Sabtu, 05 Maret 2011

5 Maret 2011. Komunitas Belajar Menulis


Mesir dan Gejolak Politik Timur Tengah Pasca Mubarak
Ahmad Sahide
            Timur Tengah, khususnya dunia Arab, negeri yang kaya akan minyak, kini kembali menjadi perhatian dunia internasional. Gerakan arus bawah dan gejolak politik yang dimulai dari Tunisia dan merambat ke negara-negara Arab lainnya, termasuk Yordania, Yaman, dan yang paling menarik disaksikan saat ini adalah revolusi Mesir. Apa yang terjadi di dunia Arab saat ini memberikan catatan tersendiri bagi kita semua bahwa pemimpin-pemimpin di dunia Arab sebenarnya mengalami krisis legitimasi politik. Sehingga revolusi Tunisia begitu cepat merambat ke negara-negara Arab lainnya. Menggoyang rezim tangan besi yang sudah lama berkuasa di sana. Pertanyaan kita tentunya adalah akan ke mana arus politik Timur Tengah (Timteng) ke depan?
            Bila muara politik Timteng ke depan yang akan kita teropong pasca revolusi dan gerakan massa di beberapa negara Arab tersebut, maka tentu perhatian kita ke Mesir. Di Timteng, Mesir selalu menjadi pemain kunci dari dinamika politik yang berkembang. Gamal Abdul Nasser pernah hadir sebagai pemimpin dari dunia Arab. Anwar Sadat sampai ke Hosni Mubarak selalu menjadi pemain utama dalam upaya menciptakan perdamaian di Timur Tengah, terutama konflik Arab (Palestina)-Israel. Oleh karena itu, aksi jutaan rakyat Mesir sudah berlangsung lebih dari dua minggu, tapi belum ada kepastian muara politik di negeri yang banyak menorehkan sejarah peradaban Islam tersebut. Mubarak, yang sudah berkuasa lebih dari tiga puluh tahun, yang tetap bersikukuh mempertahankan jabatannya, akhirnya harus mundur karena tekanan dari arus bawah.

Mesir bukan Indonesia
            Siti Muti’ah Setyawati, dosen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada, beberapa hari yang lalu memberikan komentar di situs detikcom bahwa Mubarak tetap berupaya memperahankan jabatannya karena Amerika masih ragu dalam mengambil sikap politik terkait dengan gejolak yang sedang berlangsung di negara tersebut. Ketakutan dari arus politik Mesir pasca Mubarak. Mesir dan Mubarak adalah mitra lama dan setia Amerika di Timur Tengah yang bisa menjamin kepentingan nasional Amerika di Timteng.
            Oleh karena itu, Amerika sepertinya tidak menolak pergantian kepemimpinan di Mesir selagi itu tidak mengganggu kepentingan nasionalnya. Dari beberapa komentar petinggi di Gedung Putih menunjukkan ada kesan kehati-hatian dari Gedung Putih dalam mengambil sikap politik untuk Timteng, terutama Mesir. Obama tidak akan mempertahankan Mubarak tentunya, tetapi yang harus ia pertahankan adalah kepentingan nasionalnya. Bagaimana agar supaya Mesir tetap menjadi ‘mitra’ setianya. Sudah muncul beberapa tokoh yang berpeluang menggantikan Mubarak, seperti El-Baradei, Omar Sulaiman,  Amr Musa, dan Ahmad Zowel. Bila tokoh ini muncul, maka  hanya akan terjadi pergantian kepemimpinan di Mesir, tidak dengan perubahan haluan politik.
Namun demikian, Amerika sepertinya mewaspadai kekuatan politik yang dimiliki oleh Ikhwanul Muslimin. Ada kekhawatiran dari Gedung Putih akan kebangkitan politik Ikhwanul Muslimin pasca revolusi Mesir dan lengsernya Mubarak kali ini. Jika Ihwanul Muslimin hadir sebagai salah satu kekuatan politik di Mesir, maka haluan politik Mesir tentu akan berubah. Tidak lagi menjadi mitra setia Amerika. Sebagaimana kita ketahui bahwa ideologi organisasi yang didirikan oleh Hasan Al-Banna pada tahun 1928 ini sangat anti dengan Barat yang dilihatnya sebagai penjajah. Dan organisasi ini akan semakin radikal tentunya karena selama beberapa dekade tidak diberi ruang, bahkan dilarang, dalam sistem politik Mesir, terutama oleh Hosni Mubarak yang sangat dekat dengan Amerika.
Oleh karena itu, sikap Mubarak yang sebelumnya masih bertahan dan menginginkan pergantian kepemimpinan secara damai serta menolak tuntutan massa,  walaupun akhirnya harus meninggalkan istana kepresidenan, sepertinya mendapatkan dukungan dari Amerika. Gerakan massa di Mesir tidak bisa dilihat sama dengan gerakan massa atau reformasi di Indonesia pada tahun 1998 yang begitu cepat melengserkan Soeharto. Krisis dan gerakan massa tahun 1998 di Indonesia berhasil melengserkan Soeharto dengan cepat karena Soeharto tidak mendapatkan dukungan lagi dari Gedung Putih. Amerika tidak punya kepentingan lagi memberikan dukungan dan merangkul kesetiaan Indonesia pada saat itu sebab Uni Soviet dan komunismenya talah runtuh. Amerika tidak lagi mempunyai ketakutan dan membendung pergerakan komunisme di Indonesia pasca keruntuhan Uni Soviet.  Maka ketika muncul kekuatan massa yang menghendaki Soeharto jatuh pada saat itu, dengan cepat Amerika ‘mengamininya’.
Berbeda dengan kasus Mesir saat ini. Gerakan massa yang bergejolak tidak semudah itu mendapatkan ‘restu’ dari Washington karena Washington masih memerlukan Mesir untuk mengamankan kepetingan nasionalnya di Timur Tengah. Mesir, sampai kapan pun, akan tetap menjadi wilayah yang strategis, terutama dengan terusan Zues-nya, sebagai arus berlayarnya pengangkutan minyak dari Timur Tengah ke Eropa. Dan apabila Ikhwanul Muslimin yang menguasai politik Mesir ke depan, maka ini akan menjadi masalah dan konflik baru di Timur Tengah jika terusan itu dinasionalisasi kembali, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Gamal Abdul Nasser pada tahun 1956 yang mengagetkan Barat. Selain dari itu, apabila Ikhwanul Muslimin muncul sebagai salah satu kekuatan politik, maka kehadiran Israel di Timteng semakin tidak aman.
Pertimbangan-pertimbangan inilah sepertinya yang membuat Obama terkesan ragu dalam mengambil sikap politik di Mesir saat ini. Bagaimanapun juga, Mesir masih sangat dibutuhkan kesetiaannya oleh Washington untuk menjaga kepentingan nasional Amerika juga untuk mejaga stabilitas politik di Timteng. Mesir masih dibutuhkan oleh Amerika sampai kapan pun itu. Oleh karena itu, tugas Amerika pasca kepergian Mubarak dari istananya adalah menjaga agar pemimpin pengganti Mubarak tidak merubah haluan politik Mesir. Tidak goyah kesetiaannya pada Washinton.
Dan akhirnya selamat datang kebebasan dan demokrasi tanpa pembajakan di Mesir. Kembali satu catatan sejarah politik oleh gerakan arus bawah terukir di dunia Arab.
Pegiat “Komuitas Belajar Menulis”
Ahmad Sahide

 Mesir Lebih Dekat
Ahmad Sahide
            Perbincangan mengenai Timur Tengah, terutama dunia Arab, selama satu bulan lebih terakhir ini menjadi sangat menarik. Dimulai dari Revolusi Tunisia yang memaksa hengkangnya Presiden Zine al-Abidin Ben Ali pada tanggal 14 Januari bulan lalu hingga revolusi Mesir yang juga memaksa Presiden Hosni Mubarak menyerahkan kekuasaanya pada tanggal 11 Februari lalu.
            Hari ini, Senin 21 Februari, Jurusan Ilmu Hubungan Internasional bekerja sama dengan Institute of International Studies Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta mengadakan seminar terkait dengan Mesir pasca Mubarak. Dalam seminar ini menghadirkan para pembicara yang memang konsen pada studi Kajian Timur Tengah. Ada Dr. Siti Muti’ah Setyawati, dosen Ilmu Hubungan Internasional UGM, ada Ibnu Burdah, dosen Kajian Timur Tengah dari Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, dan yang terakhir adalah Mahmud Hamwazi F. Usman, MA. Mahmud Hamwazi adalah mahasiswa program Doktor (S3) dari Universitas Muhammadiyah (UMY) Yogyakarta asal Mesir. Dari Mamud Hamwazi itulah kita, yang hadir dalam seminar ini, dapat mengenal Mesir lebih dekat mengenai kultur politik semasa Hosni Mubarak.
Hamwazi lebih banyak berbicara dengan memposisikan diri sebagai insider (orang dalam), berbeda dengan Siti Muti’ah Setyawati dan Ibnu Burdah yang lebih sebagai akademisi dan pemerhati Timur Tengah, atau sebagai outsider (orang luar). Namun karena Hamwazi berbicara sebagai insider, maka ia memberikan warna baru dan tersendiri dari seminar ini, yang terkadang tidak bisa dilihat atau dibaca oleh outsider. Pembacaan antara insider dan outsider memang selalu menghasilkan sesuatu yang berbeda sebab keduanya berdiri pada posisi yang berbeda. Tentu saja keduanya penting untuk kita lihat pembacaannya sebagai satu kajian keilmuan. Namun di sini, penulis hanya akan banyak mengulas pemaparan dari Mahmud Hamwazi yang penulis tempatkan sebagai pihak insider, hal ini karena pemahaman tentang Mesir dari pihak outsider tentunya sudah banyak kita dapati, baik itu dari buku-buku maupun majalah atau koran. Lalu seperti apa Mesir itu yang kita bisa baca lebih dekat dari pandangan insider (orang Mesir)?
Mesir dalam pandangan pihak insider dapat penulis kelompokkan ke dalam tiga bagian. Pertama, dari bidang pendidikan. Data-data yang ada menunjukkan bahwa lebih dari 40 persen rakyat Mesir buta aksara, juga lebih dari 40 persen yang hidup dalam garis kemiskinan. Hal ini disebabkan, menurut Hamwazi, karena rezim Mubarak sengaja membawa rakyatnya dalam kungkungan kebodohan agar supaya kekuasaannya tidak terancam. Bahkan orang-orang yang berpendidikan biasanya tidak dimanfaatkan oleh rezim Mubarak dengan alasan tadi. Oleh karena itu, banyak generasi-generasi terdidik Mesir yang rela bertahan hidup di luar, termasuk di Barat.
Kedua, pada bidang politik. Mahmud Hamwazi menjelaskan dengan sedikit emosional bahwa warga negara Mesir tidak tahu hak politiknya. Politik bagi warga Mesir merupakan sesuatu hal yang tabu pada era Mubarak. Hal itu disebabkan karena memang hanya ada satu universitas yang membuka Fakultas Ilmu Politik di Mesir. Itupun tidak semua orang bisa masuk dan belajar di fakultas ini. Hanya orang-orang ‘tertentu’ yang memang sudah dipersiapkan pada posisi-posisi tertentu dalam struktur kekuasaan yang dikontrol penuh oleh Mubarak. Warga Mesir juga mengalami penindasan dari rezim represip Mubarak, warga dilarang berkumpul dan berbicara politik. Jadi jangankan mengkritisi, berkumpul saja tidak boleh. Bahkan berkumpul untuk curhat saja, menurut Hamwazi, warga ketakutan ditagkap oleh aparat kepolisian Mesir. Mubarak membayang-bayangi warganya dengan kekuatan inteligen yang dimilikinya.
Hal ini sangat berbeda dengan di Indonesia yang dilihat dan dirasakan oleh Mahmud Hamwazi katanya. Di mana di Indonesia warga sangat bebas berkumpul dan mengkritisi pemerintah.
Ketiga, aparat kepolisian. Rezim Mubarak memberi otoritas kepada aparat kepolisian untuk melakukan penindasan terhadap rakyatnya. Justru negara menyuruh pihak kepolisian melakukan hal tersebut agar supaya tidak ada warga negara yang berani melakukan protes terhadap rezim Mubarak. Kejahatan juga dibiarkan merajalela oleh negara agar supaya pihak kepolisian dilihat seakan-akan penting keberadaannya di mata masyarakat.
Begitulah Hosni Mubarak mengkonstruk kelanggengan kekuasaannya selama kurang lebih tiga puluh tahun lamanya. Dari Mahmud Hamwazi kita bisa melihat Mesir dan pola kepemimpinan Mubarak lebih dekat, yang memerintah dengan otoriter dan kejam terhadap rakyatnya sendiri demi kelanggengan kekuasaannya. Namun, setidaknya rakyat Mesir kini bisa lega karena berhasil menggulingkan Mubarak pada tanggal 11 Februari lalu. Walaupun, revolusi Mesir sebenarnya terlambat bagi seorang Mahmud Hamwazi, sebab rakyat Mesir telah ditindas selama kurang lebih tiga puluh tahun baru bisa bangkit melakukan perlawanan. Lalu seperti apa Mesir ke depan?
Orang Mesir yang terdidik seperti Mahmud Hamwazi belum bisa optimis jika militer masih menguasai politik Mesir ke depan. Mubarak boleh saja telah ‘pergi’, tapi ‘mubarakisme’ akan bangki kembali. Itulah kecurigaan Hamwazi terhadap dewan militer Mesir saat ini yang sedang menyusun skenario politik untuk tetap bisa bertahan dan menguasai politik Mesir.
Pegiat “Komuitas Belajar Menulis”
Ahmad Sahide
Mahasiswa Kajian Timur Tengah
Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta, 21 Februari 2011

Novelis; Pembohong Yang Baek!
Ahmad Sahide
            Menjadi penulis novel adalah seorang pembohong yang baek, itulah kalimat yang berulang-ulang diucapkan oleh Muhidin M. Dahlan pada hari Sabtu, 12 Februari, kemarin dalam agenda bulanan “Komunitas Belajar Menulis”, disingkat KBM. Dalam acara diskusi ini Muhidin M. Dahlan, penulis beberapa novel yang kontroversial seperti “Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur”, “Kabar Buruk Dari Langit”, “Adam Hawa”, dan lain-lain, diminta untuk sedikit bercerita mengenai perjalanannya menjadi seorang penulis dan juga bercerita bagaimana menulis karya sastra, dalam hal ini novel.
            Orang yang hari-harinya dihabiskan di Gelaran Ibuku ini bercerita bahwa sebelum ia mulai menulis, hal pertama yang ia lakukan adalah mengenal anatomi buku. Katanya, ia pernah menjadi penjual buku, pernah menjadi editor buku dan dunia-dunia lainnya yang terkait dengan buku. Katanya novel pertama yang ia baca adalah karya sastrawan besar yang pernah dimiliki oleh Indonesia, yaitu “Bumi Manusia” karangan Pramoedya Ananta Toer. Oleh karena itu, ia menyarankan bahwa kalau punya keinginan menjadi penulis novel maka bacalah sebanyak-banyaknya novel. Dari membaca novel itu kita bisa belajar bagaimana pembentukan karakter dari tokoh yang diceritakan, bagaimana membangun dialog-dialog, dan juga bagaimana pembentukan plot dan lain sebagainya. Bagi Muhidin, semua itu ia temukan dengan membaca, bergelut dengan buku-buku. Tidak dengan mengikuti pelatihan penulisan karya sastra (novel).
            Karya sastra atau novel dalam pemahaman banyak orang adalah karya yang imajinatif, tapi bagi dia, novel tidak semata imajinasi. Seorang penulis novel sama beratnya dengan orang menulis tesis (syarat untuk menyelesaikan S.2) atau disertasi (syarat untuk meraih gelar doktor). Seorang penulis novel juga harus melakukan penelitian terkait dengan dunia yang akan ia ceritakan dalam novelnya. Bila kita akan menulis novel sejarah yang bercerita pada tahun pra-kemerdekaan, maka kita harus bisa betul-betul memahami dunia atau kondisi pada era tersebut. Kita harus mengetahui seperti apa lingkungan, benda-benda yang dipakai oleh masyarakat pada saat itu. Misalnya mobil yang banyak dipakai bermerek apa pada saat itu, pakaian dan lain sebagainya. Bila kita bercerita pada era pra kemerdekaan lalu kita menyebut handphone yang digunakan oleh masyarakat, maka itu bukanlah ‘pembohong yang baik’ bagi dia. Karena pasti pembaca tidak akan percaya dengan imajinasi dan cerita kita dalam novel itu. pembaca tidak akan percaya dengan kebohongan kita.
            Oleh karena itu, dengan melakukan research (penelitian), dalam cerita yang kita karang mampu membawa si pembaca dalam imajinasi kita seolah-olah mereka terbawa dalam era tahun-tahun sebelum kemerdekaan, itu bila cerita kita adalah sejarah. Kita harus mampu membangun dialog-dialog atau menyebut benda-benda yang ada pada zaman itu, sehingga apa yang kita ceritakan seolah-olah nyata bagi pembaca, walaupun itu adalah imajinasi semata bagi penulis. Itulah yang dimaksud sebagai ‘pembohong yang baik’ oleh Muhidin. Membawa si pembaca seolah-olah apa yang kita ceritakan adalah nyata adanya. Sekali lagi, walaupun ia adalah imajinasi. Pada wilayah itulah letak sama sulitnya menulis novel dengan menulis tesis atau disertasi.
            Oleh karena itu, bagi Muhidin, seorang penulis novel harus mencatat hal-hal kecil yang dilihatnya. Seorang penulis juga harus mempunyai kamus. Artinya bahwa kalau dalam cerita kita ada yang bercerita mengenai dunia pertanian, maka kita harus paham bahasa-bahasa dan alat-alat dalam dunia pertanian. Hal-hal yang terkait dengan itu harus kita kuasai. Sehingga si pembaca bisa benar-benar yakin dengan cerita yang kita buat-buat. Dalam menggambarkan settingnya, kita sebisa mungkin mampu menceritakan benda-benda kecil sekalipun dalam dunia itu. Seolah-olah kita benar-benar berada dalam alam itu. Di sana tentunya dibutuhkan kepekaan kita untuk bisa menangkap apa yang terlihat atau yang ada dalam dunia tersebut.
            Inilah tip-tip singkat dalam menulis karya sastra (novel) yang disampaikan oleh Muhidin M. Dahlan dalam acara KBM yang dilaksanakan di halaman samping Gelaran Ibuku. Para peserta yang jumlahnya lebih dari sepuluh orang duduk membentuk lingkaran mengelilingi meja bundar di tengah mendengarkan Muhidin bercerita sambil menikmati teh. Suasana betul-betul di buat santai. Semoga dari forum diskusi ini, nantinya lahir ‘pembohong-pembohong yang baik’ yang akan mewarnai dunia sastra Indonesia. Tapi ada nggak ya pembohong yang baik? Kalau dalam dunia sastra ada tentunya.
Ahmad Sahide
Pegiat “Komuitas Belajar Menulis”
Yogyakarta, 13 Februari 2011

Muhammad
Ahmad Sahide

Ohh... Muhammad
Aku merindukanmu
Aku haus akan keteladananmu
Aku cinta akan perilakumu

Ohh... Muhammad
Keagunganmu karena engkau selalu merasa hina
Kebesaranmu karena engkau selalu merasa kecil
Kesempurnaanmu karena engkau selalu merasa kekurangan
Ketinggianmu karena engkau selalu merasa rendah

Ohh... Muhammad
Aku merindukanmu
Kekuatanmu karena engkau selalu merasa lemah
Kekuatanmu adalah kesabaran
Modalmu adalah keikhlasan
Petunjukmu adalah keimanan
Cita-citamu adalah ridho Tuhanmu

Ohh... Muhammad
Aku merindukanmu
Aku ingin mencium bau kasturi dari tubuhmu
Yang tumbuh dari kesucian niatmu
Aku ingin melihat cahaya surga
Yang terpancar dari perilakumu
(Yogyakarta, 21 Februari 2011)

Pergi
Ahmad Sahide

Tak kuharap engkau datang bila hanya untuk pergi
Tak kuharap engkau menghibur bila hanya untuk menyakiti
Pergilah untuk selamanya dengan kehidupanmu
Pergilah dengan mimpi-mimpimu
Dengan harapan-harapanmu yang telah kau ukir
Melangkahlah menyusuri pinggir pantai
Lorong-lorong kehidupanmu
Menyaksikan diri ini menghadapi, melewati, dan terguling oleh terjangan ombak
Di tengah laut dalam yang seram itu
Biarlah ombak itu menghapus jejak langkahmu
Mengaburkan senyumanmu dari pandanganku
Biarlah gelombang ombak mengukir kembali kehidupan baruku
Selamat jalan, ...!
(Yogyakarta, 6 Februari 2011)
Pegiat “Komuitas Belajar Menulis”


Politisi Desa
Oleh Nanang Qosim Ali H.
Di suatu malam yang begitu dingin namun terasa tenang, berkumpulah sekelompok orang untuk melaksanakan kegiatan rutinnya. Kegiatan yang bertempat di suatu pos ronda itu telah sering dilakukan oleh sekelompok orang yang tergabung dalam suatu ikatan perjanjian antar sekelompok orang tersebut. perjanjian yang sangat sederhana saja yaitu perjanjian untuk saling berkumpul di hari ahad malam dan di hari kamis malam untuk bertukar informasi serta pikiran-pikiran yang mereka dapat dari kota sebelum ronda malam dimulai. Maklum mereka tersingkir dari kemajuan zaman teknologi yang mana hanya terpusat di kota sehingga diperlukan waktu satu setengah hari untuk berpergian ke sana.
Biasanya beberapa orang tidak datang pada kegiatan itu namun saat malam itu hampir semua orang tersebut datang untuk menghadiri kegiatan pada malam itu. Entah ada angin apa, hampir semua anggota datang dalam kegiatan tersebut tapi hanya Pak Ipang saja yang akhir-akhir ini jarang datang dalam agenda rutin itu. Memang kegiatan ini dihadiri dan diminati oleh para petani di Desa Nawat Wasis, namun mereka sangat menikmati dan senang mengikuti kegiatan itu. Itu ditunjukan dengan datangnya beberapa orang di hari-hari tersebut dan sesekali dari desa lain juga ikut datang menghadiri acara tersebut.
Seperti biasa di malam itu sebelum memasuki acara tersebut, salah satu dari mereka harus menjadi moderator dan salah satunya menjadi pembicara. Ini dilakukan secara bergilir oleh para anggota, karena dimaksudkan agar informasi dan pengalaman yang didapatkan lebih bervariasi. Memang beberapa dari mereka berpergian di kota-kota yang berbeda satu sama lain untuk menjual hasil bertani mereka. Dari situlah mereka terinspirasi untuk membuat acara ini.
“Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh” ucap Pak Liber saat menjadi moderator. Kemudian dilanjutkan dengan ucapan salam dari para anggota yang lain. Dan setelah itu Pak Liber mulai membuka acara tersebut sekaligus memberitahukan kembali tema yang akan didiskusikan. Berhubung temanya yang diambil adalah masalah agama dan politik maka banyak dari mereka mencoba untuk serius dan terus berkonsentrasi secara penuh karena mereka tertarik dalam hal ini.
“Terima kasih, insyallah tema malam ini adalah apakah demokrasi atau negara islam yang layak untuk negeri ini?”. kata pak Liber sambil menunjukan wajah seriusnya. Setelah itu kemudian Pak Jajay mengambil alih kegiatan tersebut karena beliaulah yang akan menjadi pembicara pada malam itu. Pak Jajay yang dulu sempat sekolah di kota besar sampai lulus kuliah karena saat masih kecil beliau ikut dengan orang tuanya namun setelah beranjak dewasa Pak Jajay kembali ke desa bersama neneknya dan menikah dengan salah satu wanita di Desa Nawat Wasis.
Beliau memulainya dengan diawali dari penjelasan demokrasi dan negara islam. Meskipun mereka hanya bekerja sebagai petani tetapi mereka punya pengalaman yang sama yaitu sama sama pernah merasakan bangku kuliah. Setelah menjelaskan beberapa hal sebagai pembuka kemudian Pak Liber membuka sesi selanjutnya yaitu sesi tanggapan dan sesi pertanyaan. Saat  itu Pak Narwid mengawali sesi dengan tanggapan sesuai dengan pemikiran beliau. Kemudian dilanjutkan oleh Pak Sutris dengan mencoba menanggapinya sekaligus mendukung dengan pembentukan negara Islam yang beliau anggap sangat cocok bagi bangsa ini. Dari pernyataan Pak Sutris kemudian dilanjutkan dengan pernyataan Pak Mohar dengan memberikan dukungan yang berapi-api. Setelah itu dilanjutkan dengan pernyataan dari Pak Monar yang dianggap lebih tua selain Pak Liber dan Pak Narwid. “Lebih baik bangsa ini menjadi negara islam saja, kan hampir 80 persen orangnya kan Islam” ucapan penutup Pak Monar dalam mengakhiri pernyataanya.
Setelah semua orang selesai dalam menanggapinya seperti adatnya mereka melanjutkan dengan sesi pernyataan terakhir dari pembicaranya yaitu Pak Jajay. Dalam pernyataanya Pak Jajay mengmukakan pendapatnya bahwa beliau tidak menyetujui dengan adanya sistem monarki bila dijalankan di dalam negeri ini. Beliau menjelaskan dengan berdasarkan referensi yang ia dapatkan dari buku-buku politik, kemudian dari pengalaman beliau selama masih kuliah kemudian dari koran-koran yang biasa terbit 2 hari sekali. Itu bukan karena korannya yang terbit tiap 2 kali sehari melainkan perjalanannya yang membuat koran itu terbit tiap 2 hari sekali.
Diskusi itupun berjalan hingga larut malam. Dalam diskusi malam itu Pak Monar menyanggah pernyataan dari Pak Jajay. Pak Monar beranggapan dengan terbentuknya negara Islam, masyarakat kita lebih sejahtera dan hukum yang digunakan jelas terkandung dalam tuntunan agama Islam. Tanggapan selanjutnya muncul dari Pak Liber yang mana beranggapan bahwa nilai-nilai Islam saja yang diterapkan bukan membentuk negara Islam. Kedua belah pihak yaitu Pak Monar dan Pak Liber saling beradu argumentasi dalam mempertahankan pendapat mereka. Hal-hal seperti itu memang biasa terjadi dalam diskusi malam-malam sebelumnya walaupun terkadang mereka saling bercanda atau saling membuat lelucon satu sama lain. Namun yang menjadi tidak biasa adalah ketika diskusi itu telah menghabiskan waktu semalaman penuh untuk membahas akan hal itu. Sehingga ronda pun mereka lupakan. Mungkin maling bisa berkeliaran sesuka hati mereka tanpa harus takut menyembunyikan barang curiannya ataupun melaksanakan aksi jahatnya. Mereka bak politisi saja yang lupa akan rakyatnya.
Mereka tersadar ketika mereka mendengar adzan Subuh dari musholla kecil kurang lebih 200 meter dari tempat mereka. Mereka mulai bergegas pergi ke musholla untuk menjalankan sholat shubuh dan anehnya lagi hampir sebagian dari mereka tidak pergi ke sawah pagi-pagi untuk mengusir burung-burung yang memakan tanaman padi mereka. Kecapekan yang begitu menghantui mereka sehingga tidak ada tenaga untuk pergi ke sawah dan ke kota saat itu. Tak lama kemudian istri-istri mereka mulai membangunkan suaminya yang tidur kecapekan untuk memulai aktivitas sehari-harinya. Tapi satu yang bisa dijadikan pelajaran yaitu jangan hanya berdebat saja tetapi jangan lupakan kewajiban-kewajiban mereka.
Pegiat “Komuitas Belajar Menulis”
                                                                                                20 januari 2011

Arkhi Aninditya

Jeruji idealis
Dalam kamar gelap aku berfikir
Tentang sebuah idealisme kritis
Tertanamlah hati gemuk berwarna merah dalam sebuah jeruji iman yang sempit
Semakin banyak kasih sayang Tuhan
 Semakin gemuk sang hati merah
Tekadang ingin pecah sang hati dalam sebuah kungkungan kotak jeruji
Ibarat siksa surga yang berulang – ulang
Menuai rasa pedih
Itulah Tuhan dan kebenaran-Nya

Surga bukan jaminan

Lihatlah satu iman, satu orang itu
Nuansa sucinya menyeruak dari khalbunya
Di tengah surga ia sendiri
Lebih dari seribu bidadari berparas tak terbayangkan keindahannya menemani
Lebih dari rasa anggur merah yang memabukkan
Setetes air surga ketika mengisi kerongkonganya
Nikmat, indah, tak bernafsu lagi
Apakah itu tolak ukur kebahagiaan manusia
Tak pelak ia berlari menuju bibir surga
Menarik engsel pintu surga
Menuju jurang Neraka
Dan berkata Surga adalah Neraka bagiku
Dan Neraka adalah Surgaku
Tak ada kebahagian bagiku
Karena tak ada manusia yang menemaniku

I LOVE U

Temani aku sayangku disini
Tempat yang indah dan tak terbayangkan
Ini bukan imajinasi
Ini Hindu
Ini Budha
Ini Islam
Ini Kristen
Dan itu keyakinanmu ketika kau pilih buah – buah Agama
sehingga kau petik salah satunya
Di dalamnya tertanam bijih kebajikan, beraroma budi luhur pekerti yang agung
Yang masing – masing keyakinan itu menjajikan surga
Tapi kenapa kau tak menemaniku sayangku
Malah kau berlari dalam agama buatanmu sendiri
Mengapa kau petik buah nafsu dari pohon ego yang berduri itu bersarpati laknat alam
Jangan engkau makan sayangku
Tolonglah aku tak ingin kau bertemu tuhan sebelum engkau tau tuhanmu
Temani aku sayang
I lov u honey, hug me please....... forever in heaven


Mencari-Nya

Di bawah payung – payung seribu kitab
Aku berteduh
Berguling gelisah
Mencari dalam tanah dimana diri-Nya
Merobek angkasa kucari diri-Nya
Tak ada juga kutemukan
Maka kuambil silet duniawi
Kesobek diriku, kucari di dalam kulit
Kuurai isi perutku
Kutarik isi jantungku
Dalam hitungan hembusan detik nafas terakhir kutemukan diri-Nya
Ia berada dalam hatiku yang tak bisa kulihat dengan mata duniawi

Pegiat “Komuitas Belajar Menulis”
Arki Aninditya
21 Februari 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar