Selasa, 22 Juli 2014

Palestina (Jerusalem); Kota Damai Yang Terkoyak



Palestina (Jerusalem); Kota Damai Yang Terkoyak
Ahmad Sahide

            Tepatnya pada tanggal 10 Mei 1994, Yaser Arafat Presiden Palestina ketika itu berkunjung ke Afrika Selatan. Di tempat inilah Yaser Arafat memberikan pidato yang cukup terkenal. Dalam pidatonya, Presiden Arafat mengatakan,” Saya mengatakan ini untuk memberikan bukti apa yang mereka (Israel) katakan bahwa Jerusalem ibu kota mereka tidak benar. Jerusalem sama sekali bukan ibu kota mereka. Jerusalem adalah ibu kota kami.” Sekalipun kita tidak hadir dalam forum itu, tapi setidaknya kita bisa membayangkan bahwa Yaser Arafat menyampaikan pidatonya dengan semangat yang berapi-api sebagai pemimpin yang menuntut hak-haknya.
            Jerusalem, memang, adalah ibu kota yang di perebutkan antara Israel dan Palestina. Dan sampai sekarang kedua negara tersebut masih terus berdiri dalam bayang-bayang konflik. Pada tahun 2008, perang Israel-Palestina dipenghujung tahun menelan korban lebih dari 600 nyawa jiwa manusia-manusia yang tak tahu masalah. Dan ribuan yang menjadi korban luka-luka, berat dan ringan. Di penghujung tahun 2012, warga Gaza (Palestina) kembali menjadi saksi kekejaman Israel. Beberapa hari terakhir, warga Gaza kembali menjadi korban dari ledakan bom yang dijatuhkan oleh pemerintah Israel. Dunia, termasuk Indonesia, hanya bisa berteriak dengan seruan-seruan, tak lebih dari itu. Ada apa di balik kota Jerusalem? Mengapa ia terus menyisahkan konflik yang berkepanjangan dengan berbagai macam nama perjanjian yang selalu berakhir gagal?

Jerusalem sebagai kota suci

             Karen Amstrong menyebut Yerusalem sebagai ‘satu kota tiga iman’. Amstrong menyebut demikian karena tiga agama besar di dunia mempunyai kebesaran historis di tempat tersebut. Yahudi dan Kristen lahir dan berkembang di sini, dan di kota inilah terdapat sebuah tempel di mana Ibrahim (Abraham) dulu menyembelih anaknya sebagai bentuk kecintaannya akan Tuhan serta Jerusalem menjadi saksi sejarah penyaliban Yesus dalam menebus dosa. Adapun Islam melihat bahwa Jerusalem adalah pintu surga karena masjid al-Aqsha adalah tempat Nabi Muhammad SAW transit saat melakukan perjalanan Isra’ Mi’raj menerima perintah salat dari Tuhan. Dengan alasan historis inilah sehingga ketiga agama tersebut melihat Yerusalem sebagai kota suci. Namun yang ironis tentunya adalah mengapa kota suci tersebut tidak bisa lepas dari konflik yang umumnya dilihat sebagai ‘konflik antar agama’. Bagaimana kita melihat hal ini?
            Konflik Israel-Palestina selalu dilihat sebagai akibat dari agresivitas pemerintah Israel yang telah menginjak-nginjak Hak Asasi Manusia (HAM) dan keadilan global. Bahkan, hemat penulis, Palestina adalah korban dari perang dunia kedua yang memunculkan Amerika Serikat sebagai negara superpower dengan memberikan dukungan kuat atas berdirinya, dan keberlangsungan, negara Israel pada tahun 1948. Terhitung sejak tahun 1970-an, Amerika sudah lebih dari empat puluh kali memveto keputusan PBB dalam pemberian sanksi pada Israel. Benarkah Amerika mendukung Israel dengan semangat relijiusitas? Semangat ke-Yahudian? Bila Amerika memberikan dukungan pada Israel karena semangat relijiusitas, maka anggapan bahwa perang Israel-Palestina adalah perang agama mempunyai sisi kebenaran. Inilah yang harus kita lihat dengan jeli bagaimana posisi Jerusalem di mata Amerika Serikat.
            Jerusalem, yang menjadi perebutan antara Israel-Palestina, selain sebagai kota suci dari tiga agama ia juga kota yang menjadi pusat dunia. Terletak di tengah-tengah antara Amerika, Eropa, Asia, dan Timur-Tengah. Karena posisinya yang terletak di jantung dunia, maka Jerusalem adalah kota yang sangat strategis dalam hal apa pun, terutama dalam perdagangan internasional. Barangsiapa (negara) yang menguasai kota suci yang kini telah terkoyak tersebut maka negara itulah yang akan menguasai perdagangan dunia. Amerika Serikat tentu sangat memahami hal tersebut, maka tidak heran kalau negara adi daya itu memberikan dukungan kepada Israel dengan sengaja ‘membutakan diri’ dengan kasus-kasus pelanggaran HAM internasional oleh Israel di sana. Oleh karena itu, hemat penulis, perang yang tiada akhir tersebut lebih karena faktor ekonomi politik, dan bukan karena agama. Adapaun agama hanyalah faktor sekunder dan Israel dengan dalih bahwa dalam Kitab Kejadian tanah Palestina adalah ‘tanah yang dijanjikan Tuhan’ hanyalah alat untuk mendapatkan legitimasi dan ‘pembenaran’ dari sikap agresivitas dan kolonialismenya. Dan umat Islam yang memberikan dukungan solidaritas untuk rakyat Palestina bukan hanya karena dia menganut keyakinan yang sama, tetapi lebih karena kemanusiaan yang menolak ketidak-adilan yang diterima oleh rakyat Palestina.
            Seandainya Israel dan Palestina melihat Jerusalem sebagai kota suci maka tidak akan ada konflik. Bukankah semua agama mengajarkan pada kaumnya tentang cinta damai? Orang Yahudi (Israel) bisa hidup berdampingan, dengan aktivitas berdasarkan nilai-nilai keyakiannya, dengan umat Islam (Palestina) secara harmonis di kota Jerusalem tanpa harus saling mengganggu satu sama lain. Tanpa harus ada konflik dan perang karena ada nilai-nilai toleransi yang diajarkan oleh masing-masing agama dan ini pernah terjadi pada masa kejayaan Islam saat menjadi penguasa di negeri tersebut. Semangat inilah yang telah hilang dalam melihat kota Jerusalem dan telah tergantikan dengan semangat ideologi ekonomi politik yang telah menciptakan konflik berkepanjangan dan entah sampai kapan akan berakhir.  

Perlawanan struktural
            Setiap Israel melancarkan agresi atas Palestina, kita bisa menyaksikan betapa luar biasa besar simpati dan dukungan solidaritas yang datang dari berbagai negara, termasuk Indonesia. Ada yang mengirimkan obat-obatan untuk rakyat Palestina, menyumbangkan sebagian hartanya, ada yang siap menjadi relawan, ada pula yang melakukan aksi demonstrasi sekedar menunjukkan solidaritas. Semua itu tentu harus kita apresiasi, namun dalam hal konflik  di jantung dunia itu yang paling dibutuhkan adalah perjuangan struktural. Kita ketahui bersama bahwa Israel bisa sebrutal itu karena ada Amerika Serikat yang berdiri di belakangnya. Dan Amerika adalah negara adi daya.
Dukungan Amerika kepada negara yahudi Israel tidak terlepas dari kuatnya lobi Yahudi dalam kancah politik Amerika Serikat. Selama bertahun-tahun lobi pro-Israel merasuk ke seluruh sistem pemerintahan Amerika, dan organisasi yang memiliki pengaruh paling dalam, dan sangat disegani, adalah American Israel Public Affairs Committee (AIPAC). Oleh sebab itu, selagi Amerika masih menjadi pemimpin dunia, Palestina akan selalu terkoyak-koyak sebab logika yang dipakai oleh mereka adalah logika ekonomi politik, bukan dengan nurani yang selalu mempertimbangkan benar-tidaknya, adil-tidaknya suatu tindakan.
Maka perjuangan yang dibutuhkan oleh Indonesia adalah perjuangan struktural untuk menggeser posisi dan dominasi Amerika Serikat dalam konstalasi politik global. Oleh karena itu perjuangan yang lebih penting bagi rakyat Indonesia adalah perjuangan dengan memilih pemimpin yang berani berseberangan serta mempunyai strategi untuk membangun kekuatan tandingan dalam menghadapi kedigdayaan Amerika, bukan memilih pemimpin yang selalu tunduk dan memfasilitasi apa kata dan kepentingan Amerika Serikat. Inilah perjuangan yang tidak sekedar perjuangan reaksioner tetapi akan memberikan kemerdekaan, kedamaian, dan keadilan abadi di masa yang akan datang bagi rakyat Palestina.
Indonesia baru saja memilih presiden untuk lima tahun mendatang yang mana salah satu isu dalam debat calon presiden beberapa waktu lalu adalah terkait isu Palestina. Salah satu capres dengan tegas menyatakan keberpihakannya kepada Palestina. Semoga saja janji itu dapat terlaksana meskipun harus diakui bahwa itu bukanlah tugas yang ringan. Indonesia dan presiden mendatang harus berhadapan dengan kekuatan adi daya Amerika untuk dukungan ril terhadap Palestina.

Ahmad Sahide

Mahasiswa Program Doktor
Kajian Timur Tengah
Sekolah Pascasarjana, UGM


Tidak ada komentar:

Posting Komentar