Palestina (Jerusalem); Kota Damai Yang Terkoyak
Ahmad Sahide
Tepatnya
pada tanggal 10 Mei 1994, Yaser Arafat Presiden Palestina ketika itu berkunjung
ke Afrika Selatan. Di tempat inilah Yaser Arafat memberikan pidato yang cukup
terkenal. Dalam pidatonya, Presiden Arafat mengatakan,” Saya mengatakan ini
untuk memberikan bukti apa yang mereka (Israel) katakan bahwa Jerusalem ibu
kota mereka tidak benar. Jerusalem sama sekali bukan ibu kota mereka. Jerusalem
adalah ibu kota kami.” Sekalipun kita tidak hadir dalam forum itu, tapi
setidaknya kita bisa membayangkan bahwa Yaser Arafat menyampaikan pidatonya
dengan semangat yang berapi-api sebagai pemimpin yang menuntut hak-haknya.
Jerusalem,
memang, adalah ibu kota yang di perebutkan antara Israel dan Palestina. Dan
sampai sekarang kedua negara tersebut masih terus berdiri dalam bayang-bayang
konflik. Pada tahun 2008, perang Israel-Palestina dipenghujung tahun menelan korban lebih dari
600 nyawa jiwa manusia-manusia yang tak tahu masalah. Dan ribuan yang menjadi
korban luka-luka, berat dan ringan. Di
penghujung tahun 2012, warga Gaza (Palestina) kembali menjadi saksi kekejaman
Israel. Beberapa hari terakhir, warga Gaza kembali menjadi korban dari ledakan
bom yang dijatuhkan oleh pemerintah Israel. Dunia,
termasuk Indonesia, hanya bisa berteriak dengan seruan-seruan, tak lebih dari
itu. Ada apa di balik kota Jerusalem? Mengapa ia terus menyisahkan konflik yang
berkepanjangan dengan berbagai macam nama perjanjian yang selalu berakhir
gagal?
Jerusalem sebagai kota suci
Karen Amstrong menyebut Yerusalem sebagai ‘satu
kota tiga iman’. Amstrong menyebut demikian karena tiga agama besar di
dunia mempunyai kebesaran historis di tempat tersebut. Yahudi dan Kristen lahir
dan berkembang di sini, dan di kota inilah terdapat sebuah tempel di mana Ibrahim
(Abraham) dulu menyembelih anaknya sebagai bentuk kecintaannya akan Tuhan serta
Jerusalem menjadi saksi sejarah penyaliban Yesus dalam menebus dosa. Adapun
Islam melihat bahwa Jerusalem adalah pintu surga karena masjid al-Aqsha adalah tempat
Nabi Muhammad SAW transit saat melakukan perjalanan Isra’ Mi’raj menerima
perintah salat
dari Tuhan. Dengan alasan historis inilah sehingga ketiga agama tersebut
melihat Yerusalem sebagai kota suci. Namun yang ironis tentunya adalah mengapa
kota suci tersebut tidak bisa lepas dari konflik yang umumnya dilihat sebagai
‘konflik antar agama’. Bagaimana kita melihat hal ini?
Konflik
Israel-Palestina selalu dilihat sebagai akibat dari agresivitas pemerintah Israel
yang telah menginjak-nginjak Hak Asasi Manusia (HAM) dan keadilan global. Bahkan, hemat penulis,
Palestina adalah korban dari perang dunia kedua yang memunculkan Amerika
Serikat sebagai negara superpower dengan memberikan dukungan kuat atas
berdirinya, dan keberlangsungan, negara Israel pada tahun 1948. Terhitung sejak
tahun 1970-an, Amerika sudah lebih dari empat puluh kali memveto keputusan PBB
dalam pemberian sanksi pada Israel. Benarkah Amerika mendukung Israel dengan
semangat relijiusitas? Semangat ke-Yahudian? Bila Amerika memberikan dukungan
pada Israel karena semangat relijiusitas, maka anggapan bahwa perang
Israel-Palestina adalah perang agama mempunyai sisi kebenaran. Inilah yang
harus kita lihat dengan jeli bagaimana posisi Jerusalem di mata Amerika Serikat.
Jerusalem,
yang menjadi perebutan antara Israel-Palestina, selain sebagai kota suci dari
tiga agama ia juga kota yang menjadi pusat dunia. Terletak di tengah-tengah
antara Amerika, Eropa, Asia, dan Timur-Tengah. Karena posisinya yang terletak
di jantung dunia, maka Jerusalem adalah kota yang sangat strategis dalam hal
apa pun,
terutama dalam perdagangan internasional. Barangsiapa (negara) yang menguasai
kota suci yang kini telah terkoyak tersebut maka negara itulah yang akan
menguasai perdagangan dunia. Amerika Serikat tentu sangat memahami hal
tersebut, maka tidak heran kalau negara adi daya itu memberikan dukungan kepada
Israel dengan sengaja ‘membutakan diri’ dengan kasus-kasus pelanggaran HAM
internasional oleh Israel di sana. Oleh karena itu, hemat penulis, perang yang
tiada akhir tersebut lebih karena faktor ekonomi politik, dan bukan karena
agama. Adapaun agama hanyalah faktor sekunder dan Israel dengan dalih bahwa
dalam Kitab Kejadian tanah Palestina adalah ‘tanah yang dijanjikan Tuhan’
hanyalah alat untuk mendapatkan legitimasi dan ‘pembenaran’ dari sikap agresivitas dan kolonialismenya.
Dan umat Islam
yang memberikan dukungan solidaritas untuk rakyat Palestina bukan hanya karena
dia menganut keyakinan yang sama, tetapi lebih karena kemanusiaan yang menolak
ketidak-adilan yang diterima oleh rakyat Palestina.
Seandainya
Israel dan Palestina melihat Jerusalem sebagai kota suci maka tidak akan ada
konflik. Bukankah semua agama mengajarkan pada kaumnya tentang cinta damai? Orang
Yahudi
(Israel) bisa hidup berdampingan, dengan aktivitas berdasarkan nilai-nilai
keyakiannya, dengan umat Islam (Palestina) secara harmonis di kota Jerusalem tanpa harus saling
mengganggu satu sama lain. Tanpa harus ada konflik dan perang karena ada
nilai-nilai toleransi yang diajarkan oleh masing-masing agama dan ini pernah
terjadi pada masa kejayaan Islam saat menjadi penguasa di negeri tersebut. Semangat inilah yang
telah hilang dalam melihat kota Jerusalem dan telah tergantikan dengan semangat
ideologi ekonomi politik yang telah menciptakan konflik berkepanjangan dan
entah sampai
kapan akan berakhir.
Perlawanan struktural
Setiap Israel melancarkan
agresi atas Palestina, kita bisa menyaksikan betapa luar biasa besar simpati
dan dukungan solidaritas yang datang dari berbagai negara, termasuk Indonesia.
Ada yang mengirimkan obat-obatan untuk rakyat Palestina, menyumbangkan sebagian hartanya, ada yang siap menjadi relawan, ada pula yang melakukan aksi demonstrasi
sekedar menunjukkan solidaritas. Semua itu tentu harus kita apresiasi, namun
dalam hal konflik di jantung dunia itu
yang paling dibutuhkan adalah perjuangan struktural. Kita ketahui bersama bahwa
Israel bisa sebrutal itu karena ada Amerika Serikat yang berdiri di
belakangnya. Dan Amerika adalah negara adi daya.
Dukungan Amerika kepada negara yahudi Israel tidak terlepas dari kuatnya
lobi Yahudi dalam kancah politik Amerika Serikat. Selama bertahun-tahun lobi
pro-Israel merasuk ke seluruh sistem pemerintahan Amerika, dan organisasi yang
memiliki pengaruh paling dalam, dan sangat disegani, adalah American Israel Public Affairs Committee
(AIPAC). Oleh sebab itu, selagi Amerika masih menjadi
pemimpin dunia, Palestina akan selalu terkoyak-koyak sebab logika yang dipakai
oleh mereka adalah logika ekonomi politik, bukan dengan nurani yang selalu
mempertimbangkan benar-tidaknya, adil-tidaknya suatu tindakan.
Maka perjuangan
yang dibutuhkan oleh Indonesia adalah perjuangan struktural untuk menggeser
posisi dan dominasi Amerika Serikat dalam konstalasi politik global. Oleh
karena itu perjuangan yang lebih penting bagi rakyat Indonesia adalah
perjuangan dengan memilih pemimpin yang berani berseberangan serta mempunyai
strategi untuk membangun kekuatan tandingan dalam menghadapi kedigdayaan
Amerika, bukan memilih pemimpin yang selalu tunduk dan memfasilitasi apa kata dan
kepentingan Amerika Serikat. Inilah perjuangan yang tidak sekedar perjuangan
reaksioner tetapi akan memberikan
kemerdekaan, kedamaian, dan keadilan abadi di masa yang akan datang
bagi rakyat Palestina.
Indonesia baru saja memilih presiden untuk lima tahun mendatang yang
mana salah satu isu dalam debat calon presiden beberapa waktu lalu adalah
terkait isu Palestina. Salah satu capres dengan tegas menyatakan
keberpihakannya kepada Palestina. Semoga saja janji itu dapat terlaksana
meskipun harus diakui bahwa itu bukanlah tugas yang ringan. Indonesia dan
presiden mendatang harus berhadapan dengan kekuatan adi daya Amerika untuk
dukungan ril terhadap Palestina.
Ahmad Sahide
Mahasiswa
Program Doktor
Kajian Timur Tengah
Sekolah
Pascasarjana, UGM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar