Senin, 31 Januari 2011

23 Januari 2011. Komunitas Belajar Menulis


Politik Meminggirkan Budaya
Darwin
            Lontaran-lontaran politik dari kalangan elit kita yang duduk di lingkaran kekuasaan belakangan ini terkait siapa yang pantas menjadi orang nomor satu di negeri ini pada tahun 2014, semakin mengukuhkan politik sebagai hal terpenting dalam wacana pemberitaan di media massa kita. Setiap hari kita selalu dijejali oleh berita-berita politik di media massa kita. Hilang berita satu, muncul berita lainnya, begitu terus menerus setiap harinya. Hal ini memang sudah menjadi paradigma umum di tengah-tengah masyarakat kita, bahwa, berita politik sangat penting dibanding berita-berita terkait perkembangan dunia seni atau budaya, misalnya.
Padahal, dunia politik yang dikonsumsi di berbagai media tidak jauh-jauh dari ajang intrik di antara para politikus, karena yang dikedepankan adalah politik pragamatis, bukan politik yang mengakomodir kepentingan masyarakat yang, hari ini menjadi subordinat politik. Masyarakat kita sangat merindukan perhatian lebih dari para aktor-aktor politik kita di lembaga eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.
            Media massa Tanah Air sebagai pilar demokrasi yang keempat setelah lembaga-lembaga di atas menjadi kunci dari semua ini. Media massa seperti televisi, radio, surat kabar, majalah dan internet yang dikonsumsi oleh masyarakat setiap harinya dengan porsi pemberitaan politik yang dominan dari berita bidang lain yang tidak kalah penting, terutama seni dan budaya yang mulai “asing” di telinga masyarakat kita, menjadi elemen penting dalam kaitannya dengan kehidupan masyarakat. Wacana media mau tidak mau turut membentuk pola pikir masyarakat kita. Apa yang diberitakan media massa, itulah yang menjadi pegangan masyarakat dalam melihat realitas. Bertumpunya masyarakat pada media massa dalam konteks ini karena sifat media massa yang mempunyai daya jangkau (pengaruh) yang begitu luas (massal), dibanding, media kelompok atau media antar pribadi.
            Media massa kita cenderung memberitakan hal yang berbau politik, meskipun berita tersebut sebenarnya sangat erat dengan budaya. Misalnya, ketika seorang Presiden membuka pentas seni, pasti yang diberitakan terkait dengan wacana perpolitikan di seputar Presiden tersebut, atau sering kali yang dikutip adalah perkataan Presiden tersebut ketika ia memberikan sambutan. Memang dalam dunia jurnalistik ada yang dinamakan prominence, yang berarti “orang terkemuka”. Jadi, perkataan orang terkenal seperti Presiden di atas menjadi lebih menarik bagi media massa daripada pentas seni yang dibuka.
Pentingnya dunia seni dan budaya bagi masyarakat Indonesia sudah tidak bisa diragukan lagi. Seni sastra misalnya, ikut mempengaruhi pola pikir dan tindak tanduk masyarakat selama ini. Dan yang paling penting adalah persinggungannya dengan kekuasaan yang tidak mengakomodir keinginan masyarakat. Seni sastra bisa menjadi alternatif bagi masyarakat menyuarakan kepentingannya karena sulitnya berharap kepada lembaga pemerintahan. Di sinilah dunia sastra bermain, tentunya kita tidak menafikan pentingnya seni lainnya, seperti seni rupa, musik, dan tari. Intinya kolaborasi dunia seni dan budaya sekaligus merupakan pembimbing bagi masyarakat selain agama, karena dari dunia seni dan budaya banyak nilai-nilai penuntun hidup yang bisa diambil.
Pengaruh dunia sastra bagi masyarakat atau suatu rezim pemerintahan bisa dilacak, misalnya, di zaman kolonial dahulu ada Novel Max Havelar karya Multatuli yang mengkritik kesewenang-wenangan pemerintah kolonial Belanda. Novel ini berhasil “menampar” wajah pemerintah kolonial Belanda dan menjadi alternatif perlawanan bagi masyarakat pribumi ketika itu. Begitu juga di zaman Rezim Orde Baru ada Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer yang dilarang beredar. Pemerintahan Orde Baru “ketakutan” dengan karya ini karena dinilai bisa mengancam ideologi pemerintah ketika itu.
Budaya-budaya tradisional yang beragam dari berbagai penjuru Tanah Air juga seharusnya mulai diapresiasi oleh pemerintah dan media massa kita. Banyak aspek dari budaya yang bisa dikedepankan dan menjadi pedoman masyarakat kita dalam melangkah, tentunya demi kemajuan Bangsa Indonesia juga. Serat-serat yang bertebaran di Pulau Jawa dan tombo (sastra lisan, yang sekarang mulai dibukukan) di berbagai tempat di Sumatera atau Sulawesi, misalnya, akan bisa menjauhkan masyarakat dari gempuran budaya global. Sebagaimana kita ketahui, pesan-pesan yang disampaikan dalam Serat dan tombo sangat rigid dan penuh dengan nilai-nilai tradisional. Misalnya, terkait dengan kebersamaan, ramah tamah, ataupun nilai-nilai terkait dengan ajaran hidup lainnya, yang sulit kita jumpai pada zaman serba modern sekarang ini.
Jadi, kita menginginkan wacana seputar seni dan budaya mampir kembali ke dalam kehidupan masyarakat melalui media massa. Politik itu penting, tapi harus diselingi dengan wacana-wacana seni budaya agar masyarakat kita bisa jernih dalam melihat persoalan. Dengan perhatian lebih dari pihak media massa dan berbagai pihak terkait terhadap seni dan budaya, maka diharapkan perjalanan bangsa ini akan stabil, tidak ada lagi para elit kita yang “menjual” negara demi kepentingan pribadi, dan masyarakat kita akan tertata kerena dipandu oleh nilai-nilai budaya. Jika semua ini bisa diimplementasikan, Bangsa Indonesia yang damai, adil dan sejahtera niscaya akan terwujud.
Pegiat Forum “Komunitas Belajar Menulis”
Yogyakarta, 22-23 Januari 2011

Keterpurukan Indonesia Dalam Kungkungan IMF
Satris

Pada dasarnya negara-negara yang ada di dunia, khusus lagi di Dunia Islam adalah negara-negara yang kaya akan potensi alam. Dengan potensi alam yang dimiliki, negara-negara ini mampu menjadi negara yang mempersembahkan sebuah konsep kemakmuran terhadap masyarakatnya. Salah satu negara yang kaya akan potensi sumber daya alamnya adalah negara Indonesia. Indonesia merupakan negara yang kaya akan potensi sumber daya alam, mulai dari sumber daya alam migas maupun non migas. Sember daya alam yang dimiliki oleh Indonesia tentunya juga ditunjang dengan letak wilayah dan luas wilayah yang dimiliki. Namun kekayaan sumber daya alam tersebut belum mampu membawa rakyatnya menuju kesejahteraan dan kemakmuran seperti yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar Bangsa Indonesia, yakni memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Kesejahteraan dan kemakmuran sebagaimana yang dicita-citakan oleh negara hanya bagian dari konsep yang tidak mampu diaplikasikan lewat tindakan yang riil. Kemiskinan, pengangguran, kelaparan masih saja menghantui rakyat Indonesia. Padahal kembali kepermasalahan tadi bahwa Indonesia merupakan negara yang kaya akan potensi alam. Coba kita lihat, potensi alam yang dimiliki oleh negara Indonesia yang terbentang dari Sabang sampai Marauke cukup luar biasa. Di Papua dan Sulawesi terdapat tambang emas, di Jawa terdapat tambang minyak, di Sumatra terdapat tambang minyak dan masih banyak lagi tambang-tambang alam yang dimiliki oleh Bangsa Indonesia beserta kekayaan alam lainnya. Ada ironi di sini, di satu sisi Indonesia kaya akan potensi alam, tetapi di sisi lain, masih terdapat pengangguran, kemiskinan, dan kelaparan. Muncul sebuah pertanyaan, mengapa Bangsa Indonesia mengalami keterpurukan di tengah potensi alam yang dimiliki? Apakah keterpurukan bangsa Indonesia itu karena tindakan masyarakat itu sendiri dalam artian tidak mau berusaha atau rakyat sengaja dimiskinkan oleh sebuah rezim?
Ketika kita kembali sejenak membuka ulasan sejarah, maka tentunya kita akan mendapatkan sebuah jawaban dari pertanyaan-pertanyaan ini. Salah satunya yang menjadikan bangsa Indonesia terpuruk adalah terjadinya krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997/1998 yang merupakan malapetaka bagi bangsa Indonesia. Selain itu, faktor korupsi oleh kalangan elit yang tidak berperikemanusiaan yang haus akan kekuasaan juga menjadi bagian dari pemicu keterpurukan bangsa sekalipun sebelumnya sudah ada tanda-tanda keterpurukan di saat Orde Baru. Tapi, di sini penulis akan membahas keterpurukan Bangsa Indonesia dilihat dari proses krisis ekonomi 1997/1998. Di saat krisis 1997/1998 terjadi, krisis ini tidak hanya menyebabkan semakin terpuruknya kondisi perekonomian Bangsa Indonesia, tetapi juga proses pemulihannya pun ternyata berlarut-larut. Bila kita lihat ke belakang, krisis ekonomi yang menyebabkan porak-porandanya fondasi ekonomi, bukanlah sebuah peristiwa yang terjadi dengan cara berdiri sendiri, tetapi ini telah berlangsung secara bersamaan dengan krisis yang terjadi di Asia Tenggara dan Asia Timur lainnya. Tentunya reaksi masing-masing negara dalam menyikapi hal tersebut berbeda-beda.
Akibat dari krisis ekonomi tersebut, muncullah sebuah rezim internasional menawarkan sebuah solusi, yang pada akhirnya menjelma sebagai seekor buaya yang setiap saat akan memakan mangsanya bagi bangsa-bangsa yang mengalami krisis yang sangat parah. Rezim Internasional ini diberi nama International Monetery Fund (IMF). Dan pada akhirnya, IMF lah yang menjadi dalang dari semua keterpurukan yang terjadi di Indonesia. Pertanyaannya adalah, mengapa negara-negara donor seperti IMF mau memberikan pinjaman terhadap negara-negara berkembang? Inilah berbagai pertanyaan yang coba penulis jawab!
Menurut Basri dan Subri (2003), ada dua hal yang memotivasi mengalirnya bantuan luar negeri ke negara-negara berkembang, yaitu motivasi politik dan motivasi ekonomi. Motif Amerika Serikat memberikan dana untuk merekonstruksi kembali perekonomian Eropa Barat yang hancur pada Perang Dunia II termasuk kategori yang pertama. Sedangkan Motif ekonomi sangat bervariasi. Sebetulnya kalau utang luar negeri tersebut dipakai untuk tujuan produktif menurut teori bisa memberikan hasil positif, sebab bunga pinjaman dari lembaga-lembaga keuangan internasional tersebut sangat rendah. Namun persoalan yang ada IMF tidak menjadi sebuah lembaga yang memberikan bantuan dengan cara dan bermotif produktif tetapi lebih didominasioleh motif politik dan ekonomi. Adapun cara kontrak IMF yaitu memberikan pinjaman terhadap negara-negara berkembang melalui program penyesuaian struktural (SAP= Structural Adjusment Program) yang merupakan kendaraan utama bagi program liberalisasi pasar yang diberlakukan untuk seluruh perekonomian dunia ke-3. Adapun program SAP yang diterapkan mencakup beberapa hal berikut ini:
  1. Mengurangi secara drastis pengeluaran pemerintah dalam bidang kesehatan, pendidikan dan kesejahteraan rakyat.
  2. Privatisasi dan deregulasi BUMN
  3. Devaluasi mata uang
  4. Liberalisasi impor dan menghilangkan segala hambatan bagi masuknya investasi asing.
  5. Memotong atau menekan tingkat upah dan menghapuskan atau melemahkan segala bentuk mekanisme terhadap perlindungan buruh.
Sejak akhir 1980-an, program penyesuaian struktural berikut terapi kejut yang menyertainya, menjadi persyaratan umum bagi negara-negara selatan dimana sekitar lebih dari 70 negara selatan tunduk kepada program-program IMF dan Bank Dunia tersebut. Inilah beberapa program yang dijalankan oleh IMF dalam menguasai perekonomian global.


Daftar Pustaka

Danaher, Kevin. 2005. 10 Alasan bubarkan IMF dan Bank Dunia, Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas.
Perkins, John. 2009. Membongkar kejahatan Internasional, Jakarta Selatan: Ufuk Press.
Daliernov. 2006. Ekonomi Politik, Jakarta: Erlangga
Baswir, Revrisond. 2006. Mafia Berkeley, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.



Pegiat forum “Komunitas Belajar Menulis”
Yogyakarta, 23 Januari 2011



Kasta”
Kehidupanku begitu susah
Berbagai halangan telah kulewati, untuk mengubah
Tapi tak ada kepastian kapan akan berubah
Mungkin karena aku dilahirkan dari kasta semut merah
Aku selalu berdo’a tanpa henti-hentinya
Semoga, kelak aku akan hidup bahagia
Jika hidup adalah pilihan
Maka akan aku ucapkan, selamat tinggal kemiskinan
Dalam lamunan aku membayangkan
Bahagianya menjadi seorang juragan
Tuhan berilah kesempatan
Untuk jadi seorang juragan, juragan yang dermawan

Karya : Supangat
14 Januari 2011


Pegiat forum “Komunitas Belajar Menulis”
Yogyakarta, 23 Januari 2011





Perahu”
Dalam benakku berkata
Kau begitu sempurna
Tak tahu sudah berapa lamanya
Kita selalu bersama, dalam suka maupun duka
Kau yang teramatsangat setia
Musti hudup apa adanya
Kehadiranmu membawa sejuta makna
Karenamu aku disebut Nakhoda
Dalam kesedihan, aku bercerita
Aku yang taktahu harus berbuat apa
Karena dirimu kini telah tiada
Tanpa mu aku tak bisa, mengarungi luasnya samudra
Tapi kini yang tersisa, hanyalah tinggal cerita
Cerita suka duka, menjadi seorang nakhoda
Karya : Supangat
14 Januari 2011


Pegiat forum “Komunitas Belajar Menulis”
Yogyakarta, 23 Januari 2011




Kemarau”
Sejauh mata memandang
Hanya ada ladang gersang
Kedatanganmu yang bersamaan
Menjawab semua impian
Kau datang secara tiba-tiba
Tanpa kau bawa bencana
Membuat semua ketawa bahagia
Terucap satu kata, selamat tinggal derita
Aku yang hanya bisa tersenyum
Melihat kakek makan bubur sumsum
Jangan kau tanya mengapa
Karena giginya termakan usia
Karya : Supangat
14 Januari 2011

Pegiat forum “Komunitas Belajar Menulis”
Yogyakarta, 23 Januari 2011







Merapi”
Sosokmu yang begitu megah
Kecantikanmu merupakan suatu anugrah
Kehadiranmu membuat suasana hidup lebih indah
Kehangatan tubuhmu membuat semuanya punah
Raunganmu menggetarkan hati dan jiwaku
Aroma tubuhmu menebarkan berita lelayu
Kau mencoba untuk alihkan pandanganku
Aku hanya bisa terpaku melihat tingkahmu
Kau yang begitu aku kagumi
Tanpa aku sadari kaulah pembuat mumi
Sudahilah aktifitasmu wahai merapi

Karya : Supangat.
Yogyakarta 10 Januari 2011

Pegiat forum “Komunitas Belajar Menulis”
Yogyakarta, 23 Januari 2011



KINERJA PENEGAK HUKUM SEDANG DIUJI
Supangat

Dari tahun-ketahun semenjak rezim Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berkuasa, begitu banyak hal yang terjadi dan membuat kita miris, satu di antaranya dalam bidang hukum. Jika kita berbicara kasus hukum, maka yang menarik dan populer tidak lain adalah kasus mafia pajak. Sebagaimana yang diketahuai oleh kita semua pameran utamanya adalah Gayus Tambunan. Jika dilihat dari semenjak bergulirnya kasus Gayus ke media baik media massa maupun elektronik, maka bisa dikatakan terjadi penurunan nilai dalam pemerintahan SBY ini. Masarakat menilai, yang mana pada awal-awal mencuatnya kasus mafia pajak mencapai nilai 10 (sepuluh), tetapi sesuai dengan berjalannya waktu dan berbagai kejadian mengenai kasus mafia pajak tersebut, nilai untuk pemerintahan SBY berkurang menjadi empat atau lima saja.
Sebenarnya sosok Gayus hanyalah kambing hitam dari skenario besar yang dimainkan oleh orang-orang yang ingin mengamankan posisinya. Hal itu dikarenakan masyarakat sudah bisa melihat dalam proses penegakkan hukum mafia pajak yang sudah dicampuri berbagai kepentingan, baik politik, maupun individu dan kelompok. Sebagaimana berbagai statemen telah dikemukakan oleh Gayus dalam Harian Kompas edisi Selasa 4 Januari 2011, ibarat ikan, Gayus bisa digambarkan sebagai ikan teri, sedangkan ada ikan yang lebih besar yaitu ikan hiu. Mengapa mesti yang ditangkap ikan terinya? Mengapa ikan hiu dilepaskan bebas begitu saja? Sebenarnya ada apa dengan penegak hukum di Indonesia? Mengapa para penegak hukum hanya dapat menangkap dan mengadili orang yang “lemah” (tidak memiliki jabatan tinggi)?
Menanggapi berbagai hal tersebut tentunya penulis tidak hanya sekadar mengumbar omongan saja yang tidak berdasar pada berbagai aturan-aturan hukum yang ada. Tentunya jika kita lihat aturan hukum yang mengatur tentang tindak pidana korupsi terdapat dalam UU No. 31 tahun 1999 jo UU No. 20 tahun 2001. Jika memang benar Gayus mengatakan sebagaimana yang dia katakan pada Kompas hari selasa 4 Januari 2011 tersebut, yang mana ia mengatakan, ada beberapa orang yang terlibat yaitu: Bambang Heru Ismiarso sebagi mantan Direktur Keberatan dan Banding Dirjen Pajak, pejabat Mabespolri Edmond Ilyas, Raja Rizman dll, dari Kejaksaan Agung ada Cirus Sinaga, Fadil Regan dll. Mengapa mereka ini tidak diproses? Seharusnya lembaga penegak hukum harus bertindak cepat dalam memproses tantang keterlibatan berbagai nama-nama yang disebut-sebut oleh Gayus tersebut. Titik poinnya adalah, jangan hanya sebagian nama saja yang diperiksa, tetapi semua nama yang Gayus sebutkan juga harus diperoses.
Menanggapi tentang putusan atau vonis dari Pengadilan Jakarta Selatan pada tanggal 19 Januari 2011 yang memvonis Gayus Tambunan dengan hukuman pidana penjara selama tujuh tahun dan membayar denda 300 juta rupiah. Menurut hemat penulis, terkait hal ini dapat dilihat dari berbagai aspek dan sudut pandang. Jika dilihat dari aspek hukum pidananya maka hakim tidak laagi memutuskan atau memvonis perkara dengan melihat kepentingan umum. Akan tetapi hakim memutus perkara dengan melihat kepentingan pribadi (kelompok). Kemudian jika dilihat dari dinamika politik yang ikut berperan aktif dalam kasus mafia pajak tersebut, maka hakim sudah teramat sangat adil dikarenakan hakim tidak terpengaruh dengan isu-isu yang selalu bergejolak ikut meramaikan dan bahkan mungkin ikut andil dalam proses penyidikan mafia pajak tersebut.
Dari sinilah penulis menanggapi bahwa sebenarnya ada beberapa oknum yang terlibat dalam korupsi yang lebih besar dari pada Gayus, akan tetapi tidak ada proses hukumnya. Apakah jika seperti itu sikap yang diambil oleh para penegak hukum sudah pantas? Dan apakah hukum sudah berlaku adil dan bisa dikatakan sebagai alat untuk mencari keadilan oleh masyarakat, sedangkan proses yang dilaluinya saja semua sudah menggunakan skenario yang dibuat oleh para penyidik? Maka dari situ, penulis menarik kesimpulan bahwa sesungguhnya kinerja penegak hukum sedang “diuji”.
Diuji di sini memiliki arti, bahwa ternyata tidak semua aparat penegak hukum itu semuanya dapat dikendalikan oleh politik. Akan tetapi masih ada dan masih dapat konsekwen dalam menjalankan tugasnya mesti prosesnya dimasuki oleh berbagai nuansa politik. Sehingga seolah-olah membuat masyarakat terkena tipu daya, bahwa Gayus adalah pantas di jatuhi hukuman mati. Padahal sebenarnya Gayus hanya mengikuti alur cerita yang dibuat oleh penyidik. Dan penulis mengira bukan hanya Gayus saja yang mendapat paksaan dari penyidik, untuk mengikuti alur cerita yang dibuat oleh penyidik dengan iming-iming prosesnya akan dipermudah. Jika benar demikian maka tidak menutup kemungkinan banyak orang yang kemudian masuk penjara karena dipaksa, untuk mengikuti alur yang dibuat oleh penyidik.
Sehingga jika melihat berbagai pemaparan di atas, maka tidak menutup kemungkinan jika penegakan hukum di Indonesia dianggap diskriminatif (ketidakkeseimbangan antara si kaya dan si miskin). Sudah tidak ada lagi azas equality before the law (semua manusia sama kedudukannya di hadapan hukum). Akan tetapi jika kita cermati mengenai putusan hakim yang dilakukan oleh hakim yang mengadili kasus Gayus tersebut maka disitu tidak ada lagi penegakan hukum yang diskrimiatif. Karena sebenarnya ada seorang yang dengan sengaja menggunakan momen tersebut sebagai ajang barter politik. Akan tapi jika demi kepentingan umum maka vonis atau putusan yang diberikan oleh hakim yang hanya 7 tahun penjara dan disuruh membayar denda sebesar 300 juta maka sangat sangat tidak sesuai (diskriminatif).
Jika dibandingkan antara Gayus dengan seorang pembantu yang hanya mencuri piring saja dikenakan 3 (tiga) tahun, yang mana deliknya sama, yakni sama-sama pidana, sama-sama melanggar dan sama-sama melakukan perbuatan untuk memperkaya atau menguntungkan dirinya sendiri. Apakah memang sudah begitu prosedur yang harus dilalui dalam penyidikan di negara Indonesia. Dari situlah penulis mengemukakan bahwa jika Indonesia ingin melakukan perubahan jangan hanya secara struktural saja, akan tetapi rubahlah dari sistem pendidikannya. Karena pendidikanlah yang membentuk dan menentukan karakter semua orang.
Maka dari situlah Indonesia sangat tidak mungkin menjadi negara yang bersih dari Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN). Sebagai mana yang menjadi selogan para pejabat yang mengumbar bualan pada saat kampanye ketika mau mencalonkan dirinya. Hal itu dikarenakan beberapa faktor di antaranya: untuk menjadi PNS (Pegawai Negri Sipil) saja harus merogoh kocek yang tidak sedikit tentunya. Apalagi untuk menjadi seorang pejabat yang lebih dari sekadar PNS. Sudah pasti mau tidak mau musti kebobolan kantong yang kita keluarkan untuk meraih sesuai dengan apa yang menjadi tujuannya. Dari situ kemudian penulis mencoba memaparkan bahwa janji-janji untuk menyelenggarakan pemerintahan yang bersih tidak akan terwujud.
  
Yogyakarta, Sabtu, 22 Januari 2011


Pegiat forum “Komunitas Belajar Menulis”
Yogyakarta, 23 Januari 2011



SESALKU”
Kecantikan hatimu, laksana peri
Demi aku melihat dunia ini
Kau rela taruhkan semuanya
Jangankan cuma harta, nyawa pun kau taruhkan
Tapi lihat, apa yang telah aku lakukan?
Aku selalu menentang kata-katamu
Aku yang tak pernah peduli tentangmu
Semakin aku jauh darimu, semakin liar tingkahku
Semakin kusadari, kau sungguh berarti untukku
Aku yang tidak tahu, kemana lagi kucari dirimu
Ibu,,,,,,,,
Kaulah pahlawanku
Kaulah hidup dan matiku
Kaulah segalanya bagiku
Maafkanlah anakmu oh,,,,,, Ibu,,,.

Karya : Supangat
Minggu 23 Januari 2011

Pegiat forum “Komunitas Belajar Menulis”
Yogyakarta, 23 Januari 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar