Kekuasaan; Logika Yang Mengusik Nurani Rakyat
Ahmad Sahide
Pada awal tahun 2011 ini, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Andalas, Saldi Isra, menulis opini di harian Kompas (Jum’at, 7/01/11) dengan judul “Tamparan Awal Tahun”. Tulisan ahli hukum tata negara ini merespon berita kepergian Gayus HP Tambunan, terdakwa kasus mafia hukum, ke Singapura yang diketahui dari surat pembaca di koran yang sama. Sebagai warga negara Indonesia yang memerhatiakn pertunjukan para elit, tentu kita sulit untuk tersenyum bahagia. Mengapa tidak, tahun 2010 ditutup dengan banyak catatan buruk kebangsaan, termasuk kasus Gayus. Lalu memasuki awal tahun 2011 dengan berita yang tidak sedap di telinga seputar penegakan hukum, dan dinamika politik kita. Wajar kemudian jika Saldi Isra melihat bahwa berita kepergian Gayus ke luar negeri ini adalah tamparan. Sangat memalukan dan menjijikkan bagi Indonesia. Ditambah lagi setelah diketahui bahwa paspor Gayus senilai 900 milyar rupiah (Kompas, 12/01/11).
Mengikuti perkembangan berita terkait dengan kehebohan yang selalu ditonton dari kehidupan Gayus, misteri demi misteri yang terkuak, kita bisa melihat betapa royalnya mantan pegawai Direktoral Pajak ini. Ia begitu enteng menghambur-hamburkan uang demi melanglang buana ke mana-mana sekalipun ia berstatus sebagai tahanan. Uang senilai 900 milyar rela ia keluarkan hanya sebuah paspor. Tentu ini sangat aneh dan sulit diterima dengan akal sehat. Indonesia macam apa ini? Perubahan macam apa yang dulu dijanjikan oleh SBY dalam kampanyenya? Inikah yang akan di’lanjutkan’nya dalam periode kedua masa jabatannya ini? Sebagai warga negara Indonesia, penulis tidak berharap banyak lagi dengan SBY untuk menuntaskan kasus-kasus yang ada. Yang penulis harapkan adalah percepatan perjalanan waktu sehingga SBY bisa segera dihentikan. Itu saja.
Tamparan kedua
Sampai hari ini penulis belum membaca lagi opini dari Guru Besar Andalas itu. Padahal, sebenarnya penulis menunggu ia mengomentari pelantikan Jefferson Rumajar sebagai Wali Kota Tomohon, Sulawesi Utara, pada hari Jumat, 7 Januari 2011, di kantor Kementerian Dalam Negeri Jakarta. Bila ia, Saldi Isra, melihat bahwa berita kepergian Gayus ke luar negeri adalah tamparan di awal tahun, maka penulis melihat bahwa pelantikan Jefferson sebagai Wali Kota yang kini berstatus sebagai terdakwa dan berada di Lembaga Pemasyarakat Cipinang, Jakarta, sebagai tamparan kedua di awal tahun ini. Penulis sulit memahami logika para elit kita sehingga ada orang yang berstatus sebagai tersangka kasus korupsi bisa dilantik sebagai pejabat. Terlepas tidak ada aturan hukum yang melarang pelantikan itu, tetap saja berita ini aneh kedengarannya di masyarakat kita. Sulit diterima dengan akal sehat sehebat apapun pemerintah berteori hukum membelanya. Inilah logika hukum kita yang tidak berperikemanusiaan. Orang yang bermasalah, terkdakwa kasus korupsi bisa dilantik menjadi pejabat daerah.
Pertanyaan selanjutnya adalah dapatkah orang yang bermasalah itu menyelesaikan masalah setelah duduk di kursi kekuasaannya? Kepercayaan politik penulis adalah bahwa jika seseorang yang meraih kekuasaan dengan cara-cara yang tidak bersih, jujur, alias ia duduk di tahta kekuasaan dengan menempuh banyak masalah maka ia tidak akan bisa menjadi pemimpin yang menyelesaikan masalah. Ia hanya akan menjadi pemimpin yang akan ‘memusiumkan’ masalah yang ada, bahkan banyak fakta yang kita lihat menjadi pemimpin yang melahirkan masalah dari waktu ke waktu. Inilah yang terjadi di negeri kita. Karena kultur politik kita adalah kultur yang proses-prosesnya banyak bermasalah, maka tidak ada masalah yang dapat diselesaikan oleh pemerintah kita dari tahun ke tahun. Maka wajar jika kasus Gayus masih menjadi berita yang menyanyat hati rakyat di awal tahun, kasus Lapindo belum juga terselesaikan, Bank Century entah seperti apa penyelesainnya. Dan masih banyak lagi kasus-kasus lainnya yang tidak terselesaikan, melainkan ia hanya dikubur dalam-dalam oleh para penguasa sehingga bau busuknya tidak mengganggu roda pemerintahan.
Kasus pelantikan Jefferson tentu penting untuk diabadikan sebagai dokumen sejarah kita. Ia akan menjadi bukti betapa anehnya logika para elit kita dalam menjalankan roda pemerintahan. Roda pemerintahan yang dijalankan dengan menghamba pada rasio, tetapi meninggalkan nurani. Hasilnya, banyak kasus-kasus di negeri ini yang melukai hati nurani publik. Inilah era politik kita yang minus hati nurani. Hemat penulis, janganlah berharap banhyak perubahan saat ini, tapi berharaplah sehingga roda perputaran semakin dipercepat Tuhan, sehingga era keanehan ini cepat berlalu.
Pegiat forum “Komunitas Belajar Menulis”
Yogyakarta, 12 Januari 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar