Jokowi
Melawan Elite (dan Mitos)
Ahmad
Sahide
Demokrasi, dengan delapan unsur
dalam teori Robert A. Dahl, sejatinya adalah terbukanya ruang bagi masyarakat
dari semua kalangan untuk berpartisipasi dalam kontestasi politik, baik memilih
maupun dipilih, terbangunnya kontrol terhadap jalannya pemerintahan, dan untuk
melahirkan pemerintahan yang mempunyai akuntabilitas. Terpilihnya Joko Widodo
(Jokowi)-Jusuf Kalla (JK) sebagai Presiden dan Wakil Presiden Indonesia
2014-2019 pada 9 Juli lalu menjadi salah satu indikator bahwa demokrasi kita
semakin sehat.
Setidaknya ada dua faktor untuk
mengatakan bahwa demokrasi kita semakin sehat. Pertama, Jokowi adalah presiden
pertama yang terpilih dari figur yang bukan pengendali partai (Ketua Umum).
Jokowi adalah kader terbaik Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI P),
pimpinan Megawati Soekarno Putri, yang dicalonkan menjadi presiden pada 9 Juli
lalu, didampingi JK, dan akhirnya menang. Kerelaan Megawati memberi ruang bagi
kader yang bukan dari kalangan elite ini membuktikan bahwa pewaris trah politik
Soekarno itu mampu membaca dan mendengar suara rakyat karena demokrasi itu
sendiri, kata Jokowi, adalah mendengarkan suara rakyat.
Kedua, terpilihnya Jokowi-JK untuk
memimpin bangsa dan negara ini selama lima tahun ke depan menjadi sejarah
penting dalam dinamika politik Indonesia sejak meraih kemerdekaan pada tahun
1945. Jokowi adalah presiden pertama yang memimpin negeri ini dari kalangan
pinggiran. Fachri Ali membahasakannya “Kepemimpinan Pascaelite”. Itulah demokrasi
yang sesungguhnya. Demokrasi yang membuka jalan bagi siapa saja untuk menjadi
pemimpin. Demokrasi yang menjadi jalan lahirnya pemimpin-pemimpin terbaik.
Demokrasi yang tidak dibajak oleh elite-elite parpol yang sudah lama menguasai
negeri ini. Demokrasi yang tidak hanya membuka ruang bagi elite untuk berlaga.
Oleh
karena itu, kemenangan Jokowi-JK adalah kemenangan rakyat dan kemajuan
demokrasi, meskipun dengan beberapa kekurangan dan kecurangan di sana-sini. Hal
itu terlihat dengan masifnya partisipasi rakyat, para relawan, yang tidak
dimobilisasi dalam pemilihan presiden dan wakil presiden Juli lalu untuk
memenangkan kandidatnya. Partisipasi para relawan tidak hanya mengantarkan
kandidatnya di depan pintu gerbang istana, mereka juga aktif mengontrol proses
pembentukan kabinet Jokowi-JK. Itulah syarat kedua dari substansi demokrasi,
yaitu adanya kontrol yang kuat dari rakyat terhadap pemimpinnya sehingga
pemimpin tersebut mampu menjaga akuntabilitas, syarat ketiga demokrasi
substansial.
Demokrasi melawan elite dan mitos
Terpilihnya
Jokowi menghadirkan ketiga unsur tersebut sekaligus. Kini demokrasi Indonesia
mengikuti jejak demokrasi Amerika Serikat yang mampu melawan dominasi elite dan
juga mitos. Di Amerika, sebelum terpilihnya Barack Obama untuk memimpin negeri
Paman Sam tersebut, sejak 2008, selalu dipimpin oleh elite-elite tertentu yang
sudah lama menguasai kekuasaan politik. Selain itu, Amerika, sebelum kemunculan
Obama, mempunyai mitos bahwa untuk menjadi presiden negeri Adi Daya tersebut
haruslah berkulit putih. Obamalah yang muncul melawan dominasi elite dan mitos
politik di negeri yang katanya sekular tersebut. Obamalah Presiden Amerika
pertama yang berasal dari kulit hitam.
Sejarah
politik Indonesia mempunyai kemiripan dengan Amerika. Demokrasi Indonesia
selama ini dibajak oleh elite serta demokrasi yang percaya dengan mitos Jawa,
Notonagoro. Jusuf Kalla, dalam masa kampanye, pernah mengatakan bahwa di kubu
sana (Prabowo-Hatta) didukung oleh para elite. Sementara kubu Jokowi-JK
didukung relawan. Selain itu, sebelum 9 Juli lalu, banyak kalangan memprediksi
Prabowo Subianto akan memenangi pemilihan presiden karena percaya dengan mitos
tersebut. Jokowi bukan hanya melawan Prabowo, tapi juga melawan mitos. 9 Juli
lalu menjadi catatan sejarah bahwa demokrasi Indonesia telah jauh melangkah
maju karena berhasil melawan dominasi elite dan juga melawan mitos. Amerika
punya Obama dan Indonesia punya Jokowi untuk melawan elite dan mitos yang
membayang-bayangi demokrasi tersebut.
Kini,
setelah Jokowi-JK berhasil memenangkan pertarungan melawan elite dan mitos,
mereka mendapatkan serangan balik dari elite. Elite nampaknya belum dapat
menerima hasil dari proses yang demokratis untuk dipimpin oleh orang pinggiran.
Banyak pengamat yang menilai bahwa upaya dari partai politik pendukung
Prabowo-Hatta untuk mengubah Undang-Undang pemilihan kepala daerah, dari
pemilihan langsung oleh rakyat ke DPRD, adalah upaya terakhir untuk menyerang
dan mengganggu pemerintahan Jokowi-JK lima tahun ke depan.
Selain
itu, kalangan elite sepertinya mulai dihantui ketakutan untuk menjadi orang
pinggiran (jauh dari pusat-pusat kekuasaan) karena ketidakmampuan berkompetisi
dalam sistem yang demokratis untuk merebut hati rakyat. Golkar yang sangat
berkuasa pada era Orde Baru belum menunjukkan taringnya untuk memenangi
kontestasi politik. Pada tahun 2004 Golkar, pemenang pemilihan legislatif pada
saat itu, mengajukan Wiranto sebagai calon presiden. Hasilnya adalah kekalahan.
Pada tahun 2009 Golkar mengajukan Jusuf Kalla sebagai calon presiden didampingi
oleh Wiranto. Golkar kembali diperhadapkan dengan kekalahan politik.
Pemilihan
presiden dan wakil presiden tahun ini semakin memalukan bagi Golkar karena
hanya menjadi penggembira, bahkan sempat mengemis ke sana ke mari, dari
kontestasi politik yang kartunya dipegang oleh PDI P dan Gerindra. Padahal
Golkar masih bertahan sebagai partai pemenang kedua dalam pemilihan legislatif
lalu.
Perjalanan
tiga kali pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung itulah yang
menjadi catatan bagi elite bahwa mereka mulai kehilangan dominasi dan kendali. Di
daerah-daerah, juga banyak kalangan
elite tersingkir dan kalah dalam kontestasi yang demokratis. Hal ini
menunjukkan mereka mulai dihantui ketakutan untuk jauh dari pusat-pusat
kekuasaan dan kehilangan dominasi politik.
Pada
titik inilah perbedaan demokrasi Amerika dengan Indonesia masih terlihat. Di
Amerika, Obama berhasil melawan elite dan mitos. Jokowi juga berhasil melakukan
hal yang sama. Bedanya, Obama tidak mendapatkan perlawanan dari elite setelah
masuk ke Gedung Putih, sementara Jokowi diperhadapkan dengan tantangan tersebut,
bahkan sebelum masuk ke istana. Koalisi Merah Putih (KMP), pendukung
Prabowo-Hatta dalam pemilihan presiden lalu, berhasil menguasai Parlemen dan
tidak memberikan kursi kepemimpinan kepada PDI-P sebagai pemenang pemilu
legislatif lalu. Artinya demokrasi kita masih tertinggal beberapa langkah dari
demokrasi Amerika. Rakyat dapat menerima hasil dari proses yang demokratis,
tapi elite nampaknya belum. Elite harus belajar menjadi sang demokrat bukan
hanya ketika meraih kemenangan, tetapi juga saat diperhadapkan dengan
kekalahan.
Ahmad
Sahide
Kandidat
Doktor
Sekolah
Pascasarjana, UGM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar