Sabtu, 15 November 2014

Jokowi Melawan Elite (dan Mitos)



Jokowi Melawan Elite (dan Mitos)
Ahmad Sahide
            Demokrasi, dengan delapan unsur dalam teori Robert A. Dahl, sejatinya adalah terbukanya ruang bagi masyarakat dari semua kalangan untuk berpartisipasi dalam kontestasi politik, baik memilih maupun dipilih, terbangunnya kontrol terhadap jalannya pemerintahan, dan untuk melahirkan pemerintahan yang mempunyai akuntabilitas. Terpilihnya Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK) sebagai Presiden dan Wakil Presiden Indonesia 2014-2019 pada 9 Juli lalu menjadi salah satu indikator bahwa demokrasi kita semakin sehat.
            Setidaknya ada dua faktor untuk mengatakan bahwa demokrasi kita semakin sehat. Pertama, Jokowi adalah presiden pertama yang terpilih dari figur yang bukan pengendali partai (Ketua Umum). Jokowi adalah kader terbaik Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI P), pimpinan Megawati Soekarno Putri, yang dicalonkan menjadi presiden pada 9 Juli lalu, didampingi JK, dan akhirnya menang. Kerelaan Megawati memberi ruang bagi kader yang bukan dari kalangan elite ini membuktikan bahwa pewaris trah politik Soekarno itu mampu membaca dan mendengar suara rakyat karena demokrasi itu sendiri, kata Jokowi, adalah mendengarkan suara rakyat.
            Kedua, terpilihnya Jokowi-JK untuk memimpin bangsa dan negara ini selama lima tahun ke depan menjadi sejarah penting dalam dinamika politik Indonesia sejak meraih kemerdekaan pada tahun 1945. Jokowi adalah presiden pertama yang memimpin negeri ini dari kalangan pinggiran. Fachri Ali membahasakannya “Kepemimpinan Pascaelite”. Itulah demokrasi yang sesungguhnya. Demokrasi yang membuka jalan bagi siapa saja untuk menjadi pemimpin. Demokrasi yang menjadi jalan lahirnya pemimpin-pemimpin terbaik. Demokrasi yang tidak dibajak oleh elite-elite parpol yang sudah lama menguasai negeri ini. Demokrasi yang tidak hanya membuka ruang bagi elite untuk berlaga.
Oleh karena itu, kemenangan Jokowi-JK adalah kemenangan rakyat dan kemajuan demokrasi, meskipun dengan beberapa kekurangan dan kecurangan di sana-sini. Hal itu terlihat dengan masifnya partisipasi rakyat, para relawan, yang tidak dimobilisasi dalam pemilihan presiden dan wakil presiden Juli lalu untuk memenangkan kandidatnya. Partisipasi para relawan tidak hanya mengantarkan kandidatnya di depan pintu gerbang istana, mereka juga aktif mengontrol proses pembentukan kabinet Jokowi-JK. Itulah syarat kedua dari substansi demokrasi, yaitu adanya kontrol yang kuat dari rakyat terhadap pemimpinnya sehingga pemimpin tersebut mampu menjaga akuntabilitas, syarat ketiga demokrasi substansial.

Demokrasi melawan elite dan mitos
Terpilihnya Jokowi menghadirkan ketiga unsur tersebut sekaligus. Kini demokrasi Indonesia mengikuti jejak demokrasi Amerika Serikat yang mampu melawan dominasi elite dan juga mitos. Di Amerika, sebelum terpilihnya Barack Obama untuk memimpin negeri Paman Sam tersebut, sejak 2008, selalu dipimpin oleh elite-elite tertentu yang sudah lama menguasai kekuasaan politik. Selain itu, Amerika, sebelum kemunculan Obama, mempunyai mitos bahwa untuk menjadi presiden negeri Adi Daya tersebut haruslah berkulit putih. Obamalah yang muncul melawan dominasi elite dan mitos politik di negeri yang katanya sekular tersebut. Obamalah Presiden Amerika pertama yang berasal dari kulit hitam.
Sejarah politik Indonesia mempunyai kemiripan dengan Amerika. Demokrasi Indonesia selama ini dibajak oleh elite serta demokrasi yang percaya dengan mitos Jawa, Notonagoro. Jusuf Kalla, dalam masa kampanye, pernah mengatakan bahwa di kubu sana (Prabowo-Hatta) didukung oleh para elite. Sementara kubu Jokowi-JK didukung relawan. Selain itu, sebelum 9 Juli lalu, banyak kalangan memprediksi Prabowo Subianto akan memenangi pemilihan presiden karena percaya dengan mitos tersebut. Jokowi bukan hanya melawan Prabowo, tapi juga melawan mitos. 9 Juli lalu menjadi catatan sejarah bahwa demokrasi Indonesia telah jauh melangkah maju karena berhasil melawan dominasi elite dan juga melawan mitos. Amerika punya Obama dan Indonesia punya Jokowi untuk melawan elite dan mitos yang membayang-bayangi demokrasi tersebut.
Kini, setelah Jokowi-JK berhasil memenangkan pertarungan melawan elite dan mitos, mereka mendapatkan serangan balik dari elite. Elite nampaknya belum dapat menerima hasil dari proses yang demokratis untuk dipimpin oleh orang pinggiran. Banyak pengamat yang menilai bahwa upaya dari partai politik pendukung Prabowo-Hatta untuk mengubah Undang-Undang pemilihan kepala daerah, dari pemilihan langsung oleh rakyat ke DPRD, adalah upaya terakhir untuk menyerang dan mengganggu pemerintahan Jokowi-JK lima tahun ke depan.
Selain itu, kalangan elite sepertinya mulai dihantui ketakutan untuk menjadi orang pinggiran (jauh dari pusat-pusat kekuasaan) karena ketidakmampuan berkompetisi dalam sistem yang demokratis untuk merebut hati rakyat. Golkar yang sangat berkuasa pada era Orde Baru belum menunjukkan taringnya untuk memenangi kontestasi politik. Pada tahun 2004 Golkar, pemenang pemilihan legislatif pada saat itu, mengajukan Wiranto sebagai calon presiden. Hasilnya adalah kekalahan. Pada tahun 2009 Golkar mengajukan Jusuf Kalla sebagai calon presiden didampingi oleh Wiranto. Golkar kembali diperhadapkan dengan kekalahan politik.
Pemilihan presiden dan wakil presiden tahun ini semakin memalukan bagi Golkar karena hanya menjadi penggembira, bahkan sempat mengemis ke sana ke mari, dari kontestasi politik yang kartunya dipegang oleh PDI P dan Gerindra. Padahal Golkar masih bertahan sebagai partai pemenang kedua dalam pemilihan legislatif lalu. 
Perjalanan tiga kali pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung itulah yang menjadi catatan bagi elite bahwa mereka mulai kehilangan dominasi dan kendali. Di daerah-daerah,  juga banyak kalangan elite tersingkir dan kalah dalam kontestasi yang demokratis. Hal ini menunjukkan mereka mulai dihantui ketakutan untuk jauh dari pusat-pusat kekuasaan dan kehilangan dominasi politik.
Pada titik inilah perbedaan demokrasi Amerika dengan Indonesia masih terlihat. Di Amerika, Obama berhasil melawan elite dan mitos. Jokowi juga berhasil melakukan hal yang sama. Bedanya, Obama tidak mendapatkan perlawanan dari elite setelah masuk ke Gedung Putih, sementara Jokowi diperhadapkan dengan tantangan tersebut, bahkan sebelum masuk ke istana. Koalisi Merah Putih (KMP), pendukung Prabowo-Hatta dalam pemilihan presiden lalu, berhasil menguasai Parlemen dan tidak memberikan kursi kepemimpinan kepada PDI-P sebagai pemenang pemilu legislatif lalu. Artinya demokrasi kita masih tertinggal beberapa langkah dari demokrasi Amerika. Rakyat dapat menerima hasil dari proses yang demokratis, tapi elite nampaknya belum. Elite harus belajar menjadi sang demokrat bukan hanya ketika meraih kemenangan, tetapi juga saat diperhadapkan dengan kekalahan.
Ahmad Sahide
Kandidat Doktor
Sekolah Pascasarjana, UGM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar