Jumat, 18 Februari 2011

6 Februari 2011. Komunitas Belajar Menulis


Renungan-Renungan
Ahmad Sahide
            Terkadang kita akan marah atau benci, entah itu kepada Tuhan atau kepada sesama, jika kita tidak berhasil menggapai sesuatu yang kita inginkan. Bila kita ditinggal oleh yang kita cintai, perempuan misalnya. Bahkan banyak di antara kita yang tidak kuat menghadapi terjangan dan goncangan jiwa karena ini dengan mengambil jalan pintas dalam hidup. Banyak yang menjerumuskan dirinya dalam dunia hitam. Dan tidak sedikit pula yang mengambil jalan pintas dengan mangakhiri hidupnya. Ini sebagai bentuk pelampiasan dari kekecewaannya menghadapi realitas hidup. Bila hal itu terjadi, maka kita akan diberi gelar sebagai manusia pecundang. Ayat-ayat Tuhan tidak lagi menjadi pedomannya bahwa Tuhan tidak memberinya cobaan kecuali kalau ia mampu melewatinya.
            Tidak bisa dipungkiri, bahwa menteorikan agama, memberi nasehat itu sangat mudah kepada orang yang sedang dilanda kegoncangan jiwa. Jika kita sendiri yang menghadapi kegoncangan tersebut, barulah kita sadari betapa beratnya untuk dipikul. Namun bila kita yang menghadai kegoncangan jiwa tersebut, cobaan yang begitu berat, maka marilah kita berusaha untuk berpikiran positif kepada Tuhan. Bahwa mungkin hari ini kita sedih, terpukul dengan realitas hidup yang kita hadapi sebab kita tidak tahu apa yang direncakan Tuhan untuk kita di hari esok. Seandainya kita mampu menoropong rencana Tuhan untuk kita selanjutnya, mungkin kita akan tertawa bahagia melihat penderitaan yang kita rasakan hari ini. Oleh karena itu, percayalah bahwa kesedihan kita pada hari ini, luka kita sekarang, kegoncangan jiwa detik ini akan membuat kita tersenyum bahagia di hari esok. Dan kita bersedih dengan realitas yang tidak sesuai dengan yang kita harapkan karena kita tidak tahu rencana Tuhan untuk kita. Inilah secuil renungan-renungan kehidupan bagi yang sedang mengalami kegoncangan jiwa.
Yogyakarta, 4 Februari 2011
Pegiat Forum “Komunitas Belajar Menulis”
Yogyakarta, 6 Februari 2011

 
HMI dan Isu Lokal
Darwin
          Tepat 64 tahun lalu, yaitu 5 Februari 1947, Lafran Pane, adik kandung dua sastrawan besar Indonesia Sanusi Pane dan Armijn Pane, mendirikan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) di Yogyakarta. Berdirinya HMI ketika itu tidak bisa lepas dari rasa solidaritas bersama sebagai bangsa yang baru merdeka dari penjajah satu setengah tahun sebelumnya. Lafran Pane melihat realitas ini dengan sangat jeli, berdirinya HMI diharapkan bisa turut bahu membahu mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
            HMI saat ini sudah jauh berbeda dengan di masa awal berdirinya dahulu. Jika dulu HMI ikut bahu membahu mempertahankan kemerdekaan, sekarang bagaimana HMI mengawal perjalanan bangsa ini menuju bangsa yang bermartabat, bangsa yang memberikan kedamaian dan kesejahteraan bagi masyarakatnya. Hal ini termanifestasi dari gerak sehari-hari HMI yang tanpa henti menyuarakan kebenaran, melawan ketidakadilan, dan kesemena-menaan yang dilakukan suatu rezim yang berkuasa terhadap masyarakat. HMI selalu berusaha mengkritisi pemerintah dengan melakukan aksi turun ke jalan, pembuatan website di dunia maya, maupun mengadvokasi masyarakat yang membutuhkan perhatian karena tidak hadirnya negara di tengah-tengah mereka.
Hampir setiap isu nasional yang berkaitan erat dengan masyarakat dalam hubungannya dengan negara, khususnya hal-hal yang mengenyampingkan keberadaan mereka baik dari segi ekonomi, politik, sosial, dan budaya, menjadi perhatian HMI. Respon dari organisasi mahasiswa tertua ini biasanya selalu dengan turun ke jalan. Karena “parlemen jalanan” adalah media yang bisa dimanfaatkan oleh HMI, selain media internet, dan advokasi langsung ke tengah-tengah masyarakat. HMI di tingkat cabang (kabupaten/kota) di seluruh Indonesia selalu memanfatkan momen yang berkaitan dengan kebijakan-kebijakan pemerintah pusat yang tidak populis untuk melakukan aksi di jalanan.
Isu Lokal
            Tapi, yang menjadi pertanyaan selama ini HMI selalu terfokus dengan isu-isu tingkat nasional, tanpa memperhatikan isu di tingkat lokal, yang mana di situlah HMI dari setiap cabang  tinggal dengan  sekretariat sebagai pusat aktivitasnya. Untuk wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta, HMI mempunyai dua cabang, yakni cabang Yogyakarta dan cabang Sleman. Hal ini perlu menjadi perhatian HMI di usianya yang ke 64 tahun ini. Jika selama ini fokus ke isu-isu tingkat nasional, sekarang perhatian perlu dialihkan ke tingkat lokal, khususnya DIY, yang menjadi tempat dua cabang ini menjalankan aktivitas keorganisasiannya.
Banyak permasalahan yang dihadapi masyarakat di tingkat lokal, pun untuk wilayah DIY ini. Permasalahan-permasalahan itu perlu kiranya menjadi perhatian HMI ke depannya. Isu-isu kebijakan pemerintah lokal dalam kaitannya dengan kepentingan masyarakat, dan isu-isu lainnya, misalnya bencana alam seperti gempa bumi, banjir, termasuk erupsi merapi yang tidak diduga kapan datangnya  perlu dilirik oleh HMI supaya spirit kepedulian terhadap masyarakat yang dicita-citakan Lafran Pane di Yogyakarta 64 tahun lalu tetap bertahan dan relevan untuk zaman sekarang ini.
Ada isu strategis saat ini yang bisa menjadi lahan garapan HMI di tingkat lokal DIY, yakni berkaitan dengan RUU Keistimewaan DIY yang masih menjadi perdebatan hangat di tengah-tengah masyarakat DIY.  Masyarakat DIY saat ini sedang menantikan selesainya RUU ini. Harapan besar masyarakat DIY adalah substansi dari RUU ini, yaitu menginginkan penetapan (bukan pemilihan) gubernur dan wakil gubernur DIY. Di sini HMI bisa memainkan perannya sebagai organisasi mahasiswa yang peduli dengan masyarakat DIY.
Yang bisa dilakukan oleh HMI adalah memberikan sikap terhadap RUU Keistimewaan ini. Tentunya adalah sikap yang mengakomodir kepentingan masyarakat DIY. HMI bisa menyuarakan kepentingan masyarakat DIY dengan turun ke jalan maupun membuat pernyataan sikap dengan mengirimkan surat resmi ke Pemerintah DIY. Selain itu, HMI untuk wilayah DIY bisa memberikan dorongan bagi Pengurus Besar (PB) HMI yang ada di Jakarta agar “menekan” DPR-RI supaya memperhatikan aspirasi masyarakat DIY. Hal inilah menurut hemat penulis yang perlu dilakukan HMI di tingkat lokal DIY.
HMI sangat identik dengan DIY, hal ini dibuktikan dengan pendirian HMI di Yogyakarta dan pendiri HMI Bapak Lafran Pane berdomisili di Yogyakarta dan dimakamkan di pemakaman  Karangkajen (sebelah barat masjid Jami’ Karangkajen), satu kompleks dengan makam pendiri Muhammadiyah, K.H. Ahmad Dahlan.  HMI di daerah ini sangat dibutuhkan sebagai salah satu penyeimbang pemerintah. Karena bagaimanapun, good governance akan terwujud jika ada evaluasi dan saran bagi pemerintah lokal dari organisasi kemasyarakatan ataupun organisasi kemahasiswaan seperti HMI ini.
Yogyakarta, 3 Februari 2011 
Pegiat Forum “Komunitas Belajar Menulis”
Yogyakarta, 6 Februari 2011



Pendidikan adalah Bisnis yang Menjanjikan
Supangat
Untuk apa Sekolah Dasar (SD), Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama  (SLTP), Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) dan Universitas didirikan. Tidak lain adalah adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, kemudian memurnikan pengalaman dan upaya untuk mensejahterakan kehidupan. Tentunya dalam hal penalaran dan pemahaman, karena sebenarnya menuntut ilmu itu wajib bagi kaum laki-laki dan perempuan sebagaimana yang pernah disampaikan oleh Rasulullah SAW dan diteruskan oleh para khalifahnya. Bahkan beliau mengatakan tuntutlah ilmu sampai ke liang lahat, dari lahir samapai mati dalam cakupan ilmu pengetahuan secara umum maupun keagamaan. Dengan demikian diharapkan akan dapat memberikan pencerahan dan kemajuan bagi paramanusia di dunia khususnya di Indonesia.
Akan tetapi pada pengaplikasiannya ternyata terjadi berbagai kendala baik dari peserta didik maupun dari para tenaga pendidiknya sendiri. Yang tentunya hal itu dikarenakan berbagai faktor antara lain: Pertama, mahalnya biaya pendidikan yang semakin lama semakin tidak terjangkau oleh sebagian masyarakat. Kedua, terbentur dengan biaya akomodasi para tenaga pendidik atau guru, karena gaji tidak mencukupi buat biaya kehidupan sehari-hari. Dari sinilah penulis akan mencoba menyoroti permasalahan-permasalahan yang kemudian menjadi faktor utamanya. Mengapa biaya pendidikan semakin ke sini semakin mahal? Apakah itu semua dapat tercapai jika terjadi permasalahan seperti yang sudah di paparkan di atas? Mengapa gaji tenaga pendidik atau  guru kecil?
Jika ditelusuri dalam Undang-Undang Dasar (UUD), maka ironis sekali jika pendidikan semakin mahal apakah hal itu pantas? Sudah dijelaskan dengan sangat gamblang dalam UUD tahun 1945 Pasal 31 ayat (1) “Negara menjamin setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan, dan ayat (4) menerangkan bahwa, Negara memperioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaan pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan pendidikan nasional, kemudian pada pasal 34 ayat (1) fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.
Hemat penulis, jka memang demikian mengapa bisa begitu mahalnya biaya pendidikan di negara Indonesia? Apakah sudah terjadi monopoli di dalam dunia pendidikan itu sendiri? Di sini yang terjadi adalah bukan hanya semata-mata monopoli, akan tetapi pendidikan sudah dijadikan sebagai lahan bisnis. Oleh para pengusaha, “pendidikan=perusahaan” .
Kemudian apakah pantas negara Indonesia dijadikan sebagai negara kesejahteraan? Maka sebaiknya berkacalah sebelum mengatakan dan menganggap dirinya sebagai negara kesejahteraan. Sebagaimana yang terdapat dalam pembukaan UUD 1945 alinea ke empat, yaitu mewujudkan kesejahteraan umum. Kemudian siapa yang mau disalahkan dalam hal ini, pemerintah atau siapa? Menanggapi hal itu tentunya penulis mengajak kita semua berfikir dan menarik ulur kembali pada sejarah perjuangan kemerdekaan seperti apa yang sebenarnya menjadi tujuan dari kemerdekaan tersebut. Masyarakat belum hidup layak sebagaimana mestinya meskipun sudah lebih dari setengah abad negara Indonesia merdeka. Akan tetapi belum juga dapat mewujudkan apa yang menjadi dan yang dicita-citakan oleh para pejung negara Indonesia.
Guru
Jika ditarik ulur mundur ke belakang, maka penulis akan terheran-heran mengapa sebegitu rendahnya upah guru. Padahal, jika tidak ada seorang guru maka tidak ada seorang Kepala Desa, apalagi Presiden. Mereka bisa jadi seorang Kepala Desa saja, itu berkat jasa dari seorang Guru. Untuk menjadi seorang presiden pun, dia butuh bimbingan dari seorang guru. Maka posisi guru di sini sangatlah ironis sekali jika upah yang diberikan untuk memenuhi kebutuhan hidup saja kurang. Namun, sebagaimana diatur dalam UUD 1945 Pasal  27 ayat (2) tiap-tiap warga negara berhak atas kehidupan yang layak bagi kemanusiaan. Maka pemerintah dalam hal ini benar benar sudah tidak lagi bisa menerapkan peraturan hukum sesuai dengan ketentuan-ketentuan undang-undang yang berlaku.
Pesan moril untukmu
Dari berbagai pemaparan di atas, penulis hanya ingin menyampaikan sedikit perkataan bahwa bukan hanya Presiden saja yang menginginkan gajinya dinaikkan, akan tetapi mustinya Sang Presiden sadar diri bahwa masyarakat, warga negaranya juga menginginkan gajinya dinaikkan. Dan, perlu diingat bahwa warga negara Indonesia masih banyak yang hidupnya masih terlunta-lunta. Hidup di jalanan, yang hanya hidup mengharap bantuan dan uluran tangan dari orang lain.
                                                                                                           Yogyakarta, 03 Januari 2011
Pegiat Forum “Komunitas Belajar Menulis”
Yogyakarta, 6 Februari 2011


“LAHAR DINGIN”
Tiada kilat tapi ada petir, memetik buah kelapa
Kedatanganmu dengan penuh tergesa-gesa
Ulahmu membuat semua nelangsa
Kini dirimu pergi jauh, membawa segenggam cinta
Cinta yang penuh luka, cinta yang buat aku gila
Gila akan keindahan dunia
Dengan kebencian, kau basuh tubuhku
Dengan pelukan, kaumatikan denyut jantungku
Dengan hati, kaucuri nyawaku
Gemuruh lantunan derita, menggema di telinga
Lantunannya begitu merdu, mengiringi syair-syair
Aku yang tak tahu, sampai kapan akan berakhir
Tragedi lahar dingin di kota pelajar
                                                                       
                                                                                    Yogyakarta, 05 Februari 2011.
Karya : Supangat.
Pegiat Forum “Komunitas Belajar Menulis”
Yogyakarta, 6 Februari 2011



Kubus hitam

Dalam putaran itu ada poros
Poros itu diam manusia berputar
Mengapa harus hitam yang bermakna
Mengapa bukan putih
Mengapa yang dicium itu si hitam bukan si putih
Kenapa bukan segitiga atau jajarangenjang yang kita kitari
Dia yang mempunyai makna bukan kita yang punya tujuan
Dalam hitam pasti ada makna
Dalam putih pasti ada kelam
Di luar sebuah kubus hitam aku berputar
Mencari makna hidup yang hakiki dari-Nya

Masjid seribu pintu

 Dalam masjid berpintu seribu aku di dalam
Mengunci keresahan di atas sajadah
Tak perlu mereka tahu karena tak pantas tahu
Setiap ukiran kaligrafi masjid ini kuukir dengan amal perbuatanku dan tingkah polahku
Cukuplah aku yang tahu kunci-kunci pembuka pintu masjid ini
Meski terkadang hilang kunci itu di dalam hati
Kucoba menerka mana yang pas untuk kubuka seribu pintu ini
Di antara seribu kunci makna
Terkadang marah aku pada orang-orang di luar
Hanya diam tak membantu
Membuatku semakin lama membuka pintu seribu masjidku

Spidol-spidol cinta

 Spidol-spidol cinta itu tergeletak di atas meja hati
Di hadapnya terdapat papan putih cinta
Penghapus bergagang hitam itu tergantung di atas jurang
Kutorehkan corat-coret berbagai gambar di atas putihnya papan cintaku
Dengan berbagai warna-warni mencolok supaya indah gambarku
Spidol warna hitam adalah kesukaanku sebagai warna kepastian
Terkadang aku teledor saat mengambil penghapus bergagang hitamku
Hingga jatuh ke jurang, sehingga sulit aku mengambil penghapusku
Tuk menghapus corat-coret warna di atas papan tulis cintaku



Manusia Catur

Bidak-bidak catur itu tersistem dalam berbagai langkah
Mencoba melangkah dalan kotak-kotak hitam putih
Bukan karena takut pada lawan sang konseptor itu
Bersembunyi di belakang pion-pion yang terdoktrin
Langkah miring, langkah lurus, dan langkah L
Sang menteri, sang benteng, dan sang kuda hitam
Mecoba menjaga sang Raja dan sang Ratu dari sebuah kudeta
Bagi alur politik rasa dan rasio celoteh sang politikus
Menyingkap tabir kotak hitam dan kotak putih
Bermakna namun tak ingin dimengerti
Demi sejumput ego
Dalam permainan catur duniawi
(Yogyakarta, 31 Januari 2011)


 Arki menggugat iblis

Dialah Arki yang terlahir dari rahim yang suci
Terciprat lumpur kotor iblis ketika berjalan
Bukan isi kepalaku apabila itu bukan ikrar ‘lailahaillallah’
Tak lelah ia yang tampan dan ia yang cantik menggodaku
Tak sadar rupanya itu buruk rupa
Bujuk rayunya mencoba menawarkan aroma duniawi
Setampan daging unta yang nikmat ia coba sajikan dengan kepulan asap neraka
Di hadapku ia yang tujuh ratus tahun menyembah-Nya
Memintaku untuk memyantapnya
Dengan alih Tuhan tak lagi sayang denganku
Terbungkamlah bibirnya yang manis
Dalam altar sajian kenikmatan dunia aku berkata
Tak peduli aku apabila Ia tak cinta padaku
Mencinta berarti tak berhak
Kalau pun aku pencinta sebongkah madu
Maka akan kutenggak juga sang ratu lebah
Meskipun tajamnya sengat menusuk tenggorokanku



Petak umpet cinta

Logika petak umpet cinta itu namanya
Dalam kelam kita menerka-nerka di mana pasangan kita
Terkadang langsung tepat tebakan kita
Terkadang kepala kita terbentur kolong dipan kasur
Tuk mencari-cari pasangan kita
Cuma Tuhan yang tahu di mana pasangan kita sembunyi
Dan cuma Tuhan yang tahu cara membahagiakan kita

Guratan kata ikhlas


Terkadang malam terasa sepi
Guratan kelamnya merasuk ke kartu as di dada
Tak ada arti melihat makna ikhlas dalam sebuah pendopo suci
Semua sama, hanya sebuah panggung air mata tanpa perubahan

Sang joker

 Tersenyum diriku melihat ikan wader
Saling bercanda gurau di air sungai yang keruh
Tertawa pula sang joker melihat tingkah sang cupid
Menuntun sang wader ke air bening
Bak aktivis yang mencoba mengkader dalam pikiran yang pragmatis
Mengangkat sumpah sehati

 Oleh : Arkhi Aninditya
Pegiat Forum “Komunitas Belajar Menulis”
Yogyakarta, 6 Februari 2011

BUNDA

Semerbak bau harum bunga menghiasi tamanku
Kesejukan udara menyentuh kalbuku
Nyanyian dan kicauan burung-burung membuatku terlena
Tuhan begitu besar dan agung ciptaan-Mu

Panasnya terik matahari tak jadi halangan
Bunda, kau terus bekerja tanpa keluh kesah
Senyuman dan keikhlasan kauberikan
Bunda, kau benar-benar wanita luar biasa dalam perjuangan

Bunda pengorbananmu tiada duanya
Kasih sayangmu tiada batasnya
Doamu sungguh terijaba
Ridhomu adalah ridho Tuhan
Murkamu adalah murka Tuhan jua

Bunda meskipun tujuh langit kupersembahkan buatmu
Tapi belum bisa membalas segala perjuangan dan pengorbananmu
Luasnya samudera dunia dan menghamparnya pegunungan
Namun tidak seluas pintu maafmu meski kami melukaimu

Ya Allah, bentangkanlah kasih sayang-Mu untuk bundaku
Hamparkanlah segala keberkahan-Mu untuk bundaku
Sebarkanlah cahaya-Mu untuk bundaku
Indahkanlah akhlaq dan aqidah bundaku


Bunda
Rangkaian dzikir kau lantunkan
Untaian doa kau bisikan
Dalam doa kau meminta pada Tuhan
Ya Allah, jadikanlah anak-anakku orang yang taat pada-Mu
Ikhlaskanlah mereka dalam membela agama dan bangsa

Bunda cintamu sungguh sejati
Tak seorangpun bisa menandingi ketulusan cintamu
Cintamu menghantarkanku pada arti hidup yang  hakiki
Cinta dan pengorbananmu menjadi azimat langkah hidupku

Bunda dengan apa kuharus membalas segala pengorbananmu?
Bunda dalam letih, menderita, kau coba tersenyum
Bunda dalam kedukaanmu kau pendam dalam-dalam
Kau hanya menangis dikala bercengkerama dengan Tuhanmu

Bunda meski surga kupersembahkan untukmu
Beribu-ribu harumnya kasturi kutebarkan
Indahnya bidadari yang bermata jeli kuberikan
Tapi belum cukup untuk membayar semua pengorbananmu

Bunda semoga engkau adalah wanita pilihan Tuhan
Wanita yang kan menempati surganya dari pintu mana pun
Semoga surga benar-benar berada di bawah telapak kakimu
Semoga anakmu ini dapat menebarkan perintah Tuhan
By Mba Sri
15-16 Januari 2011

Pegiat Forum “Komunitas Belajar Menulis”
Yogyakarta, 6 Februari 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar