Sabtu, 22 Januari 2011

16 Januari 2011 Komunitas Belajar Menulis



‘Soal-Soal Cinta’
Ahmad Sahide

Kata orang, cinta adalah pengorbanan
Cinta adalah perjuangan
Cinta adalah kerelaan
Yang bisa membawa kita terbang tinggi menggapai kebahagiaan
Sebab cinta sejati adalah kebahagiaan dan ketenangan batin itu sendiri
Itulah yang diajarkan oleh Ismail as.
Orang-orang menyebutnya aneh
Ia difitnah dan dikata-katai gila
Tapi bila Anda tahu, di sanalah letaknya cinta
Cinta yang terletak pada keanehan dan kegilaan itu
Maka aku tak peduli bila kau mencaciku dan memanggil-manggilku sebagai orang gila dan aneh, karena itu adalah panggilan cinta

Kini, demi cinta aku berkorban
Aku berjuang untuk mendapatkan cintamu yang kau letakkan tinggi di atas awan
Membuatku sulit menggapainya
Menembus ketebalan kabut
Melalui arus tiupan angin yang kencang

Lelah rasanya kumenjawab soal-soal kehidupan cinta yang tak kunjung usai
Hanya kesabaran dan kerelaan yang membuatku masih bisa bertahan
Aku sendiri tak tahu apakah nantinya akan lulus ujian atau tercampakkan sebagai orang yang terbuang
Namun, demi kesejatian cinta. Aku rela terlempar dan tercampakkan
Biarlah orang-orang menyebutku gila dan aneh
Biarlah aku terhina karenanya

Kadang kau memberi harapan dan sayap-sayap untuk bisa terbang tinggi
Menggapai cintamu yang kau letakkan tinggi di atas awan sana
Tapi setelah itu kau memberi soal-soal yang semakin sulit untuk kujawab dan kuterka
Teka-teki yang tak mampu kupahami
Peta jalan cinta yang tak kumengerti petunjuknya

Kini aku pasrah bila harus tercampakkan
Atau suatu saat nanti menyerah menghadapi soal-soal yang sulit dan tak kupahami ini
Semoga cinta yang kau letakkan tinggi di atas sana karena kemuliaan dan kesuciannya yang terjaga dari noda-noda
Bukan karena dibungkus oleh ego diri dan gengsi
Kuberharap kesucian cinta tidak dinodai oleh ego dan gengsi
(Yogyakarta, 21 Januari 2011)


Pegiat forum “Komunitas Belajar Menulis”
Yogyakarta, 16 Januari 2011


Asa baru
 Azka Nahru Fazanu
 
Bunyi putaran fan itu monoton, datar, sehingga lengang. Namun, tak sedikitpun mengusik ketenangan jiwa yang ditinggal kelana ruhnya. Gaungnya memang tak selembut dentuman Meriam London yang menghancurkan setan-setan garang di ujung kota Manchater. Sehingga ruhnya pun merasakan kebebasan untuk melukis bayangan terakhir ditahunnya yang ke-19 setelah sekian menjadi penengadah segala keagungan Tuhan Ar-Rahman.
Matanya terpejam untuk sekedar memberi celah bagi ruh untuk berinteraksi dengan alamnya yang nyata. Ditengah malam yang merajut benang merah waktu fajar, mata itu terbelalak oleh sebuah untaian kata penuh makna penciptaan dan pelenyapannya.
Hari ini adalah masamu,
Awal jiwamu hidup,
Awal kesucian,
Terkadang memudar.
Tak harus meniup lilin,
Karena tak beda dengan mematikan kehidupan.
Teruslah hidup,
Untuk menyanyikan kidung-kidung malam kepada Tuhan.
Asa barunya tersambut oleh silir kata seorang hamba diluar sana yang berada tak jauh dari tempat hamba itu bermunajat. Wangi kata itu menegakkan, pun menguatkan tulang belakangnya untuk mengarungi dimensi yang pula baru selama kurun hayatnya. Dan dengan bahtera yang telah dibangunnya, ia pun mulai memunguti serpihan cahaya demi cahaya yang hanyut di lembah suci itu.

Pegiat forum “Komunitas Belajar Menulis”
Yogyakarta, 16 Januari 2011


Evaluasi untuk Kota Pelajar
Oleh Darwin
          Yogyakarta berstatus ‘Kota Pelajar’. Apa betul? Betul, jika kita melihat ratusan kampus yang bercokol di Kota Yogyakarta dengan berbagai kelebihan dan kekurangannya. Betul juga jika kita melihat antusiasme pelajar dari luar DIY yang berbondong-bondong datang ke Yogyakarta. Selain itu, referensi buku yang bervarian yang tersedia di toko-toko buku di seputaran Yogyakarta juga menjadi penguat status Kota Yogyakarta sebagai Kota Pelajar. Namun, status Kota Pelajar belumlah cukup hanya direpresentasikan oleh tiga hal ini. Masih banyak hal lain yang harus ditambahkan (dievaluasi) agar status Kota Pelajar betul-betul mencerminkan realitas kota ini.
            Pertama, yang harus dievaluasi setelah penulis mengamati di lapangan adalah sulitnya mendapatkan majalah-majalah yang selama ini menjadi bacaan kelompok terpelajar di Kota Yogyakarta. Sebutlah di antaranya majalah Prisma (penulis tidak menafikan bacaan-bacaan penting lainnya) yang fokus pada analisis perkembangan sosial, politik, ekonomi, dan budaya, yang berisi tulisan para intelektual besar di Indonesia maupun luar negeri, seperti: Nurcholish Madjid (dulu), Dawam Rahardjo, Jalaluddin Rahmat, Azyumardi Azra, Robert W. Hefner dan pemikir besar lainnya, diterbitkan oleh LP3ES, Jakarta. Kemudian majalah Horison (Yayasan Indonesia, Jakarta), yang merupakan majalah sastra terkemuka di Tanah Air yang berisi ulasan-ulasan sastra, analisis tokoh sastra dalam dan luar negeri, dan memuat karya-karya sastrawan-sastrawan terkemuka hingga karya para siswa dari berbagai sekolah di seluruh penjuru Indonesia. Majalah-majalah ini sulit ditemukan di kios-kios penjualan surat kabar dan majalah di seluruh Kota Yogyakarta. Jikapun ada di kios-kios, itu pun hanya kita jumpai di kios-kios tertentu saja yang sudah ditunjuk oleh majalah yang bersangkutan sebagai perwakilannya di Kota Yogyakarta yang, tentunya dengan jumlah yang sangat terbatas. Jadi, majalah-majalah ini hanya bisa kita dapatkan di toko-toko buku berskala besar saja di Kota Yogyakarta.
Sulitnya mendapatkan majalah-majalah tersebut di atas membuat budaya membaca masyarakat (kelompok terpelajar) Yogyakarta dan sekitarnya sedikit ‘terganggu’. Masyarakat kita lebih senang tentunya pergi ke kios-kios penjualan majalah dan surat kabar, karena dengan berjalan kaki saja dari tempat tinggal masing-masing bisa dicapai, daripada jauh-jauh ke toko buku. Jika fasilitas untuk membaca tersebut sulit didapatkan, maka akan berpengaruh terhadap kualitas bacaaan, dan variasi bacaan yang diharapkan menjadi sedikit. Berdasarkan pengamatan penulis, kios-kios majalah dan surat kabar di Kota Yogyakarta lebih banyak menyediakan majalah gaya hidup, majalah yang berkaitan dengan dunia entertainment dan sejenisnya daripada majalah yang menunjang dunia intelektual yang seharusnya identik dengan mahasiswa, siswa, guru, dan dosen tersebut.
Sedikit penjelasan pentingnya majalah seperti majalah Prisma dan Horison bagi kelompok terpelajar. Majalah Prisma misalnya, menjadi media adu argumentasi para intelektual kita pada dekade 1980-an dan 1990-an yang membuat dunia intelektual kita tidak menjadi “kering”. Di Kota Yogyakarta muncul pemikir sekelas Kuntowijoyo yang, ulasan-ulasannya di majalah Prisma ikut mempengaruhi wacana keislaman di Tanah Air. Hari ini ulasan-ulasan di majalah ini tetap penting bagi pelajar Kota Yogyakarta karena akan menambah wawasan sekaligus mengajarkan agar berpikir mendalam dan sistematis.
Begitu juga dengan majalah sastra Horison yang selama ini masuk ke sebagian sekolah-sekolah yang ada di seluruh Indonesia. Majalah ini sangat membantu pemahaman siswa dan guru terhadap dunia sastra. Majalah ini akan membantu kekurangan-kekurangan referensi bacaan tentang sastra di sekolah-sekolah. Selain itu, juga akan menutupi kekurangan-kekurangan guru sastra kita. Alangkah lebih baik, jika majalah ini mudah diakses oleh kalangan siswa di kios-kios penjualan majalah dan surat kabar, khususnya Kota Yogyakarta ini. Dengan mudahnya mengakses majalah ini, informasi terkait dunia sastra akan menjadi bervariasi lagi tentunya.
Kedua, kurangnya perpustakaan yang representatif di kota Yogyakarta. Memang sudah ada Perpustakaan Provinsi dan Perpustakaan Kota. Tapi dua perpustakaan ini masih banyak kekurangannya terutama dari segi koleksi buku. Di Perpustakaan Provinsi yang terletak di Jalan Tentara Rakyat Mataram yang terlihat hanya buku-buku tua yang sudah mulai rusak. Penambahan buku-buku baru pun tidak terlalau signifikan. Tidak jauh berbeda dengan Perpustakaan Provinsi, Perpustakaan Kota pun juga jauh dari harapan. Buku-buku terbaru dan berkualitas sulit dijumpai di perpustakaan ini. Namun, ada angin segar sedikit untuk menutupi kekurangan buku-buku berkualitas di Perpustakaan Kota, yaitu penataan ruang yang sedikit nyaman ditambah fasilitas hotspot yang memudahkan pengunjung berselancar di dunia maya.
Perpustakaan yang representatif mutlak harus dipunyai oleh Kota Yogyakarta. Bagaimanapun perpustakaan yang lengkap koleksi bukunya, fasilitas pengunjung yang membuat nyaman dan akses yang mudah untuk mencapai perpustakaan tersebut akan membuat daya tarik bagi masyarakat Kota Yogyakarta dan sekitarnya untuk datang. Di tengah gempuran zaman yang serba instan hari ini, masyarakat Kota Yogyakarta ikut dipengaruhi juga olehnya. Masyarakat yang berpikiran sempit tentunya lebih senang mengunjungi mal yang nyaman dan dingin dengan fasilitas yang serba lengkap, daripada mengunjungi perpustakaan yang belum mengakomodir hak-hak pengunjung itu.
Dua hal inilah menurut hemat penulis yang harus diperhatikan oleh pihak terkait untuk menuju kesempurnaan status Kota Pelajar. Tersedianya bacaan-bacaan berkualitas di kios-kios dan perpustakaan yang representatif menjadi pekerjaan rumah kita bersama (pemerintah dan masyarakat) dalam membenahi kota ini untuk mencapai Kota Pelajar Plus. Akses yang mudah oleh masyarakat terhadap bacaan bermutu tentunya akan memperkuat daya baca masyarakat kita yang jauh tertinggal dari negara luar ini. Ketersediaan majalah-majalah tersebut di atas akan bisa meningkatkan jiwa kekritisan, daya analisis masyarakat, dan bisa memberi solusi bagi permasalahan masyarakat yang ada. Begitu juga dalam wacana intelektual akan muncul lagi pemikir-pemikir hebat yang membuat Kota Yogyakarta dipenuhi perdebatan-perdebatan wacana di berbagai kampus, komunitas diskusi dan ruang-ruang publik lainnya.

Penggiat Forum “Komunitas Belajar Menulis”
Yogyakarta, 16 Januari 2011


Moralitas dan Pengkhianatan
Satris

“Mustahil untuk mereformasi suatu negara jikalau korupsi masih merajalela”  inilah sepenggal kata yang dikatakan oleh Edgago buscaglia dan Maria Dakolias dalam An Analysis of the Causes of Corruption in the Judiciary.
Indonesia kini telah memasuki usia 13 tahun dari pasca reformasi. Sebuah usia yang kalau diibaratkan dengan manusia telah memasuki fase remaja. sebuah fase perubahan dari ketidaktahuan menjadi lebih banyak tahu, dari fase belajar berjalan hingga masuk kefase berlari. Dalam konteks Indonesia yang sudah memasuki 13 tahun pasca reformasi, harusnya mampu berdiri dan berlari untuk mencapai tingkat kematangan. Namun pada kenyataannya, Indonesia saat ini ternyata hanya berjalan di tempat dan bahkan mengulang Rezim sebelum Reformasi.
Lantas, sebuah pertanyaan yang muncul, apa yang telah di reformasi oleh Indonesia saat ini? Apakah pemerintahannya atau elit-elit politiknya yang dari tahun ke tahun ketika tiba saatnya pemilu hanya disibukkan dengan persoalan mereka sendiri, atau korupsinya yang konon ketika Rezim Orde Baru di tumbangkan itu dikarenakan korupsi yang telah merugikan negara dan masyarakat. Kalau memang halnya demikian, lantas apa bedanya dengan yang sekarang? Apakah Indonesia saat ini telah menjadi sebuah negara yeng terbebas dari elit-elit politik yang hanya mementingkan kelompoknya dan kini berubah menjadi Dewa yang telah mementingkan rakyat kecil atau saat ini negara bersih dari korupsi oleh para penguasa yang tidak pernah puas akan kekayaan? Untuk menjawab semuanya, mari kita melihat sejenak dalam alam bawa sadar kita sebuah realitas kehidupan di Indonesia.
Berbagai media telah menyorot persoalan bangsa saat ini. Salah satu persoalan yang menjadi head line news dari berbagai media saat ini adalah sorotan seputar korupsi. Korupsi yang dilakukan oleh para penguasa bangsa kita mulai dari Legislatif, Eksekutif hingga pada tingkatan Yudikatif yang telah mencederai nilai-nilai reformasi. Sebuah pengkhiatan yang mengatas namakan rakyat yang dilakukan oleh para penguasa yang korup terhadap bangsa dan negara. Seperti yang dikatakan oleh Syed Hussein Alatas yang cenderung menyebut bahwa “korupsi sebagai suatu bentuk pengkhianatan”. Wajar kalau bangsa ini selamanya akan terpuruk karena orang-orang yang bertanggung jawab mengurus bangsa hanya mementingkan dirinya sendiri. Jangan bermimpi mendapatkan negara Indonesia yang makmur dan sejahtera seperti yang tertuang dalam pembukaan undang-undang dasar 1945 sementara negara ini masih berada dalam lingkaran Setan yang terus-menerus hanya memikirkan kepentingan sendiri.
Seperti yang dikatakan oleh Edgago Buscaglia dan Maria Dakolias dalam An Analysis of the Causes of Corruption in the Judiciary diatas bahwa “Mustahil untuk mereformasi suatu negara jikalau korupsi masih merajalela”. Kita tidak bisa menafikan bahwa korupsi adalah sumber segala bencana dan kejatahan yang terjadi di negara kita. Koruptor bahkan lebih berbahaya dan licik dari Teroris. Berapa banyak manusia yang hidup dalam lingkaran kemiskinan di negara kita yang seharusnya mendapatkan kehidupan yang layak?. Berapa banyak manusia yang hidup di negara kita tidak mampu berobat hanya karena persoalan ekonomi? Berapa banyak manusia yang hidup di negara kita tidak mampu mendapatkan pendidikan yang layak lagi-lagi hanya karena persoalan ekonomi?.
Benar apabila Deni Indrayana mengatakan dalam bukunya Negeri Para Mafioso bahwa “Adalah mimpi di siang bolong untuk memberantas kemiskinan, meningkatkan pelayanan kesehatan, mempertinggi mutu pendidikan dan lainnya, bila korupsi masih dibiarkan menari-nari di depan mata”. Perang melawan korupsi sudah seharusnya menjadi harga mati bagi setiap rakyat di Indonesia dan tidak hanya lembaga yang mengurusi korupsi seperti KPK, POLRI, Peradilan saja yang berkewajiban terhadap penanganan korupsi tetapi harus menjadi kewajiban bersama.
Dalam memberantas korupsi di Indonesia diperlukan sebuah langkah perubahan yang tidak terpatok pada sebuah sistem. Benar, ketika ada yang mengatakan bahwa “seperti apapun sistemnya dibentuk, dan sebagus apapun sistemnya diterapkan, kalau memang manusianya bobrok, maka korupsi akan tetap merajalela”. Kegagalan bangsa kita dalam memberantas korupsi adalah terletak pada ketidak perhatian kita terhadap pemberdayaan masyarakat khususnya generasi muda. Kita sering terkungkung dan terpatok pada sebuah sistem, sehingga cenderung bersikap masa bodoh dan cenderung mengandalkan sistem. Padahal sistem yang baik adalah sebuah sistem yang didalamnya semua kalangan masyarakat turut andil tanpa ada diskriminasi khususnya kaum muda.
Peran kaum muda dalam memberantas korupsi sangat dibutuhkan. Kaum mudalah yang menjadi fondasi terhadap masa depan bangsa. Sebagaimana generasi muda sering di identikkan dengan agent of change (agen perubahan). Generasi muda mampu menjadikan negara ini menjadi negara yang makmur yang terlepas dari korupsi. Kesadaran dan partisipasi kaum muda dalam memberantas korupsi sangat diharapkan. Dengan kesadaran dan moralitas yang tinggi akan mampu menjadikan bangsa kedepan menjadi lebih baik.

  Pegiat forum “Komunitas Belajar Menulis”
Yogyakarta, 16 Januari 2011


”Berlabu”
Satris

Napasku terhenti dipersimpangan jalan
Ketika ku melihat diriku seorang diri
Tanpa teman, tanpa kasih yang menemaniku
Rasa pahit menjalar keseluruh tenggorokanku
Namun tak sepahit apa yang dirasakan oleh jiwaku
Yang telah lama tak tersentuh oleh kasih
Kutegarkan jiwaku dalam kehampaan
Keresapi kesendirianku dalam kesunyian
Layaknya sebuah rembulan yang di tinggalkan oleh bintang

Cinta dan Pengorbanan
Ketika pengorbanan adalah sebuah cinta
Dan Cinta adalah sebuah pengorbanan
Maka cinta dan pengorbananlah yang membuat saya bertahan
Sampai saat ini
Hingga waktunya tiba

Pegiat forum “Komunitas Belajar Menulis”
Yogyakarta, 16 Januari 2011



Tidak ada komentar:

Posting Komentar