Rabu, 11 April 2012

Haru Ketika Membaca Rubrik “Rampai”

Hari Senin (2/4) awal pekan ini, penulis asyik menikmati rubrik “Rampai” surat kabar Riau Pos. Rubrik yang hadir setiap hari Ahad ini berisi tulisan-tulisan sastrawan/budayawan Hasan Junus. Dan, hari Ahad (1 April 2012) lalu, rubrik “Rampai” berjudul: “’Burung Tiung Seri Gading’ Itu Terbang Tinggi dan Akhirnya Menghilang”. Seperti biasanya—kebiasaan penulis setiap pekannya—penulis membaca “Rampai” melalui jagat on-line dengan alamat http://www.riaupos.com. Ini dilakukan karena keberadaan penulis yang berjarak cukup jauh dari daratan Riau sana karena penulis berada di pulau seberang, Pulau Jawa, tepatnya Kota Yogyakarta, provinsi DI Yogyakarta, sehingga tidak memungkinkan membaca edisi cetak yang hanya beredar terbatas di sekitaran Riau dan provinsi jirannya saja itu.


Paragraf pertama penulis baca dengan antusias, dengan rasa penasaran yang terus menyerang. Inilah karakter tulisan-tulisan Hasan Junus, rasa penasaran selalu menggelayut di benak pembacanya sebelum paragraf terakhir berhasil dituntaskan. Paragraf kedua juga selesai penulis baca, lanjut paragraf ketiga. Nah, di paragraf ketiga inilah penulis kaget bercampur haru karena paragraf ini berisi kabar duka, di mana di situ disebutkan tentang meninggalnya sastrawan besar dunia Melayu, Hasan Junus pada 30 Maret 2012 lalu. Penulis tidak menyangka hal ini terjadi. Tidak ada tanda-tanda, penulis juga tidak mengetahui berita kematian Hasan Junus dua hari sebelumnya. Dan, penulis mengira kolom “Rampai” hari Ahad itu masih torehan tangan Hasan Junus sebelum paragraf ketiga itu. Perkiraan yang meleset, ditambah lagi di akhir tulisan tertera kata “Redaksi”.

Tentu saja penulis membaca lanjutan tulisan itu dengan rasa sedih. Kolom yang setiap pekannya penulis baca, telaah, dan resapi itu, kali ini bukan kreasi sang empunya, tetapi refleksi dari redaksi Riau Pos terkait meninggalnya sastrawan yang meninggalkan banyak karya spektakuler ini. Sampai di sini, rasa tidak percaya terkait berita kematian Hasan Junus masih menghinggapi benak penulis. Segera saja setelah selesai membaca kolom ini, penulis mencari tahu untuk memperjelas rasa keterkejutan penulis. Ya, ternyata benar. Langsung penulis membaca rubrik “Esai Budaya”, di sana terbentang tulisan budayawan UU Hamidy tentang Hasan Junus, tentunya sebuah refleksi untuk mengenang Sang “Burung Tiung Seri Gading” ini. Semakin jelas lagi ketika penulis membaca sajak Taufik Ikram Jamil di bagian “Sajak”. Rasa tidak percaya penulis luntur, jelas sudah!

Langgam Melayu
Kita semua yang berada di ranah Melayu, terkhusus Riau dan Kepulauan Riau, pasti merasa kehilangan sosok yang banyak menelurkan karya-karya “bergenre” Melayu ini. Tidak bisa kita mungkiri, meskipun karya-karya Hasan Junus melampaui (beyond) kemelayuannya, bahkan menghunjam batas-batas nasionalisme, tetap saja langgam Melayu tidak terpisahkan dari sosok kelahiran Pulau Penyengat, Tanjungpinang, pada 12 Januari 1941 ini. Dunia kemelayuan sudah larut menjadi darah dan daging Hasan Junus. Tengoklah karya-karyanya seperti “Raja Ali Haji Budayawan di Gerbang Abad XX”, “Burung Tiung Seri Gading”, atau keterlibatannya di majalah budaya Sagang, semua ini membuktikan pikiran dan laku hidupnya seresam dengan budaya yang menjadi “jubah” “Tanah Air Melayu”—meminjam istilah Fakhrunnas MA Jabbar—ini.

Kini, kita semua yang ditinggalkannya mempunyai kerja besar untuk melanjutkan apa yang sudah diteroka oleh Hasan Junus ini. Kita, dari latar belakang apa pun, baik itu sastrawan, budayawan, dosen, politisi, hingga penikmat sastra wajib berbuat sebatas kemampuan kita untuk terus-menerus menegakkan batang-tubuh Melayu, terserah melalui media apa pun tidak jadi masalah. Bagi penikmat sastra, kita bisa melanjutkan pemikiran-pemikiran Hasan Junus dengan mengapresiasi karya yang ditinggalkannya. Jika ada yang memunculkan ide-ide baru yang itu menjadi kegelisahan Hasan Junus selama ini, tentunya itulah yang lebih baik. Semuanya dilakukan dalam rangka membesarkan nama Melayu kembali. Penulis katakan ini karena peradaban Melayu yang ingin ditumbuhkembangkan di Bumi Melayu Riau oleh berbagai kalangan ke depannya itu menghadapi banyak tantangan. Misalnya, salah satunya, tantangan itu penulis rasakan sendiri ketika studi di Yogyakarta.

Banyak di antara mahasiswa ataupun pelajar dari Riau yang kehilangan identitasnya. Mereka tidak memahami lagi seluk-beluk budaya Melayu yang sangat luhur itu. Para mahasiswa ini memang mengkategorikan diri mereka sebagai orang Melayu Riau, tetapi hanya berhenti sampai di situ saja. Secara ritual, maupun wawasan tentang dunia Melayu, jauh panggang dari api. Tarian-tarian Melayu yang dipentaskan di Yogyakarta ketika acara penyambutan pejabat yang datang dari Riau, ataupun ketika acara pelantikan organisasi pelajar Riau yang ada di Yogyakarta hanyalah sekadar seremoni belaka. Pemaknaan ulang, pengkajian mendalam, dan setelah itu penginternalisasiannya tidak dijumpai di kalangan mahasiswa yang sedang belajar di Kota Yogyakarta ini.

Bujang Tan Domang
Keprihatinan penulis lainnya adalah terkait lesunya para mahasiswa di sini dalam hal pengkajian budaya Melayu. Jangankan kajian, banyak di antara teman-teman mahasiswa yang tidak tahu budayanya sendiri. Misalnya, mahasiswa yang berasal dari Pelalawan banyak yang tidak mengetahui sastra lisan Bujang Tan Domang. Padahal, sastra lisan ini adalah dasar gerak masyarakat Pelalawan dalam mengarungi kehidupan, ditambah lagi karya Tenas Effendi ini sudah dibukukan dan bertebaran di toko-toko buku di seputaran Yogyakarta.

Penulis mungkin agak subjektif memandang, karena hanya berbicara realitas mahasiswa Riau di Kota Yogyakarta. Tetapi, penulis juga pernah merasakan tinggal di Riau sebelum ke Yogyakarta dulu. Budaya kita tidak dipraktikkan dengan serius di sekolah-sekolah, atau di tengah masyarakat. Budaya Melayu direduksi dengan kewajiban memakai busana Melayu setiap hari Jumat di berbagai instansi. Memang ada mata pelajaran Arab Melayu di sekolah, tetapi hanya bersifat hapalan, tanpa meresap ke hati masing-masing siswa.

Kembali ke Hasan Junus, inilah momentum bagi kita semua untuk terus mengkaji budaya Melayu. Pengkajian yang tanpa henti ini diharapkan akan menghasilkan bunga dari pohon yang bernama “Melayu”, dan pada akhirnya berbuah, tentunya buah manis yang bermanfaat bagi semua. Kita tidak bisa tinggal diam melihat semakin tergerusnya budaya Melayu hari ini. Seperti yang dilakukan Hasan Junus hingga detik-detik akhir hidupnya dengan terus melakukan hal-hal yang mengarah ke tegaknya batang pohon Melayu tadi. Kita juga bisa bergerak dari sekarang, mumpung masih ada waktu. Inilah tugas besar kita ke depannya sepeninggal Hasan Junus!

<Darwin. Yogyakarta, 06 April 2012>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar