Selasa, 07 Juni 2011

KASIH SAYANG ORANGTUA PILAR MENUJU SUKSES SI ANAK

Berbicara masalah pendidikan anak sangatlah menarik dan sekaligus mengusik semua pihak. Hal ini terkait dengan sebagian besar orangtua yang sibuk dengan pekerjaan dan kegiatan masyarakat sosial lainnya. Meskipun di sisi lain, ada sebagian orangtua  yang mampu memberikan perhatian dan kasih-sayang pada anak-anaknya. Kesibukan orangtua di luar rumah, membuat anak-anak kehilangan figur atau teladan, sehingga anak-anak cenderung bersikap tertutup,  menghabiskan waktu dengan benda-benda tidak bergerak (TV, laptop, dan lain-lain), dan yang lebih menyedihkan, anak-anak kesulitan berinteraksi dengan orang di sekitarnya. Selain itu, anak juga menjadi pemalas, nakal, tidak memiliki sopan-santun dan suka main perintah sambil teriak-teriak.

Persoalan tersebut terjadi karena tidak adanya konsep, dan format yang jelas serta sebagian orangtua minim sekali dalam memahami bakat dan minat si anak, karakter  dan cita-citanya.
Melihat realita seperti itu, tergugahlah sebagian orang yang peduli terhadap nasib generasi penerus bangsa dan merasa bertanggungjawab. Sehingga mereka terus berupaya mencari akar permasalahan tentang penyebab kenakalan mereka dan sekaligus memberikan solusinya. Di antara mereka seperti : Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang khusus menangani masalah pendidikan generasi muda, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNASHAM) perlindungan anak. Untuk itu, mereka menyelenggarakan seminar dan penyuluhan tentang bagaimana format  dan konsep pendidikan anak berbasis kasih-sayang orangtua sebagai pilar keberhasilan anak.


Mereka terus berupaya mensosialisasikan kepada  generasi tua, pemerintah, tokoh agama dan tokoh masyarakat dengan tujuan menyadari akan pentingnya pendidikan anak yang tidak hanya berupa pendidikan formal, tetapi yang terpenting adalah perhatian dan kasih-sayang dari orangtua atau keluarga, dan paham bakat anak atau sebaliknya sebagaimana yang diperintahkan masing-masing agama. Dalam Islam Rosul SAW bersabada “didiklah anak-anakmu dengan melihat kemampuan mereka, ajaklah berdialog dan berilah kasih sayang pada mereka, jangan kalian (orangtua) memaksakan sesuai kemauan kalian”. Oleh karena itu, generasi tua harus mengembangkan sifat membimbing (supportive) terhadap anak. Anak tidak dipandang sebagai kelanjutan dari diri orangtua yang dapat dibentuk menurut kehendak orangtua. Setiap anak mempunyai pola potensinya sendiri. Pola khas yang ada pada setiap anak hanya bisa berkembang secara optimal dalam suatu lingkungan yang bernapaskan suasana belajar (menurut seorang futurolog : Dr Soedjatmoko).

Bagaimana mengukur perubahan pada diri kita? Misalnya jika karier suami naik, maka istripun harus melakukan perubahan. Misalnya, jika diajak diskusi nyambung, maka carilah informasi atau banyak membaca buku sesuai dengan keilmuan suami. Jika si anak suka bola, maka Ibu harus paham mengenai bola, begitu pula sebaliknya. Sehingga saling timbal balik. Jika hal tersebut dilakukan, maka akan tercipta perubahan yang dinamis, harmonis, kreatif, dan tumbuh kepercayaan yang berakhir dengan kepercayaan diri.

Agar anak tumbuh menjadi pribadi yang penuh percaya diri, memiliki tanggungjawab dan dimanapun berada mampu menebarkan kedamaian dan dicintai siapa pun karena kebajikannya. Orangtua atau keluarga dalam memberikan pendidikan pada anak,  seharusnya jangan suka membanding-bandingkan antara yang satu dengan yang lain, meskipun tujuannya untuk memberikan motivasi kepada si anak. Hal tersebut, justru akan membuat anak merasa di anak-tirikan dan berimbas adanya pembangkangan diri. Menurut Hj. Elly Risman Musa (pakar Psikologi Anak), yang penting berkatalah yang benar pada anak dan kalau kita sebagai orang tua salah, mintalah maaf dan dekaplah mereka dengan penuh kasih sayang. Itu akan menjadikan anak merasa terlindungi, ada tempat berbagi ketika sedang mengalami permasalahan dan  apa yang menjadi harapan kedua belah pihak bisa terwujud.

Jadi berilah tangki cinta dengan bahasa anak antara lain : kata pendukung, waktu yang berkualitas, sentuhan fisik, hadiah dan layanan, serta kenalkanlah mereka pada Tuhannya agar hidup terarah dan bermakna. Jangan berikan anak dengan segala fasilitas yang terkadang sebagai alasan orangtua untuk menebus kesalahan mereka, karena tidak ada kesempatan untuk bersama, tidak ada kesempatan bertemu. Kalaupun bertemu hanya sekadar tegur sapa, setelah itu sibuk dengan dunia  masing-masing. Kondisi tersebut membuat satu sama lain tidak kerasan di rumah, dan yang terjadi adalah timbulnya saling mencurigai.

Menurut Paulo Freire, pendidikan adalah proses pembebasan dan pembangkitan kesadaran kritis. Dan pada hakikatnya proses memanusiakan manusia. Pendidikan harus dimaknai sebagai upaya untuk membantu manusia mencapai realitas diri dengan mengoptimalkan semua potensi kemanusiaanya.

Yogyakarta, 6 Maret 2011

Mb Sri

Tidak ada komentar:

Posting Komentar