agama, dan suku bangsa.

Negara Islam dan Negara Pancasila

Akhir-akhir ini, Bangsa Indonesia kembali dihebohkan oleh gerakan-gerakan Islam yang menggugat Pancasila sebagai dasar ideologi bangsa Indonesia. Isu tentang terorisme dan Negara Islam Indonesia (NII) sangat santer diberitakan oleh media cetak maupun elektronik. Hal ini menjadi problematika tersendiri. Kalangan kampus maupun akademisi pun tak luput dengan diskusi ataupun kajian relevansi Negara Pancasila dan Negara Islam. Pemerintah pun seperti “kebakaran jenggot” menghadapi gerakan yang menggugat eksistensi Pancasila.
Sebenarnya, apabila berbicara sejarah cikal bakal lahirnya kelompok Islam yang ingin mendirikan negara Islam, hal ini tak terlepas dari lahirnya DI/TII dan kamp para-militer pada masa kekuasaan Jepang di Indonesia. Jepang memberlakukan strategi mendekati gerakan Islam dengan memberikan peluang berdirinya organisasi Islam. Organisasi Islam selanjutnya berkembang, bahkan Jepang memeberikan izin berdirinya kamp pelatihan milisi Islam di Jawa Barat yang bernama Hizbullah. Kartosoewirjo sebagai penggagas dan pemimpin berdirinya Negara Islam Indonesia (NII), memulai gerakannya dan memisahkan dari Pemerintah Republik Indonesia semenjak ditandatangani perjanjian Renville pada tahun 1948. Perjanjian yang mengharuskan pemerintah dan tentara Republik Indonesia mengosongkan wilayah Jawa Barat dan akhirnya pindah ke Jawa Tengah, dinilai merugikan Bangsa Indonesia.

Pada bulan Februari 1948, Divisi Siliwangi, yang merupakan penopang kekuatan pemerintah Indonesia di Jawa Barat, mulai pergi ke Jawa Tengah. Kelompok Islam menilai perjanjian itu merugikan bangsa Indonesia, dan kelompok Islam yang tergabung dalam laskar Hizbulah/Sabilillah monolak pergi dan melakukan perlawanan bersenjata terhadap tentara Belanda di Garut, Jawa Barat.

Sebenarnya apabila menelaah lagi “embrio” berdirinya gerakan-gerakan Islam yang menentang Pancasila sebagai dasar negara, tidak lain karena kekecewaan umat Islam terkait dihapusnya tujuh kata pada piagam Djakarta, yang bebunyi: ke-Tuhanan dengan kewajiban  menjalankan syari’at Islam bagi para pemeluk pemeluknja. Dan kemudian berubah menjadi, “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Konflik selanjutnya, menurut Deliar Noer, terjadi ketika kalangan umat Islam menghendaki agar kepala negara adalah seorang muslim dan diletakkan di dalam pasal UUD. Kekecewaan umat Islam berikutnya terjadi ketika pada bulan Agustus 1945 didirikan pula Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Di antara 21 orang anggotanya, hanya dua orang saja yang dapat dianggap pembawa aspirasi Islam, yaitu Ki Bagus Hadikusumo dan Ki Wahid Hasyim.

Akhirnya, pada sidang PPKI 18 Agustus 1945, wakil-wakil umat Islam setuju terhadap penghapusan Piagam Djakarta. Sila pertama Ketuhanan di beri atribut “Yang Maha Esa”. Dengan begini gagallah perjuangan umat Islam menjadikan negara berasaskan Islam, yang dianggap oleh para pakar muslim modern sebagai bagian mutlak dari Islam, dan Islam tanpa negara Islam bukanlah Islam yang utuh. Dengan demikian, Pancasila tidak sepenuhnya diterima oleh klangan Muslim Indonesia yang dididik secara Barat dan para pemimpin Islam terkemuka lainnya.

Tentunya apabila tujuh kata pada Piagam Djakarta pada saat itu tidak dihapuskan,  sistem hukum di Indonesia akan mengalami implikasi yang berbeda dengan sistem hukum yang berlaku saat ini. Karena hukum yang digunakan adalah syari’at Islam yang berpedoman pada Al-qur’an dan Hadist. Meskipun hukum di Indonesia tidak murni menganut sistem hukum islam, tetapi hukum di Indonesia telah memberikan keistimewaan-keistimewaan terhadap umat Islam di Indonesia seperti berlakunya undang-undang perkawinan, undang-undang tentang waris, dan ketentuan-ketentuan hukum Islam yang telah teratifikasi dalam hukum nasional Indonesia. Peraturan-peraturan hukum di Indonesia pun telah menjamin dan memberikan hak keleluasaan bagi umat Islam di Indonesia untuk melakukan ibadah dan menjalankan ajaran Islam sesuai dengan tuntunan nabi Muhammad SAW.


Oleh: Nur Rachmansyah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar