Minggu, 11 Desember 2011

Abraham Samad dan Masa Depan Pemberantasan Korupsi

Ahmad Sahide
Terpilihnya Abraham Samad sebagai ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2011-2015 membuat saya membuka kembali catatan harian politik saya pada awal Desember 2007 lalu. Di mana pada tanggal 5 Desember tahun itu, perhatian media, baik nasional maupun lokal, tertuju pada sosok Antasari Azhar yang terpilih sebagai ketua KPK untuk periode 2007-2011 (Sahide, 2010: 176). Antasari Azhar, pada awal kemunculannya, sempat diragukan publik akan kemampuannya memberantas korupsi. Di bawah kepemimpinan Azhar, KPK sempat menjadi salah satu lembaga ‘super’ yang ditakuti banyak politisi, baik lokal maupun nasionanal, tetapi Antasari Azhar rupanya harus kehilangan jabatannya di tengah jalan yang diduga adanya ‘kriminalisasi’ terhadap KPK, terkait dengan isu keterlibatannya dalam kasus pembunuhan Direktur PT Putra Rajawali Banjaran Nasrudin Zulkarnaen pertengan tahun 2009.
<--more--!>

KPK yang sebelumnya muncul sebagai lembaga super, dalam seketika menjadi lembaga yang sangat lemah. Skenario pelemahan KPK menjadi pemberitaan dan wacana yang beredar di kalangan luas. Maka, saya teringat sarasehan dengan pensehat KPK, Abdullah Hehamahua, pada bulan ramadhan tahun itu di masjid Syuhada, Yogyakarta. Pada waktu itu, Hehamahua hadir di masjid Syuhada sebagai penceramah tarwih dan setelah sholat tarwih bersama, ada sarasehan dengan Abdulah Hehamahua sampai tengah malam, saya termasuk salah satu peserta yang mengikuti sarasehan tersebut. Dalam sarasehan dengan penasehat KPK itu, Hehamahua menerima berbagai macam pertanyaan, baik itu tentang agama, politik, dan hukum. 

Ada hal yang menarik ketika salah seorang jama’ah bertanya kepada Abdullah Hehamahua terkait dengan Antasari Azhar yang masih hangat menjadi pemberitaan media dalam kasus Nasruddin Zulkarnaen. Jama’ah tersebut dengan penuh hormat mengatakan bahwa Abdullah Hehamahua telah gagal menjalankan perannya sebagai penasehat KPK. Jama’ah tersebut kemudian minta dipaparkan oleh Hehamahua apa yang terjadi sesungguhnya dengan Antasri Azhar. 

Abdullah Hehamahua dengan rendah hati mengakui bahwa dirinya memang gagal menjadi penasehat KPK, tetapi ada beberapa catatan yang sangat penting untuk kita ketahui dari penasehat KPK tersebut. Pertama, Abdullah Hehamahua memaparkan bahwa ada perbedaan pola perekrutan pimpinan KPK dengan karyawan KPK. Terhadap karyawan KPK, Hehamahua menjamin integritas orang-orang yang direkrut sebab pola perekrutannya seratus persen di tangan KPK. Tidak ada pihak luar yang terlibat. Sementara, pola pemilihan pimpinan KPK banyak melibatkan pihak luar, dari pemerintah kemudian ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dua lembaga inilah yang sangat menentukan proses pimpinan KPK. 

Kedua, Abdullah Hehamahua membongkar borok proses keterpilihan Antasari Azhar. Dari penuturannya, pada proses penjaringan sepuluh besar calon pimpinan KPK, Antasari sebenarnya berada pada urutan kesebelas. Artinya bahwa ia sudah tersisih dari nominasi dan entah mengapa pada proses selanjutnya Antasari langsung masuk sepuluh besar, urutan kesembilan. Dan akhirnya terpilih sebagai ketua KPK. Ini menunjukkan adanya permainan yang tidak sehat yang dimainkan oleh para anggota Dewan kita. Itulah mengapa setelah kasus Antasari mencuak ke publik, Saldi Isra, pakar hukum tatanegara dari Universitas Andalas, menilai bahwa ketidakberesan itu sebenarnya ada di DPR yang melakukan fit and proper test (Kompas, 5/05/2009). Dan proses yang tidak sehat itulah yang melahirkan ketua KPK yang harus berhenti di tengah jalan. Lalu bagaimana dengan Abraham Samad yang baru terpilih?

KPK di bawah Abraham Samad
Ikrar Nusa Bakti, Profesor Riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dalam artikelnya di harian Kompas, edisi Selasa, 6 Desember 2011, memberikan penilaian yang cukup objektif tentang sosok Abraham Samad. Yang saya tangkap dari artikelnya tersebut adalah adanya kekecewaan dari hasil pemilihan ketua KPK tersebut. namun demikian, Ikrar Nusa Bakti masih menyimpan optomisme dari sosok Abraham Samad. Ditambah lagi dengan janjinya bahwa jika dirinya tidak bisa menyelesaikan kasus Bank Century, maka ia akan mundur dari kepemimpinan KPK. 

Proses pemilihan ketua KPK memang sarat dengan permainan dan tarik-menarik kepentingan. Hal ini terlihat dengan pengulur-uluran waktu, yang semula dijadwalkan pukul 09.00 menjadi pukul 14.00 (Kompas, 3/12/2011). Semoga saja proses terpilihnya Abraham Samad tidak mengulangi proses terpilihnya Antasari Azhar. Yang pada awalnya tidak masuk nominasi, tiba-tiba masuk dan menjadi ketua KPK. Walaupun saya, secara pribadi, tidak bisa melepaskan diri dari kecurigaan tersebut. Hal ini karena nama-nama yang memiliki integritas justru tersisih, seperti Abdullah Hehamahua. Sepertinya, momen pemilihan pimpinan dan ketua KPK ini adalah momentum tepat bagi DPR yang bukan hanya melemahkan KPK, tetapi menguasai KPK. Saya kira menguasai KPK adalah jalan tengah dari pada membubarkannya, sebagaimana wacana yang pernah dilemparkan oleh ketua DPR Marzuki Alie.
Saya mengabadikannya dalam bentuk catatan harian politik peristiwa tanggal 3 Oktober lalu, dalam rapat pimpinan DPR dengan pimpinan KPK dan Polri. Dalam rapat itu, salah seorang anggota Dewan mengatakan bahwa KPK adalah anak kandung dari DPR. Di mana DPR melihat KPK sebagai anak yang nakal yang sering kali ‘memberontak’. Maka, proses pemilihan pimpinan dan ketua KPK inilah sepertinya yang dijadikan oleh DPR sebagai momentum tepat untuk memaksa sang anak kandung tadi ‘bertobat’. Kecurigaan-kecurigaan ini tetap ada sebab adanya beberapa kejanggalan dari proses-proses dalam pemilihan pimpinan KPK untuk periode 2011-2015. 

Jika dalam satu tahun atau bahkan sampai masa kepemimpinannya selesai, Abraham Samad tidak mampu membuktikan janjinya, maka proses pemilihan pimpinan KPK seharusnya melalui lembaga independen. Hal itu jika memang ada keseriusan memberantas korupsi di Tanah Air.
Ahmad Sahide
Yogyakarta, 7 Desember 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar