Kekejaman Cinta
Ahmad Sahide
Sejak tercatat sebagai mahasiswa pada fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik di salah satu perguruan tinggi ternama di Yogyakarta, Baso, demikian ia disapa oleh teman-temannya, menetapkan pilihanya untuk menjadi seorang aktivis. Yah, seorang aktivis. Mahasiswa yang lebih memilih turun ke jalan melakukan demonstrasi dari pada mengikuti kuliah dari dosen yang terkadang membosankan itu. Walaupun ia sendiri kadang tidak paham mengapa ia harus turun ke jalan menolak kebijakan pemerintah. Yang penting demonstrasi, media meliput kita, masyarakat tahu kalau bendera kita masih berkibar. Itu sudah cukup. Mungkin inilah kata dan maksud terselubug di balik kata idealisme dan perjuangan yang dikoar-koarkan oleh para aktivis itu saat mereka kumpul-kumpul, mereka biasa menyebutnya dengan istilah konsolidasi.
Itulah dunia Baso sejak namanya tercatat sebagai mahasiswa. Dia mengeksploitasi gelar ‘kemahaannya’ untuk mencaci maki presiden. Tahukah anda? Hanya mahasiswa yang berani mendatangi istana dan mengeluarkan kata-kata kotor untuk sang presiden, pencuri, pembohong, penghianat, anak setan, kira-kira seperti itulah kata yang sering terlontar dari mulut sang aktivis untuk presidennya. Hanya mahasiswa yang berani menginjak-injak foto pemimpin negara itu. Biasalah, di hadapan para aktivis, tidak pernah ada dalam sejarah presiden, pejabat yang becus. Apakah doktrin ini supaya mereka punya kerjaan saja? Entahlah. Dekan, rektor, gubernur, bahkan menteri saja tidak berani. Hanya mahasiswa yang berani melakukan itu. hebat kan? Makanya tidak salah ada kata “maha” sebelum kata siswa. Seorang mahasiswa hanya takut kepada dosen, dosen takut kepada dekan, dekan takut pada rektor, rektor takut pada menteri pendidikan, dan menteri takut pada presiden. Tapi sekali lagi, mahasiswa tidak takut pada presiden, kawan.
Bakat Baso sudah nampak sedari awal, ia menjadi aktivis yang senang membaca, berdiskusi. Makanya, waktunya hanya ia habiskan dengan buku-buku, dari forum ke forum. Adapun masuk kuliah hanyalah pengisi waktu luang, sekedar memenuhi permintaan orang tua. Itu saja. Tidak lebih, tidak kurang. Wajahnya pun nampak seperti buku. Siapapun yang melihatnya, akan melihat bahwa hanya tumpukan buku yang ada dalam kepala Baso. Cinta merupakan hal yang tidak ia kenali. Baginya cinta adalah pembodohan. Teman-teman aktivisnya kadang memberinya petuah cinta, “ kawan, aktivis juga manusia, normal. Membutuhkan kehadiran seorang perempuan dalam hidupnya. Tuhan memberimu akal untuk berpikir, itu benar. Tapi ingat, Dia juga memberimu hati supaya kamu berperasaan. Maka saranku, sebagai sobatmu, pekalah sedikit dengan perempuan. Janganlah kau nafikan itu, kawan. Tidak menggunakan pemberian Tuhan itu mubazir. Saya kira kamu tau sendirilah apa hukumnya mubazir dalam agama, kawan.”
Setiap kali baso mendapatkan petuah ini, setiap kali pula ia menjawab, “persetan dengan perasaan, cinta. Asal kamu tau yah, perempuan bagi saya adalah pembodohan. Berpacaran akan membuat kita membuang-buang waktu yang tidak jelas apa manfaatnya. Itu bisa membuat kita menjadi orang bodoh, kawan. Saya beri tau yah, Bung Karno perna berkata bahwa orang besar adalah orang yang mampu melawan hawa nafsunya. Makanya, rajin-rajinlah membaca kawan.” Hardiknya kepada sobatnya itu. Semenjak menjadi mahasiswa, Baso memang berpikir sangat rasional, apa-apa ia hubungkan dengan buku, waktu bermain, nongkrong, pacaran, tidur, dan lain sebagainya. Makanya, tidak salah kalau wajahnya sudah nampak seperti buku bertumpuk-tumpuk. Kelihatan berat sekali ia membawanya. Namun ia menikmatinya.
Di kampusnya, ada beberapa perempuan yang pernah mendekatinya, maklumlah Baso cukup vokal bertanya dan membantah dosen di kelas, ia juga punya pembawaan yang sopan dan sederhana, raut wajah yang menjual, ia sempurnalah ia menjadi manusia, namun ia tidak pernah meresponnya. Seolah ia tidak merasakan sesuatu. Seolah ia tidak merasakan getaran cinta. “Apakah aktivis itu anti cinta?” kalimat inilah yang pernah terlontar dari kalimat perempuan itu. Lagi-lagi Baso tidak merespon semua itu. apapun kata dunia, kalau itu tidak benar baginya, maka ia tidak akan menggubris. Boleh dikata anjing menggonggong, kapilah pun berlalu asalkan tidak digigitnya.
Memasuki semester keempatnya sebagai mahasiswa, Baso sudah muncul sebagai ikon intelektual dari organisasinya, ia sudah mulai ditokohkan dan menjadi kebanggaan bagi benderanya. Namanya pun sudah cukup tenar bagi kalangan akademisi kampus karena tulisan-tulisannya. Tidak heran, seolah haram hukumnya bagi aktivis gerakan lain untuk tidak mengenal namanya. Di internal organisasinya, namanya pun sudah mulai melintasi almamaternya. Intensitas interaksinya dengan teman-teman organisasinya lintas almamater juga sudah mulai terbangun.
Pertengahan tahun ketiganya sebagai aktivis, ia mengikuti training dalam organisasinya yang dikhususkan untuk menjadi pemateri atau pengader. Training ini diikuti oleh tujuh orang peserta, dua orang laki-laki, salah satunya adalah Baso, dan lima orang perempuan, yang direpresentasikan oleh tiga perguruan tinggi. Dari lima orang peserta perempuan, salah satu di antaranya mampu menggetarkan jiwa Baso saat pertama kali melihatnya. Namun hanya ia sendiri yang mampu memahami itu. Rupanya ia punya perasaan juga, hanya saja belum pernah ada perempuan yang mampu menyentuhnya. Lagi-lagi perasaan itu mampu ia rasiokan. Baso adalah seorang ketua dalam organisasinya pada tingkatan universitas, dan menjalin hubungan ‘spesial’ dengan lawan jenis akan menjadi boomerang, sebagaimana yang sudah-sudah. Perasaan itupun terpendam di dalam diri Baso. Ia membohongi diri dan perasaannya sendiri.
Sepulang dari pelatihan itu, kawan, Baso terus memimpikan sosok perempuan itu. perempuan itu cukup tenar juga karena ia mempunyai raut wajah yang cantik. Pembawaannya lembut. Baso mencoba menanyakan sesuatu yang sebenarnya tidak penting. Baso rupanya, diam-diam, mencatat nomor perempuan yang mampu menggetarkan jiwanya itu. Ia mulai jatuh cinta. Ternyata di dalam rasio perlu ada rasa, dan di dalam rasa perlu ada rasio. Itulah keseimbangan hidup, kawan.
Belakangan Baso dapat info kalau perempuan itu ternyata sudah tidak sendiri lagi. Persetan dengan perempuan cantik. Kecantikannya ia gunakan untuk menaklukkan banyak lelaki. Ini teori lama, kawan. “Di dalam rasa perlu ada rasio,” Baso berdialog dengan dirinya sendiri. Ia pun berusaha menjalani hari-harinya sebagai seorang aktivis seolah tidak pernah bertemu dengan perempuan itu. Tidak pernah lagi ia menghubunginya. Bagi Baso, adalah tidak manusiawi bila harus bahagia dengan cintanya di atas luka perasaan orang lain. Itu bukan bagian dari ajaran humanisme yang sering ia koar-koarkan saat melakukan orasi di tengah jalan, ketika melakukan aksi demonstrasi. Itulah mengapa ia memilih untuk tidak mengemis-ngemis cinta dari perempuan itu, tapi ia juga tidak bisa menafikan bahwa seolah perempuan itu telah menempati ruang tersendiri di dalam jiwanya. Dan setiap ia bertemu dengan perempuan itu di forum-forum lintas universitas, perempuan itu terkadang mencuri pandang yang itu dapat dirasakan oleh Baso, menusuk ke dalam jantungnya. Sampai tercabik-cabik dibuatnya. Ia sendiri tidak tahu kenapa. Itulah perasaan yang sulit dijelaskan dengan rasio, karena memang ia terletak di dalam hati, bukan di kepala. Inilah kali pertama Baso merasakan guncangan perasaan. Rasionya tidak mampu menaklukkan itu.
January tahun berikutnya, awal tahun keempatnya sebagai seorang aktivis, Baso diminta menjadi pemandu dalam sebuah pelatihan perekrutan mahasiswa baru oleh organisasinya. Ia tiba di tempat pelatihan tengah malam, diguyur hujan deras, di antar Gondes, teman dekat ideologisnya. Heran, senang, tidak percaya, dan salah tingkah begitu ia memasuki ruang pelatihan, yang sudah dipenuhi oleh banyak kader-kader yang megikuti acara pembukaan, dan melihat bahwa perempuan itu ternyata partnernya menjadi pemandu dalam pelatihan ini. Setelah acara pelatihan selesai, perempuan itu semakin sering mengirim sms kepada dirinya, Baso membaca bahwa itu adalah perasaan. Baso juga sudah dapat info lanjutan bahwa perempuan itu baru saja putus dengan pacarnya.
Kenapa ia putus? Itu bukan urusan Baso. Urusan Baso adalah bahwa ia memiliki perasaan yang sudah lama terbendung dengan perasaan itu. Dan kini perasaan itu bersemi kembali. Komunikasi yang mereka berdua jalin pun sangat intens dan dekat melalui handphone, tapi gugup ketika bertemu langsung. Baso juga heran, mengapa ia tidak bisa mengendalikan diri saat bertemu dengan perempuan itu. Denyut jantungnya semakin kencang. Pada hal ia tidak pernah gugup ketika berbicara di depan forum, berapapun dan siapapun yang menjadi pesertanya. Berbeda ketika ia hadir di depan perempuan itu, jangankan bicara, berdiri tegak saja sulit. Baso mulai menemukan bahwa inilah the power of love. Rasionya tidak mampu menghilangkan itu.
Hampir setahun lamanya mereka berdua menjadi teman dekat, dekat tapi ada jarak. Dan jarak itu adalah perasaan. Namun Baso tidak mampu mengugkapkan perasaannya. Baso sering berdalih, bila didesak oleh kawan-kawannya untuk mengungkapkan perasaannya, bahwa perasaan tidak harus diugkapkan dengan lisan, yang terpenting adalah sikap. Dan baginya, ia sudah megungkapkannya dengan sikap. Itulah Baso, yang mampu berkoar-koar dalam diskusi apapun, tapi tidak mampu mengungkapkan perasaannya secara langsung kepada perempuan itu. Itulah keajaiban cinta, kawan.
Pegiat forum “Komunitas Belajar Menulis”
Yogyakarta, 12 Januari 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar