Senin, 13 Juni 2011

Semangat Kebangsaan Pak Habibie

Kamis, 26 Mei 2011, saya menghadiri ‘Presidential Lecturer” di Grha Sabha Pramana, Universitas Gadjah Mada. Acara ini merupakan salah satu rangkaian dari Dies Natalis ke-62 UGM dan ke-30 Sekolah Pascasarjana UGM. Yang membuat saya merasa bahwa peristiwa ini tidak bisa terlewatkan adalah karena menghadirkan Prof. Dr. Ing. BJ. Habibie, Presiden ketiga Republik Indonesia, sebagai narasumbernya. Saya sebagai pengagum dari Pak Habibie seolah kurang sempurna bila belum pernah melihatnya dari dekat secara langsung. Pak Habibie selama ini saya kenal hanya dari media-media, terutama televisi. Maka pada hari Kamis, dua hari yang lalu itulah, saya bisa melihat dari jarak yang dekat mantan orang nomor satu di Indonesia tersebut, sekalipun tidak sempat menyalami tangannya.
    

Dalam forum kali ini, Pak Habibie berbicara dengan tema “Membangun Daya Saing Bangsa: Tantangan dan Pilihan Kebijakan”. Sebagai bapak teknologi, Pak Habibie tentu saja berbicara banyak mengenai teknologi. Menurutnya, hanya dengan kemajuan teknologilah bangsa Indonesia bisa bersaing dengan bangsa-bangsa lain. Indonesia bisa bersaing, katanya, apabila Indonesia mampu memberikan nilai tambah pada suatu barang atau produk. Dan itu hanya bisa dilakukan dengan teknologi, sebagaimana ia mendefenisikan teknologi sebagai rangkuman penerapan ilmu pengetahuan yang memungkinkan sesuatu padat nilai, atau memiliki nilai tambah. 

Di sini saya tidak bermaksud merangkum apa yang disampaikan oleh Pak Habibie dalam pidatonya yang berlangsung kurang lebih dua jam lamanya. Yang ingin saya abadikan dari menghadiri acara seminar kemarin adalah semangat kebangsaan pak Habibie. Diusianya yang sudah memasuki 75 tahun, ia masih bersemangat, berdiri selama kurang lebih dua jam di depan ribuan anak bangsa, membicarakan bangsa ke depan. Saya menangkap bahwa semangat kebangsaanlah yang memberinya kekuatan berdiri selama itu. Tanpa semangat yang memberi kekuatan tersendiri, orang yang seumuran dia akan sulit berdiri selama itu.

Pak Habibie juga bercerita bahwa ketika Presiden Soeharto memintanya pulang pada tahun 1974, ia langsung pulang dengan melepaskan jabatan yang begitu tinggi di Jerman pada saat itu. Pak Habibie sedikit menyindir bahwa ia pulang ke tanah air dengan melakukan karya-karya nyata untuk bangsa. Ia tidak pulang dengan hanya bermodalkan ‘banyak bicara’. Ini sindiran yang sangat pedas dari Pak Habibie kepada elite-elite republik saat ini yang memimpin bangsa ini dengan hanya banyak bicara, tapi tidak punya karya-karya nyata. Sepertinya ada kegelisahan yang mendalam dari pak Habibie akan nasib bangsa ini yang dipimpin oleh orang yang hanya ‘menjual retorika’. Itu terlihat dari gaya pidatonya dan mimik wajahnya di depan.

Oleh karena itu, Pak Habibie mengatakan bahwa kalau bangsa ini dipimpin dengan baik dan bijak, maka Indonesia tidak kalah dari bangsa-bangsa lain. Salah satu contohnya adalah bahwa pada tanggal 10 Agustus 1995, Indonesia berhasil meluncurkan pesawat buatannya sendiri yang mendapatkan pengakuan dunia internasional. Menurut Pak Habibie, ini adalah hasil dari kerja keras putra-putri bangsa selama lima puluh tahun lamanya. Tapi kini prestasi itu justru ditelantarkan oleh para penerus bangsa ini.

Secara tidak langsung ia mengatakan bahwa para elite, yang disebutnya sebagai anak pejuang, sibuk mengkotak-kotakkan diri untuk berbeda dari yang lainnya. Ada kelompok ini dan itu, ada yang dimasukkan ke dalam kelompok Orde Lama, Orde Baru, dan sebagainya. Yang itu semua dilihat oleh dia hanya sebagai pemberi fasilitas. Misalnya Orde Lama, Soekarno pada saat itu, memberinya kesempatan untuk belajar teknologi ke luar negeri, dan Orde Baru (Pak Harto) memintanya kembali ke Tanah Air untuk mengabdi dengan melakukan karya-karya nyata.

Dari sinilah pak Habibie sebenarnya mengatakan (secara tersirat) bahwa para elite tidak berpikir jernih dan sehat untuk bangsa. Dirinya misalnya digerogoti ketika menggantikan pak Harto sebagai presiden hanya karena ia dulu dikenal sebagai ‘anak emas’ Pak Harto. Dirinya selalu dikaitkan sebagai bagian penting dari Orde Baru yang tidak berhak lagi memimpin bangsa. Padahal apa itu semua? Apalah Orde Baru atau Orde Lama, atau Orde Reformasi? Itu semua tidak penting menurut pak Habibie. Yang terpenting adalah kita melakukan karya nyata untuk bangsa. Cukup. Dan itulah yang ia lakukan selama ini. Inilah secuil catatan semangat kebangsaan dari Pak Habibie.
 
Ahmad Sahide
Yogyakarta, 28 Mei 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar